Saya gak tahu. Apakah Ibu Conny baca tulisan ini. Atawa pimpinan, mahasiswa, dosen dan  civitas akademika UNJ lainnya membaca tulisan ini. Tapi kalo mereka baca, pesan peting yang saya mau sampaikan adalah AYO DONG LEBIH PEDULI UNTUK UNJ SEBAGAI KAMPUS BAGUS UNTUK TRI DHARMA PERGURAN TINGGI. Mari kita berdiskusi tentang pengajaran yang luar biasa, tentang penelitian yang hebat, dan pengabdian masyarakat yang berdaya guna. Lebih produktif, lebih kompetitif buat kampus. Â
IKIP JAKARTA dulu, UNJ sekarang. Tapi IKIP Jakarta penuh prestasi, sementara UNJ setidaknya buat saya gak berprestasi. Makanya tulisan ini saya buat. Karena UNJ itu pernah punya nama besar. Kalo udah begini, kita itu kangen banget pada pemikiran dan kiprah orang-orang yang pernah memimpin UNJ, seperti: Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, Dr. Deliar Noer, Prof. Dr. Winarno Surachmad, dan Prof. Dr. Conny Semiawan. Mereka itu memang tinggal sejarah. Tapi mereka adalah sosok mantan Rektor UNJ yang memiliki integritas keilmuan dan akademis yang luar biasa. Berkat kiprah mereka pada eranya, nama IKIP Jakarta begitu mengabadi dan sangat diperhitungkan.
Lalu, bagaimana kampus UNJ hari ini? Apa masih ribut soal dosen yang dipolisikan? Apa masih ramai soal tuntutan mundur Rektor ?
Jujur, sebenarnya itu pertanyaan-pertanyaan yang tidak menarik. Gak signifikan untuk kehidupan kampus sebesar UNJ hari ini. Sementara di luar sana, mereka sibuk riset dan inovasi di ruang "diskusi dan praktik" untuk menambah kemaslahatan umat, sementara kita "gak pernah selesai" dengan urusan sendiri. Sementara di luar sana, mereka sibuk mengemas sistem pendidikan dan pengajaran berbasis kreativitas yang unggul, sementara kita lagi-lagi "gak pernah selesai" dengan internal kampus sendiri. Mengenaskan banget sih, ironis banget sih ...
KESADARAN KRITIS, mungkin sudah jadi "barang langka" di UNJ hari ini.
Kita sudah terlalu lama, tidak bertanya secara kritis. Mau dibawa kemana UNJ? Gimana cara peringkat UNJ bisa berada di 30 besar PT di Indonesia? Berapa persentase dosen yang meneliti dan menulis di UNJ? Berapa banyak mahasiswa UNJ berprestasi di PIMNAS tiap tahunnya? Mengapa kita "diam" ketika kebobrokan ada di kampus UNJ? Masih adakah tradisi kebebasan ekspresi di UNJ? Di mana hati nurani kita hari ini untuk kampus?
JIKA BERTANYA SAJA TIDAK? GIMANA MAU CARI JAWABANNYA?
Kita, civitas UNJ, mungkin sering baca. Tapi juga terlalu cepat lupa.
Al-Ghazali bilang "profesi GURU itu sangat mulia, maka didiklah mereka dengan penuh kasih sayang". Lalu Antonio Gramsci bilang bahwa INTELEKTUAL itu sebagai puncak kesadaran manusia. Agar kita bisa memilah, kata Karl Marx, antara "kesadaran individu" dan "kesadaran kolektif" dengan jernih, bukan "KESADARAN PALSU". Iya itu emang teori, tapi juga jangan terlalu cepat lupa.
KARENA KESADARAN HARUS TETAP ADA PADA KAUM INTELEKTUAL AGAR BISA DIPRAKTIKKAN DAN DISEBARKAN KE MASYARAKAT. KITA GAK BOLEH TERJEBAK DALAM KESADARAN PALSU. MERASA BAIK-BAIK SAJA. TAPI NYATANYA, TIDAK LAYAK DISEBUT BAIK-BAIK SAJA.
Lalu, apa refleksi kritis civitas akademika UNJ hari ini?
GAK BOLEH DIAM. BERGERAKLAH, BERDINAMIKALAH. Untuk UNJ ke depan yang lebih baik. Untuk UNJ sebagai "center of excellence" terlebih lagi di bidang pendidikan dan keguruan.