Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gak Semua Hal Tergantung Rasa (Touring DPLK Riders)

4 September 2016   15:38 Diperbarui: 4 September 2016   15:43 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada orang yang gak mau makan di warteg? Bisa jadi karena makanan di warteg “rasanya” gak enak. Lidahnya gak cocok sama “rasa” makanan di warteg. Rasanya gak pas, rasanya gak sesuai selera. Ahhh, itu cuma “perasaan” kamu aja kok.

Jadi sebenarnya, kamu makan itu karena “rasanya”? Atau karena suasananya, atau karena teman makannya? Atau karena memang sudah waktunya harus makan? Gak tahu ahh, jawab aja sendiri.

Gak semua hal tergantung RASA. Termasuk urusan makanan.

Makan atau makanan enak itu bukan karena RASANYA. Suatu kali, RASA gak harus berhubungan dengan tempat, atau harga. Rasa juga kadang gak harus sesuai selera. Bukan soal RASA. Tapi karena SUASANA dan KEBERSAMAAN yang diciptakan waktu makan. Gak penting banget makan pakai apa? Gak penting amat berapa uang yang dikeluarkan untuk membeli makanan? Tapi yang penting, menciptakan SUASANA makan; membangun KEBERSAMAAN sambil menikmati makanan. Makan dalam SUASANA yang menyenangkan; makanan yang bisa membangkitkan gairah KEBERSAMAAN. Karena gak semua hal, termasuk dalam hidup kamu, tergantung pada RASA.

Gak semua hal tergantung dari RASA.

Rasa, perasaan, merasa, terasa, atau merasakan, apapunlah bentuknya yang terkait dengan RASA. Rasa itu bersifat terlalu personal. Rasa itu urusan masing-masing. Karena gak ada yang tahu RASA yang kamu miliki, apa yang kamu pikirkan tentang RASA. Saya cuma mau bilang, “GAK SEMUA HAL TERGANTUNG DARI RASA”

Gak semua hal tergantung dari RASA.

Terus kenapa ya. Banyak orang yang “merasa” galau. Merasa bete sama hidupnya sendiri. Merasa gak cukup rezeki yang ada di tangannya. Merasa hidup sendirian. Merasa kecewa. Merasa tidak bahagia. Bahkan merasa hidupnya begini-begini aja. Emang mau RASA yang gimana sih kamu ?

Gak semua hal tergantung dari RASA.

Gak suka sama pemimpin, lantas membenci. Gak suka sama teman, lantas ngomongin yang jelek-jelek. Gak suka sama keadaannya, lantas mengeluh. Gak suka sama pekerjaan, lantas nelongso. Gak suka sama apa aja yang ada di sekitarnya, lantas hanya bisa menyesal, mengeluh, kecewa dan sebagainya yang jelek-jelek. Berhentilah, semua itu terjadi karena kamu lebih bermain dengan RASA, PERASAAN. Gak semua hal tergantung dari RASA. Itu saja cukup kok.

Kenapa ada orang mati RASA? Karena mereka terlalu bergantung pada RASA.

Ya, namaya juga RASA. Sifatnya terlalu subjektif, terlalu relatif. Apa saja dalam hidup kalo bergantung pada RASA, semua berubah jadi subjektif, jadi relatif. Di saat yang sama, mereka jadi jauh dari sifat objektif, jauh dari sikap konsisten.

Kita kadang suka lupa sih. RASA itu pilihannya, kalo gak manis ya pahit. Kalo gak senang ya sedih. Makanya, gak semua urusan, gak semua masalah bergantung pada RASA. Kadang, kita perlu memberi ruang yang lebih besar kepada REALITA, berteman dengan kenyataan. Buat orang yang suka mati RASA atau terlalu ber-PERASAAN memang susah untuk bersahabat dengan REALITA. Wajar kalo akhirnya lupa bersyukur, lupa menikmati hidup yang seperti sekarang ini.

Manusia emang kadang aneh. Katanya gak ada manusia yang hidupnya sempurna. Tapi di saat lain, ia menyesali keadaanya. Ia mengeluh dalam hidupnya. Ia tidak mau menerima realitas hidupnya. Sungguh, itu semua terjadi karena RASA, karena PERASAAN.

Gak semua hal tergantung dari RASA.

RASA kamu begitu karena kamu melebih-lebih PERASAAN. RASA terlalu menguasai HATI. RASA terlalu dominan terhadapi PPIKIRAN. Akhirnya, kamu didominasi oleh RASA. Kecewa, sedih, mengeluh, menyesal, isi, dendam dan sifat buruk lainnya itu ada karena RASA.

Gak semua hal tergantung dari RASA.

Seperti  kisah yang sering kita dengar. Kalo kamu punya setangkup garam di tangan lalu kamu masukkan di air segelas, pasti rasanya asin. Tapi kalo setangkup garam itu diletakkan di air danau, pasti rasa asin garam itu tidak terasa.

Sungguh, garam itu sama persis dengan rasa sakit atau masalah yang kamu hadapi. Tidak lebih tidak kurang. Tapi rasa sakit dan masalah yang kamu hadapi, sangat bergantung pada WADAH atau SUASANA yang kamu gunakan. Jadi, kamu harus memperbesar WADAH dalam diri kamu. Agar RASA sakit atau masalah itu tidak menguasai hidup kamu.

Gak semua hal tergantung dari RASA.

Begitu pelajaran yang bisa diperoleh dari Touring DPLK Riders kemarin, 2-3 September 2016 di Gunung Salak Bogor. Sama sekali gak penting kita tahu siapa DPLK Riders itu? Mereka cuma hamba Allah, anak manusia seperti kita juga. Tapi penting untuk kita tahu, bahwa mereka segerombolan karyawan alias orang kerja yang berangkat “montoran” sepulang kerja ke Gunung Salak. Orang sekarang bilang Touring. Tiga jam perjalanan di malam hari, mereka nikmati. Begitu tiba di rumah saya, mereka membakar sendiri makanan yang mau di makannya. Lalu, makan bareng dengan cara “bancakan”, nasi dan lauk ditaruh di atas daun pisang. Semua, 18 orang, berdoa dan makan bersama, duduk bareng menikmati makanan yang ada. Lalu sesudahnya berucap, Alhamdulillah. Sungguh di sini, tidak penting RASA. Tapi yang penting SUASANA dan KEBERSAMAAN itu.

touring-57cbdd31ba9373940448c1df.jpg
touring-57cbdd31ba9373940448c1df.jpg
Makan bancakan, bukan soal RASA. Tapi SUASANA bahkan MAKNA.

Karena bancakan itu tradisi makan bersama sambil duduk di bawah. Dalam filosofi Jawa, tradisi bancakan dilakukan untuk menciptakan keselarasan antara lahir, batin dan alam. Berkumpul bersama dan lesehan, di dalamnya ada doa kebaikan untuk meminta kesehatan dan keselamatan, sekaligus ungkapan rasa syukur atas apa yang ada. Karena doa dan syukur adalah penolak mara bahaya. Itulah MAKNA yang luhur dari bancakan. Sayangnya sekarang, tradisi makan bancakan sudah langka dalam kehidupan sekarang.

Terus, kalo sekarang RASA gue gak enak, PERASAAN gue galau gimana?

Itu urusan kamu, silakan saja cari jalan keluarnya. Tapi saya cuma mau bilang, “gak semua hal tergantung pada RASA”. Karena RASA bersifat subjektif dan relatif. Gak usah bermain dengan RASA, tapi hadapilah REALITA. Itu saja cukup … salam ciamikk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun