Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puasanya Surti: Tertunduk Malu

12 Juni 2016   14:22 Diperbarui: 12 Juni 2016   14:30 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana puasa kian terasa. Sekalipun lapar dan dahaga. Tapi aroma suci mengidap di hari-hari puasa Surti. Tak terasa matahari sebentar lagi terbenam. Tanda gembira, waktu berbuka perlahan mendekat. Sungguh, puasa jadi momentum spiritual yang tiada tara. Tak hanya Surti, tapi semua orang yang menjalankan ibadah puasa. Penuh berkah, penuh ketulusan.

Adzan Maghrib pun berkumandang. Allahu  Akbar, Allahu Akbar. Surti tersenyum dalam hati. Ia bersyukur puasanya hari ini usai. Nikmat puasa jelas terasa. Terpancar dari senyum bahagia Surti sore ini.

Tak lama kemudian, seketika Surti membuka obrolan dengan Tono suaminya.

“Mas, tadi di TV, ada politisi beken saling berdebat. Saling menjelek-jelekkan satu sama lainnya. Mungkin karena ego merebut kekuasaan. Mau jadi Gubernur DKI kali ya. Tapi kok, mereka sudi saling menghujat dan menghina?” tanya Surtti.

“Oh iya Bu. Itulah politik di negeri kita. Terlalu kotor. Ingin mendapat simpati dan kekuasaan. Tapi harus mencaci maki yang lain. Saling tuding dan menghujat. Apa saja seolah bisa dingkap ke publik. Sungguh, politik itu ibarat sampah. Hanya berpikir mau menang sendiri, benar sendiri. Hingga rasa MALU pun lenyap” jawab Tono.

“Kenapa mereka kehilangan rasa malu, Mas?” tanya Surti.

“Entahlah. Apa karena sekolahnya tinggi. Atau karena nafsu dan ambisi pribadi. Ribut setiapp hari, gaduh melulu. Sudah gak malu lagi. Gak mau minta maaf kalo salah. Terlalu banyak dalih. Membenarkan diri sendiri lalu menyalahkan orang lain. Mereka sudah gak punya malu. Apa kata dunia kalo begini jadinya pemimpin kita” tutur Tono.

“Lho, itu kan cuma pendapat subjektif mereka. Mengapa harus malu, Mas?”

“Apapun alasannya Bu. Menghujat, menghina orang lain tidak pantas. Apalagi kalo hinaan itu salah. Kita harus malu. Sungguh, kita harus berani untuk MALU. Karena Malu itu bukan HANTU, Bu. MALU itu perasaan yang dihidupkan dan didewasakan dalam diri kita sendiri” jelas Tono.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan Mas?” Surti meminta nasihat.

“Bu, manusia itu tempatnya berbuat salah. Orang salah itu manusiawi. Tinggal kita, mau atau tidak mengakui salah. Kalo salah ya harus malu. Caranya minta maaf. Kabarkan bahwa apa yang kita katakan salah. Kita hanya butuh rasa malu” papar Tono.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun