Suasana puasa kian terasa. Sekalipun lapar dan dahaga. Tapi aroma suci mengidap di hari-hari puasa Surti. Tak terasa matahari sebentar lagi terbenam. Tanda gembira, waktu berbuka perlahan mendekat. Sungguh, puasa jadi momentum spiritual yang tiada tara. Tak hanya Surti, tapi semua orang yang menjalankan ibadah puasa. Penuh berkah, penuh ketulusan.
Adzan Maghrib pun berkumandang. Allahu Akbar, Allahu Akbar. Surti tersenyum dalam hati. Ia bersyukur puasanya hari ini usai. Nikmat puasa jelas terasa. Terpancar dari senyum bahagia Surti sore ini.
Tak lama kemudian, seketika Surti membuka obrolan dengan Tono suaminya.
“Mas, tadi di TV, ada politisi beken saling berdebat. Saling menjelek-jelekkan satu sama lainnya. Mungkin karena ego merebut kekuasaan. Mau jadi Gubernur DKI kali ya. Tapi kok, mereka sudi saling menghujat dan menghina?” tanya Surtti.
“Oh iya Bu. Itulah politik di negeri kita. Terlalu kotor. Ingin mendapat simpati dan kekuasaan. Tapi harus mencaci maki yang lain. Saling tuding dan menghujat. Apa saja seolah bisa dingkap ke publik. Sungguh, politik itu ibarat sampah. Hanya berpikir mau menang sendiri, benar sendiri. Hingga rasa MALU pun lenyap” jawab Tono.
“Kenapa mereka kehilangan rasa malu, Mas?” tanya Surti.
“Entahlah. Apa karena sekolahnya tinggi. Atau karena nafsu dan ambisi pribadi. Ribut setiapp hari, gaduh melulu. Sudah gak malu lagi. Gak mau minta maaf kalo salah. Terlalu banyak dalih. Membenarkan diri sendiri lalu menyalahkan orang lain. Mereka sudah gak punya malu. Apa kata dunia kalo begini jadinya pemimpin kita” tutur Tono.
“Lho, itu kan cuma pendapat subjektif mereka. Mengapa harus malu, Mas?”
“Apapun alasannya Bu. Menghujat, menghina orang lain tidak pantas. Apalagi kalo hinaan itu salah. Kita harus malu. Sungguh, kita harus berani untuk MALU. Karena Malu itu bukan HANTU, Bu. MALU itu perasaan yang dihidupkan dan didewasakan dalam diri kita sendiri” jelas Tono.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan Mas?” Surti meminta nasihat.
“Bu, manusia itu tempatnya berbuat salah. Orang salah itu manusiawi. Tinggal kita, mau atau tidak mengakui salah. Kalo salah ya harus malu. Caranya minta maaf. Kabarkan bahwa apa yang kita katakan salah. Kita hanya butuh rasa malu” papar Tono.
“Berarti kita juga harus melatih malu kepada sesama ya Mas?” ujar Surti.
“Tepat sekali Bu. Rasa malu pada sesama harus ada. Harus berani malu. Dulu,kita diajarkan, MALU itu diekspresikan dengan menutupi sebagian wajah. Jika perlu hingga menangis. Kita sadar bahwa perbuatan kita salah. Bukan seperti sekarang, udah salah masih gak malu. Ditambah bicaranya pun dengan gaya congkak” terang Tono penuh kesal.
Seperti orang yang berpuasa. Mereka ikhlas menahan lapar dan haus di siang hari. Tapi ketika waktu berbuka tiba, mereka makan dan minus penuh dengan nafsu. Jika itu terjadi, maka kita pun harus malu.
Sebegitu pentingkah malu kepada sesama, pikir Surti sejenak. Bukankah kita gak dikasih makan orang lain, buat apa harus malu. Pikiran Surti mulai berkecamuk. Tentang malu….
“Lalu, bagaimana dengan MALU kita pada Allah SWT?” tanya Surti penasaran.
“MALU kepada Allah SWT itu bersifat vertikal. Mudah bagi kita malu kepada Allah, bila terbiasa malu kepada sesama. Allah itu maha tahu segalanya. Siapapun kita, tiap bikin kesalahan harus MALU kepada Allah SWT. Mengapa? Karena setiap gerak-gerik kita pada dasarnya diketahui Allah” jelas Tono.
“Ohh, begitu ya Mas?” respon Surti singkat.
“Ya, ini bulan puasa Bu. Momentum kita untuk melatih rasa MALU kepada Allah SWT. Di satu sisi kita mengaku punya IMAN. Maka, di sisi lain, kita harus tegakkan ajaran-Nya. Tanpa ada keraguan lagi. Termasuk merasa MALU jika berkata atau berbuat yang tidak benar”.
Surti mulai merenung. Mencoba memahami ucapan suaminya. Tentang malu yang hampir hilang di negeri ini. Surti setuju seratus persen pada suaminya. Penting untuk punya rasa malu. Surti pun memberi komentar.
“Setuju Mas. Kita harus MALU kepada Allah SWT. Karena kita sering larut dalam pujian. Hingga lupa, masih banyak prasangka buruk dalam diri. Kita MALU karena banyak berkata-kata. Namun sedikit dalam berbuat. Kita sering bilang cinta pada Allah. Tapi perbuatan jauh dari ketaatan pada-Nya. Kita tahu yang dilarang. Tapi di saat yang sama kita berani melanggarnya. Tidak tahu malu kita ini. Apalagi disuruh bertobat” ujar Surti seperti penceramah.
Tak disangka Tono. Ucapan Surti sangat luar biasa. Komentar istrinya tak seperti biasanya. “Sungguh, luar biasa kata-katamu Bu. Aku bangga menjadi suamimu”.
Langit pun semakin gelap. Waktu Sholat Isya sebentar lagi tiba. Surti bangkit dari tempat duduknya. Ia berkata, “Ya Mas. Aku hanya ingin sadar. Bahwa MALU itu penting. Karena MALU dan IMAN adalah pasangan. Maka sempurnakanlah, jangan pisahkan keduanya. Seperti sabda Nabi SAW, “Malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”.
“Entah, kadang kita semakin tidak paham. Mengapa banyak orang bangga bisa mencaci maki orang lain. Sementara aku berpikir, sangat malu bila tindakanku tidak lebih baik daripada kata-kataku” lanjut Surti.
Ucapan terakhir Surti itu makin membuat Tono terkesima. Ia terdiam, tak mampu berkata-kata lagi. Ia kagum, bercampur haru. Mungkin obrolan ini, wujud dari berkah di bulan puasa. Obrolan yang penuh hikmah, dan penuh makna. Tono pun tersandar di kursinya, sambil berpikir dalam-dalam bahwa MALU itu bukan HANTU..... Tertunduk MALU itu PERLU …. #PuasanyaSurti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H