Terima kasih anak-anakku, Terima kasih istriku.
Hari ini 15 Maret, 47 tahun silam, Abi terlahir ke dunia. Bukan siapa-siapa, tidak membawa apa-apa. Tanda dimulainya hidup dan penghidupan fana di dunia yang serba sementara. Dunianya bagi kaum titipan bila tidak terlupa …
47 tahun, memang bukan waktu yang sebentar. Orang menyebutnya “jelita”; jelang limapuluh tahun. Usia yang tidak terlalu tua, tapi tidak lagi muda. Usia yang bukan lagi saatnya menghabiskan sisa usia untuk mengejar dunia. Apalagi harta, pangkat dan mahkota. Karena itu semua semu, dan sementara.
47 tahun, hanya sebuah rentang waktu. Menuju kematian yang tidak tahu kapan datang?
Usia yang menjadi peringatan untuk diri sendiri. Agar lebih menunduk di bumi, lebih menengadah ke langit. Usia yang semakin mampu memimpin diri sendiri. Usia yang makin mampu membawa istri menuju penghambaan sejati; makin mampu membimbing buah hati menuju penginsanan abadi. Menghamba kepada Ilahi Rabbi ….
Terima kasih anak-anakku, Terima kasih istriku.
Terima kasih telah menemani, menasehati Abi. Selama perjalanan yang entah kapan berakhir. Untuk lebih baik dalam hidup, lebih bijak dalam sisa hidup.
Bersama kalian, anak-anakku dan istriku. Tetaplah terus temani Abi untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi, sembari mempersiapkan diri menuju hari esok yang abadi, ke-haribaan Ilahi rabbi …
Terima kasih anak-anakku…
Kalian adalah inspirator dan motivator terbaik Abi. Lebih hebat dari mereka yang ada di televisi. Doa dan senyum kalian selalu memacu denyut nadi Abi. Maka tetaplah kalian, menjadi anak-anak yang soleh dan solehah. Jadilah diri kalian sendiri, seperti kalian yang Abi kenal selama ini, yang Abi gendong ketika masih kecil dengan siulan sederhana seorang ayah. Abi bersyukur dan bangga memiliki kalian, anak-anakku.
Terima kasih istriku...
Kamu adalah nakhoda terbaik Abi. Lebih hebat dari mereka yang ada di perahu besi. Canda tawa kita berdua, suka duka kita berdua. Cobaan ujian kita berdua. Semua, sudah kita hadapi bersama, sudah kita lewati bersama. Pahit di masa lalu berbuah manis di masa kini. Abi ikhlas mengayuh perahu ini; karena kamu nakhoda paling keren yang mengarahkan jalannya perahu ini. Maka, tetaplah menjadi kamu yang Abi kenal dulu. Apapun hingga kapanpun, semuanya akan kita hadapi bersama.
Usia Abi memang boleh menua. Tapi cinta Abi kepadamu tak akan pernah using oleh waktu. Silakan bulan terus meninggi, matahari terus menjulang. Tapi Abi tak akan kehabisan sederet kata untuk terus memujamu. Biarkan usia kita terus bertambah. Tapi cinta kita tak akan pernah punah.
HANYA untuk JANNAH, teruslah mendampingiku untuk meraih KHUSNUL KHOTIMAH.
Terima kasih anak-anakku, Terima kasih istriku.
Bersama kalian, di sisa usia, Abi terus belajar mencintai dengan kuat; belajar menyayangi dengan tegar. Belajar berlari ; mengejar mimpi menggapai hari yang abadi.
Akhirnya…
Tetaplah kita apa adanya. Dan jangan pernah merindukan masa lalu. Karena masa lalu hanya ada di belakang kita. Bersiaplah untuk masa depan. Karean masa depan selalu menjadi cermin kita menuju keharibaan-Nya.
Apapun yang sudah berlalu, ingatlah kita sudah tidak tinggal di sana lagi.
Apapun yang akan datang, ingatlah kita harus siap untuk tetap terjadi.
Karena kita hanya bisa ikhtiar lalu mensyukurinya. Selebihnya biarkan Allah bekerja untuk kita …
Terima kasih anak-anakku, Terima kasih istriku
Kita berpijak di bumi bukan sekedar menginjakkan kaki. Namun kita hendak mengecup bumi selayak memeluk langit..
Semoga Allah memberkahi kita, semoga Allah meridhoi kita, Amiin. Alhamdulillah. Walllahu a’lam bishowab. #Catatan Ulang Tahun Seorang Ayah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H