Bahasa di panggung politik Indonesia menjadi ruang yang paling bebas dan terbuka. Bahasa menjadi satu-satunya alat paling efektif untuk mempengaruhi massa, lalu meraih kekuasaan. Berbagai simpati atau antipati dalam politik sangat dipengaruhi bahasa yang digunakan.
Politik sebagai arena peperangan untuk meraih kekuasaan memang tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Bahasa sangat mungkin mewakili kasta. Karena bahasa pula, politik dapat menjadi nista. Bahasa di panggung politik, sungguh berada di antara kasta dan nista.
Sebut saja, jelang Pilkada serentak 101 daerah di Indonesia pada Februari 2017, tiba-tiba bahasa muncul sebagai dimensi yang pantas diperdebatkan. Bahasa yang menjadi alat kampanye, bahasa yang menimbulkan multitafsir. Bahasa, sungguh menjadi “kendaraan” politik yang paling murah untuk dieksploitasi. Dalam ranah politik, bahasa terlalu mudah merepresentasi kasta politikus dan memunculkan penistaan.
Mari kita simak, persoalan bahasa yang ditimbulkan akibat pernyataan Ahok “Jangan mau dibohongi pakai Al Maidah”. Bahasa inilah yang menjadi sumber masalah hingga menimbulkan reaksi jutaan umat Islam yang menganggap sebagai penistaan agama. Demo besar-besaran 4 November 2016 lalu digelar, hingga akhirnya Ahok dijadikan tersangka atas kasus penistaan agama. Itulah yang terjadi akibat bahasa.
Terlepas dari persoalan hukum dan agama, dari aspek Bahasa atau linguistik bisa dimaknakan berbeda-beda. Namanya ilmu dan tafsiran sangat mungkin menimbulkan perbedaan. Seperti bangsa Indonesia yang juga memang berbeda; beda suku beda Bahasa beda agama tapi tetap bhineka tunggal ika. Kembali kepada pernyataan “Jangan mau dibohongi pakai Al Maidah”. Ini analisis bahasa menurut saya tentunya:
- Secara linguistik struktural, kalimat tersebut tidak memenuhi struktur kalimat yang lengkap dalam Bahasa Indonesia. Karena kalimat sekurang-kurangnya harus terdiri dari fungsi S (Subjek) dan P (Predikat). Faktanya, kalimat itu hanya punya “dibohongi” = Predikat (P) tapi Subjek (S) tidak ada atau melesap. Sebagai orang bahasa, saya menyatakan kalimat tersebut batal atau tidak bisa direkonstruksi maknanya. Sedangkan kata ‘Al Maidah” seperti juga kata “jangan” posisinya hanya sebagai Keterangan (adverbia) yang fungsinya untuk menambah atau memberikan, bukan objek atau subjek. Maka semakin jelas, kalimat tersebut batal dan tidak pantas dikaji secara linguistik struktural.
Secara linguistik transformatif-semantik (begitu saya menyebutnya), kalimat tersebut sama sekali tidak bersifat “menistakan’. Mengapa? Karena bentuk “dibohongi pakai Al Maidah”, tidak bermakna “Al Maidah bohong”. Sama halnya dengan bentuk “dibohongi pakai teori”, “dibohongi pakai uang”. Tentu, teori atau uang bukan bohong. Di sisi lain, tata Bahasa transformatif pun mengenal istilah competence dan performance, deep structure dan surface structure. Secara sederhana dapat diartikan Bahasa “tersirat” dan “tersurat”. Maka kalimat tersebut, lagi-lagi sama sekali tidak ada makna “menistakan” secara tersurat, terlebih lagi secara tersirat. Maka, kalimat tersebut harus di lihat konteksnya, paragrafnya, wacananya, sedang membicarapan apa?
Khusus untuk kalimat “Jangan mau dibohongi pakai Al Maidah”, menurut saya, Ahok itu kurang paham dalam berbahasa. Dia harus banyak belajar Bahasa Indonesia agar mampu berbahasa lebih baik, lebih benar, dan lebih becus lagi. Sebagai orang bahasa, saya tidak berkenan meluangkan waktu untuk “meladeni” tuturan bahasa yang tidak becus, bahasa yang tidak pantas untuk dianalisis apalagi dimaknai. Itu sikap saya, tentu boleh berbeda dengan sikap yang lain.
Bahasa Politik; Antara Kasta dan Nista
Hari ini, bahasa di panggung politik makin “cantik” dicermati. Karena bahasa bisa jadi alat untuk politik. Politik dan para politisi menunggangi bahasa untuk meraih simpati, meraih popularitas hingga membangun citra di mata masyarakat. Ada politisi yang sok santun dalam berbahasa, ada yang polos lagi lugas, bahkan ada yang sarkasme dan saling menghujat. Bahasa politik makin “ngeri-ngeri sedap”, meminjam istilah mendiang Sutan Bhatoegana. Bahasa di panggung politik makin rancu, makin ambigu. Politik bahasa pun makin menyeruak. Itulah keadaan sekaligus kualitas berbahasa panggung politik Indonesia.
Bahasa politik kini berdiri di antara kasta dan nista. Bahasa sebagai simbol kasta politisi, Bahasa juga menjadi alat menistakan politisi itu sendiri. Karena bahasa, sungguh menjadi cerminan politisi dan politik itu sendiri. “Sifat-sifat masyarakat terutama dapat dipelajari dari bahasanya, yang memang menyatakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat tersebut” (Kailani, 2001:76).
Bahasa politik jadi tidak asyik diikuti dan dinikmati sekarang. Cara politisi berbahasa hanya membuat wacana baru dan mengundang perdebatan. Terlalu ambigu dan hanya permainan kata-kata tanpa makna. Bahasa politik sama sekali tidak memberikan keindahan dan metafora yang nyaman untuk dirasakan. Karena bahasa politik, hanya menjadi simbol kasta dan alat menistakan.
Bahasa di panggung politik adalah kepentingan kasta, kepentingan kekuasaan. Bahasa yang dipenuhi oleh kata-kata kamuflase untuk meraih simpati demi kekuasaan, penuh janji-jani kosong. Bahasa untuk kasta, melekat pada politisi yang kemarin bukan siapa-siapa lalu bernafsu untuk menjadi siapa-siapa. Bahasa yang kemarin apa adanya, kini menjadi ada apanya. Bahasa politik untuk kasta.
Bahasa di panggung politik adalah penistaan, menistakan. Bahasa nista yang tidak lagi berdasar pada argumentasi logis dan realistis. Bahasa yang terlalu mudah kehabisan kosa kata lalu berganti caci-maki, sumpah serapah dan hujat-menghujat. Bahasa yang kemarin biasa menjadi Bahasa yang nista. Bahasa politik untuk menistakan satu sama lainnya.
Sadar bahwa bahasa di panggung politik antara kasta dan nista. Maka kini, semua pemakai Bahasa Indonesia termasuk para politisi harus bertanggung jawab untuk mengembalikan slogan“bahasa menunjukkan bangsa”. Bahasa yang penuh kesantunan hakiki, bermakna realistis, dan menjadi alat kebaikan. Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa yang diremehkan tapi merasa nasionalis.
Timbulnya masalah bahasa di panggung politik, sungguh menjadi bukti ketidakpedulian kita terhadap Bahasa Indonesia itu sendiri, Bahasa yang gagal menjadi “tuan rumah di negerinya sendiri”. Maka wajar, kita lebih memilih bahasa yang berbeda. Bukan memilih bahasa yang mempersatukan.
Kalau hari ini dan mungkin esok, kita masih bersama dalam suatu bangsa. Masih bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan penuh pengertian dan kesejukan. Bisa jadi, itu semua karena kita menggunakan bahasa yang sama, yaitu Bahasa Indonesia.
Sungguh, bahasa politik bukanlah politik bahasa. Kita hanya butuh sikap untuk menghormati dan tetap memelihara Bahasa kita sendiri, Bahasa Indonesia. #AkuCintaBahasaIndonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H