Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Asesor Kompetensi Dana Pensiun - Mantan Wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku diantaranya JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Taksi Konvensional vs Taksi Online; Kemarahan yang Terlambat

23 Maret 2016   00:25 Diperbarui: 23 Maret 2016   12:17 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Supir Taksi Demo di Jakarta. KEMARAHAN yang TERLAMBAT, itu kesan saya menyikapi demo tersebut. Mengapa harus marah? Kalah bersaing. Atau omset menurun drastis. Merasa susah sekarang. Atau merasa ada yang mengganggu kenyamanan. Sungguh kata kuncinya satu saja, TERLAMBAT.

 [caption caption="Sumber: Pribadi - Taksi Konvensioanl vs Transport Online"][/caption]

Lalu, apa yang didemo? Siapa yang jadi sasaran demo?

Gak jelas. Regulator yang didemo. Pengemudi layanan aplikasi transportasi online. Minta teknologi aplikasinya ditutup. Atau yang penting demo saja, terserah siapapun yang jadi korban. Agar semua orang tahu bahwa kalian sedang marah!! Sungguh satu kata lagi, TERLAMBAT.

Manusia memang suka lupa. Gak mau mawas diri. Apalagi ketika nyaman, keenakan lalu lupa.

Kita masih ingat Nokia si “connecting people” yang popular dan terkenal dulu. Kemana merek itu sekarang? Sudah tutup dan lenyap di pasaran. Apa yang terjadi pada Nokia dulu?

Jujur saja, gak ada yang salah dari Nokia. NOKIA HANYA TERLAMBAT. Telat alias lamban merespon persaingan dan perubahan bisnis yang cepat. Hingga akhirnya Nokia kalah dalam bersaing.  

CEO Nokia kala itu, Jorma Ollila hanya bisa berucap kalimat terakhir: “Kami tidak melakukan sesuatu kesalahan, tapi saya tidak tahu mengapa kami kalah“. TERLAMBAT dan seketika lenyaplah Nokia.

Belajar dari demo taksi konvesional vs taksi online.

Mereka TERLAMBAT merespon kemajuan teknologi. Kemarahan yang terlambat, lalu dilampiaskan dalam demo yang nyaris ricuh. Merugikan banyak pihak, merusak kendaraan sendiri. Lalu apa yang mau dicapai dari demo itu? Sekali lagi gak jelas. Gak tahu tujuannya apa. Gak mungkinlah meminta MENUTUP APLIKASI TRANSPORTASI ONLINE. Menutup aplikasi online berarti kita melawan kemajuan peradaban manusia, melawan selera konsumen.

Lalu, apa pelajaran penting dari demo taksi konvensional hari ini?

Gak ada yang lain selain BELAJAR. Kita dan semuanya harus terus BELAJAR pada saatnya, belajar agar tidak terlambat mengambil tindakan. Belajar untuk BERKOMPETISI secara realistis.  

Kesalahan terbesar dari Nokia hingga hancur adalah TERLAMBAT BELAJAR. Mereka terlena pada kejayaan di masanya. Lupa untuk untuk belajar, membiarkan perubahan. Dan akhirnya kehilangan kesempatan. Termasuk membuang KESEMPATAN untuk bertahan hidup. Terlambat belajar jadi kalah berkompetisi.

Taksi konvensional pun begitu nyatanya. Terlambat belajar, terlambat beradaptasi dengan teknologi. Hingga akhirnya kalah bersaing. Kalah kompetisi dengan layanan aplikasi transportasi online. Hingga marah. Karena merasa terancam hidupnya, merasa disengsarakan oleh orang lain.

Realistis saja, TERLAMBAT antisipasi dan tanpa mau BELAJAR maka secara alamiah kamu pasti kalah KOMPETISI. Sekarang baru tersadar, dan mencari kesalahan pada orang lain. Sungguh wajar dan manusiawi. Saya dapat memaklumi ….

Mengapa kemarahan taksi konvesional terlambat?

Terlambat satu. Karena taksi konvesional selama puluhan tahun hidup dalam “keangkuhan” sebagai penguasa, tidak ada yang menggangu dan konsumen tidak punya pilihan lain selaian taksi konvensional. Hari ini mereka baru tersadar, kalah bersaing. Lalu mencari kesalahan pada orang lain. Meminta pertolongan, entah kepada siapa?

