“Terus terang Mas. Aku gak tahu apa yang terjadi. Tapi buatku, puasa itu urusan antara aku dengan Allah. Puasa-puasaku sendiri, buat apa aku minta-minta orang yang gak puasa untuk menghormati aku” jelas Surti bersemangat.
“Lagipula kalo kita mau menghormati ibadah puasa, caranya ya perbanyak ibadah diri sendiri. Tarawih, tadarus, sedekah. Puasa itu menahan diri dari apapun. Jadi, kita tidak perlu memaksa orang yang tidak berpuasa untuk menghormati kita yang puasa. Biarkan saja, semuany sudah diatur Allah kok. Hidup ini gampang, gak usah dibikin susah” tambah Surti lagi.
“Jadi, menurut kamu, warung makanan buka di siang hari saat puasa boleh atau tidak?” tanya Tono penasaran.
“Lha kok pake ditanya Mas. Puasa itu urusan kita dengan Allah, bukan urusan kita sama warung makanan. Silakan dan bebas-bebas saja. Asalkan semua, yang puasa atau yang tidak puasa tahu diri saja. Gak usah pake bilang “hormati yang berpuasa” atau “hormati yang tidak berpuasa”. Puasa itu ibadah khusus sama Allah. Jadi gak usah rame cuma soal warung makanan yang buka siang hari di bulan puasa. Musingin amat sih” Surti agak kesal.
Tono pun terdiam. Ia tak menyangka jawaban istrinya sangat logis. Bisa diterima akal. Tono kagum terhadap Surti yang cuma perempuan rumahan. Tapi punya sikap yang jelas.
“Kalo soal calon gubernur DKI yang pada cari simpati, gimana Bu?” tanya Tono lagi.
Surti mulai agak kesal. Suaminya seperti memancing dirinya untuk peduli pada urusan politik. Agar memberi sinyal kepada siapa Surti menentukan pilihannya.
“Terserah Mas, mau kampanye kek. Mau cari simpati kek. Aku gak peduli. Semuanya gak penting. Hidup kita itu gak bergantung pada si pemimpin. Tapi pada Allah” jawab Surti lantang.
Tono terdiam lagi. Terkesima pada jawaban Surti yang polos.
“Iya Bu. Hidup kita memang bergantung pada Allah. Tapi kan gak salah kalo kita tahu calon pemimpin kita agar paham mau dibawa ke mana rakyatnya?” tanya Tono lagi.
“Aduhhh Mas. Maksa banget sih. Boro-boro mikirin pemimpin, mikirin harga daging aja udah pusing. Pemimpin kek, politisi kek sama saja. Omong kosong. Apa yang mereka kampanyekan saat nyalon faktanya gak sama dengan apa yang terjadi di pasar. Puasa juga baru dimulai, harga-harga udah pada naik. Buat apa punya pemimpin kalo gak bisa bikin rakyatnya senang. Punya pemimpin kok rakyat malah jadi susah. Tanya dong Mas sama mereka, dimana hati nuraninya? Emangnya, mereka itu bisa mengubah bangsa ini dengan omongan doang. Modal cuma retorika kok mau jadi pemimpin. Sungguh, aku gak tertarik Mas” tegas Surti membara.
Surti, Surti. Ia memang potret kebanyakan perempuan di Indonesia. Hanya bergelut dengan hidup sehari-hari. Memasak. Berbenah rumah. Mengantar anak ke sekolah. Sama sekali tidak peduli pada ingar-bingar politik. Politik baginya hanya omong kosong. Bualan para penggila kekuasaan….