Bahasa di panggung politik adalah penistaan, menistakan. Bahasa nista yang tidak lagi berdasar pada argumentasi logis dan realistis. Bahasa yang terlalu mudah kehabisan kosa kata lalu berganti caci-maki, sumpah serapah dan hujat-menghujat. Bahasa yang kemarin biasa menjadi Bahasa yang nista. Bahasa politik untuk menistakan satu sama lainnya.
Sadar bahwa bahasa di panggung politik antara kasta dan nista. Maka kini, semua pemakai Bahasa Indonesia termasuk para politisi harus bertanggung jawab untuk mengembalikan slogan“bahasa menunjukkan bangsa”. Bahasa yang penuh kesantunan hakiki, bermakna realistis, dan menjadi alat kebaikan. Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa yang diremehkan tapi merasa nasionalis.
Timbulnya masalah bahasa di panggung politik, sungguh menjadi bukti ketidakpedulian kita terhadap Bahasa Indonesia itu sendiri, Bahasa yang gagal menjadi “tuan rumah di negerinya sendiri”. Maka wajar, kita lebih memilih bahasa yang berbeda. Bukan memilih bahasa yang mempersatukan.
Kalau hari ini dan mungkin esok, kita masih bersama dalam suatu bangsa. Masih bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan penuh pengertian dan kesejukan. Bisa jadi, itu semua karena kita menggunakan bahasa yang sama, yaitu Bahasa Indonesia.
Sungguh, bahasa politik bukanlah politik bahasa. Kita hanya butuh sikap untuk menghormati dan tetap memelihara Bahasa kita sendiri, Bahasa Indonesia. #AkuCintaBahasaIndonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H