Eksploitasi diri lewat tulisan.
Berapa banyak orang pintar tapi gak bisa nulis. Berapa banyak orang yang punya pengetahuan tak terbatas tapi gak mau ditulis. Berapa banyak orang yang hebat tapi gagal dalam menulis. Berapa banyak orang pandai bicara tapi sayang mereka gak pernah bisa menulis. Pintar dan tahu banyak sama sekali gak berguna ketika gak mau dituliskan. Mengapa terjadi? Karena mereka gak mau meng-eksploitasi diri lewat tulisan. Lalu bilang, gue gak bisa nulis.
Eksploitasi diri lewat tulisan.
Itulah ruang privat yang ada pada diri sendiri. Pada siapapun, untuk soal apapun. Ekspolitasi diri lewat tulisan hanya ada pada diri kita. Sendirian, bukan pada orang lain. Karena dengan menulis, kita bisa jadi apa saja, bisa jadi seperti yang kita mau. Ruang privat dalam diri adalah menulis, menulis, dan menulis. Tidak ada yang mencampuri ruang privat milik kita. Maka ekploitasi diri lewat tulisan menjadi penting.
Menulis adalah eksploitasi diri. Maka keberhasilan kita dalam menulis sangat bergantung pada keberanian kita untuk menciptakan ruang privat dalam diri sendiri, eksploitasi diri lewat tulisan.
Lalu, gimana caranya eksploitasi diri lewat tulisan?
Caranya hanya satu saja; menulis, menulis dan menulis. Tidak ada waktu yang tidak bisa ditulis. Tidak ada momentum yang tidak bisa ditulis. Setiap kita bisa menulis. Masalahnya, mau apa gak untuk menulis. Mau atau gak ekploitasi diri lewat tulisan. Menulis setiap hari, menulis di mana saja, menulis kapanpun. Gak ada alasan untuk tidak menulis.
Eksploitasi diri lewat tulisan.
Itulah saat kita menjadi diri sendiri. Saat kita “mengikat makna” antara diri dengan pikiran. Momentum kita untuk benar-benar mementingkan diri sendiri. Berperang melawan kemalasan. Rajin menulis di ruang privat yang kita miliki. Karena menulis, kita harus melibatkan diri kita sendiri. Berani menyatakan pendapat, berani mengungkapkan subjektivitas secara tertulis. Eksploitasi diri lewat tulisan, ketika kita mampu mengunggulkan diri lewat tulisan. Hasil jadinya, tulisan.