(Reflleksi Kritis untuk Civitas UNJ)
Selalu ada waktu dan sejarah untuk dikenang. Tidak terkecuali bagi Alumni IKIP Jakarta (sekarang UNJ) ketika hari ini, Jumat 7 Juli 2017 menyambangi rumah Sang Guru, Ibu Prof. Dr. Conny Semiawan. Bukan sekadar silaturahim, tapi sekaligus memanggil memori Sang Guru. Agar tetap dihormati, agar dapat dipanggil kembali untuk "esok yang lebih baik'.
Adalah Prof. Dr. Conny Semiawan. Mungkin sekitar 28 tahun, alumni IKIP Jakarta tidak bertemu lagi. Beliau adalah salah satu tokoh pendidikan Indonesia yang luar biasa. Sekaliber Prof. HAR Tilaar, Prof Winarno Surakhmad, Dr. Sudjatmoko di era 1990-an. Ibu Conny, begitu alumni IKIP Jakarta memanggilnya. Selama 2 periode (1984-1992) menjabat sebagai Rektor IKIP Jakarta. Seorang rektor yang "hidup" di era keras rezim Orde Baru. "Sekali demo, maka kalian akan aku bungkam" begitu rasa mencekam di kalangan kampus di bawah rezim Presiden Soeharto.
Tapi kala itu, apakah anak-anak IKIP Jakarta dibungkam?
Sama sekali tidak. Di bawah kepemimpinan dan tangan dingin seorang Ibu Conny, IKIP Jakarta saat itu menjadi "Center of Excellence", sebagai salah satu kampus tempat  lahirnya gagasan dan pergerakan "perlawanan terhadap rezim" yang kritis dan elegan. Kampus bukan hanya "kawah candradimuka" hadirnya gagasan akademik, riset dan intelektualias semata. Tapi kampus, harus mampu menjadi "ruang terbuka" untuk menyampaikan aspirasi dan mimbar kebebasan berpikir. Untuk siapapun; mahasiswa maupun dosen.
Di IKIP Jakarta dulu, ketika Ibu Conny mendidik kami; Ibu Conny memimpin kampus.
Jangankan anak-anak yang apatis atawa gila akademik hingga pintar. Anak-anak yang "nakal" pun bukan hanya dilindungi tapi juga "ditemani". Di era beliau, mahasiswa kritis dan pendemo -- termasuk dosen -- bukan malah dimusuhi atawa "ditenggelamkan" istilah sekarang. Tapi dirangkul, diajak berdiskusi secara intensif. Tujuannya sederhana, agar tercipta iklim akademik dan lingkungan kampus yang kondusif dan kompetitif. Â Agar sikap kritis yang ada, bernilai tambah bagi kampus bagi kegiatan-kegiatan kampus yang lebih produkktif.
Anak-anak "nakal" itu biasanya aktivis mahasiswa yang baru bisa kelar kuliah di atas 5 tahun; kerjanya demo-demo dan nongkrong diskusi di kampus hingga larut malam. Jika perlu menginap di kampus. Berbagai kebijakan kampus dikritisi, didemo oleh anak-anak "nakal" ini. Sering kali, mereka berseberangan dengan rektor atawa kampus, tapi sekali lagi tetap "ditemani dan dirangkul" oleh Ibu Conny agar tetap kritis yang elegan dan kompetitif ke luar kampus. Â Â Â Â
Asal tahu saja Bapak/Ibu, ketika saya kuliah di IKIP Jakarta tahun 1989-1994. Dan menjadi aktivis di kampus mulai dari HMJ, SEMA Fakultas, SEMA IKIP. Saya belajar satu hal yang paling penting, bahwa kampus adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang mencintai ILMU dan PENGETAHUAN. Bukan seperti orang-orang yang bekerja, mereka hanya mencintai UANG. Jadi kampus itu tempat kita mencari dan mengembangkan ILMU dan PENGETAHUAN hingga kita mampu menyebarkannya ke orang banyak di luar kampus.
Mungkin kita lupa. ILMU DAN PENGETAHUAN ITU BISA HIDUP KARENA KRITIK.
Ilmu dan pengetahuan itu milik orang kampus. Ilmu dan pengetahuan itu makin maju karena dikritik. Oleh karena itu, biarkan kritik tetap hidup di kampus. Kebebasan kritis dan tradisi ilmiah itu "kampung halamannya" di kampus. Maka, manajemen kampus itu memang manajemen kritis, manajemen konflik. Bukan manajemen harmoni. Untuk apa harmoni dan aman-aman saja jika tidak membuat kampus itu maju? Untuk apa, ayo jawab?