Terlambat dua. Karena taksi konvensional gak pernah menduga akan “lahir” si Uber Taxi, si GrabCar, si GO-JEK atau si GrabBike yang lebih digemari konsumen. Mereka yang baru lahir, memang masih balita tapi membuat konsumen menjadi mudah, cepat, nyaman, terjangkau dan kompetitif. Itulah selera konsumen yang sebenarnya. Kan konsumen adalah raja, maka penuhilah maunya konsumen.

Terlambat ketiga. Karena taksi konvesional terlambat “berkawan” dengan  aplikasi teknologi. Gak mau antisipasi untuk menggunakan layanan aplikasi online pada taksinya. Pengusaha dan pengemudi taksi konvesional gak mau berubah dan belajar untuk lebih “customer oriented”. Maka terjadilah seperti sekarang, merasa terganggu karena konsumen mulai “meninggalkannya”.

Ini pelajaran penting. Bukan hanya untuk taksi konvensional. Tapi untuk kita semua manusia. Untuk kamu dan untuk saya.

BELAJAR itu penting. TERLAMBAT itu gak baik. KOMPETISI itu gak haram, harus disiapkan. Hakikat manusia harus terus BELAJAR, gak boleh TERLAMBAT dalam hal apapun agar gak menyesal. Dan bersedia untuk KOMPETISI setiap saat. Jika tidak, maka kehancuran akan mendekat.

Karena proses penciptaan manusia sendiri juga hasil dari kompetisi. Ketika sekitar 250 juta sperma yang dikeluarkan seorang bapak dalam satu kali proses pelepasan. HANYA satu sperma yang berhasil membuahi sel telur. Sperma saja berkompetisi. karena sudah kodratnya. Itupun terjadi setelah sperma-sperma melewati perjalanan sulit di dalam saluran peranakan ibu yang berbelok-belok hingga sampai ke sel telur. Ohh indahnya, kompetisi yang semacam itu ….

Terkadang, prestasi terbaik dalam hidup itu bukan terletak pada MENJADI SESUATU tapi MAMPU MEMPERTAHANKAN SESUATU. Begitulah yang harusnya menjadi mind set taksi konvensional di negeri ini.

Ohh ya, satu lagi. Hidup manusia juga harus REALISTIS. Taksi konvensional juga harus realistis. Artinya harus bisa menerima kenyataan. Hidup penuh dinamika, hidup itu bergerak. Hingga kita harus realistis menyikapinya. Jangan sampai "muka buruk, cermin dibelah". Gak elok, gak apik.

REALISTIS itu berbeda dengan LOGIS. Realistis itu berhadapan langsung dengan kenyataan. Logis itu mengacu pada logika atau pikiran. Tapi tidak semua yang logis selalu terjadi pada kenyataannya. LOGIS belum tentu REALISTIS. Dan REALISTIS itu gak ada hubungan dengan MITOS, yang menyatakan “rezeki gak akan kemana”.

Kata siapa? Rezeki gak bakal ada kalo gak mau belajar, gak mau berkompetisi. Rezeki tidak dekat pada mereka yang TERLAMBAT mengambil keputusan.

Kemarahan yang terlambat. Kini terjadi di taksi konvensional kita.

Prihatin. Tapi gak mungkin menutup aplikasi transportasi online. Sedih. Tapi mau gimana lagi. Konsumen harus memilih layanan dan produk yang sesuai dengan kebutuhannya, yang sesuai dengan harapannya.

Karena manusia memang harus hidup lalu menjalani kehidupannya, setelah itu mati. Satu-satunya yang bisa membuatnya bertahan adalah BELAJAR untuk SELALU BAIK.

Taksi konvensional gak perlu menyerah. Kamu masih ada waktu untuk BELAJAR dan berbenah. Karena konsumen kamu masih ada dan masih menunggu kamu untuk BERUBAH. Tenang saja, saya masih suka kok naikin kamu. Kamu suka kan dinaikin saya? .... 

Sederhana saja. Karena dulu ketika kamu berjaya, kamu merajai jalanan. Kamu lupa untuk BELAJAR.

Ingatlah; Sesuatu yang baik belum tentu benar. Sesuatu yang benar belum tentu baik. Sesuatu yang bagus belum tentu berharga. Sesuatu yang berharga belum tentu bagus.

Mulailah berubah, taksi konvensional. Belajar dan berkompetisilah lagi. Kamu pasti bisa.

Dan ingatlah hasrat untuk sukses memang penting. Tapi jauh lebih penting adalah hasrat untuk mempersiapkan kesuksesan.

Salam cinta untuk taksi konvensional …. #BelajarDariOrangGoblok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun