Panggil aku Kartono. Aku hanya seorang lelaki yang mengusung senja.
Sungguh, aku tak ada hubungan dengan Kartini sang pahlawan emansipasi.
Sekarang usiaku 46 tahun. Lelaki yang tak pernah berhenti berjuang untuk menjadi suami, menjadi ayah yang lebih baik lagi dari hari-hari kemarin. Lelaki yang sangat mencintai ibu. Lelaki yang lebih sering menangis karena mengingat ibu. Lelaki yang menjadikan ibuku adalah segalanya, sumber restu dan kebaikan. Panggil aku Kartono, aku bangga nama ini disematkan oleh ibuku.
Panggil aku Kartono. Karena dulu, aku pernah bertanya pada ibuku.
“Bu, bagaimana aku bisa jadi laki-laki sejati?”
Lalu, ibuku menjawab: Nak, kamu harus tahu ..…
Laki-laki sejati itu bukan dilihat dari bahunya yang kekar. Tapi dari kasih sayangnya kepada orang-orang di sekitarnya.
Laki-laki sejati itu bukan dilihat dari suaranya yang lantang. Tapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.
Laki-laki sejati iitu bukan dilihat dari kerasnya pukulan. Tapi dari sikap bijaknya memahamipersoalan.
Laki-laki sejati itu bukan dilihat dari dadanya yang bidang. Tapi dari hati yang ada di baliknya.
Laki-laki sejati itu bukan dilihat dari jumlah barbel yang diangkatnya. Tapi dari tabahnya ia menghadapi pahit getir kehidupan.