Gue gak bisa nulis. Iya itu dulu, waktu gak bisa dan gak mau menulis.
Karena gue gak tahu manfaat menulis. Gue gak ngerti apa pentingnya menulis. Dulu di zaman gue kuliah di IKIP Jakarta (Sekarang UNJ). Maka wajar, gue memilih cari kesibukan di organisasi kemahasiswaan. Aktif banget di kampus. Tapi bukan di bidang menulis. Padahal, gue punya banyak kakak kelas yang rajin nulis di koran. Cuma ya gitu deh, gue males nulis. Boro-boro nulis, baca aja males.
[caption caption="Sumber: Pribadi - Gue Gak Bisa Nulis"][/caption]Gue gak bisa nulis. Iya itu dulu, waktu awal-awal kerja selepas kuliah.
Mungkin karena seneng. Abis kuliah langsung kerja di Sekretariat Negara sebagai Pengajar Keterampilan Komunikasi. Punya gaji, kerja rutin setiap hari. Wajar gak ada waktu nulis. Sibuk kerja, sibuk ngajar. Boro-boro pengen nulis, ngurusin kerjaan pagi sampe siang plus ngajar sore ke malam. Udah sibuk, capek banget. Gak ada waktu untuk nulis.
Lha kok bisa hidup gue terselamatkkan gara-gara menulis?
Iya emang begitu. Gak di sangka. Secara orang yang udah kerja dan punya pacar kan pengen nikah juga dong. Maklum orang jelek, baru setahun pacaran udah pengen nikahin aja. Takut ditinggalin. Karena orang jelek yang miskin emang gampang dilepehin. Begitulah nyatanya.
Terus, di mana hidup gue bisa terselamatkan?
Iya pada saat gue tanya ke calon mertua, berapa kira-kira biaya yang diperlukan untuk pernikahan. Gue dikasih tahu sekian juta. Gitulah kira-kira. Sekonyong-konyong, gue mikir dari mana bisa dapat uang segitu. Secara gue punya gaji saat itu cuma 375 ribu per bulan. Kalo buat nikah, berarti gue harus nabung 100% dari gaji sekitar 30 bulan alias 2,5 tahun. Itu juga udah gak makan, gak ngasih orang tua. Pusing banget kepala gue ….
Hidup gue terselamatkkan gara-gara menulis.
Sadar gaji gue gak cukup buat biaya nikah. Satu-satunya jalan gue harus menulis buat Koran. Biar dapat honor tulisan untuk cari biaya nikah. Sesederhana itu motif gue menulis saat itu. Gue komitmen untuk rajin menulis biar bisa dapat uang buat nikah. Buat ngelamar cewek yang sekarang jadi istri dan ibu dari 3 anak gue.
Sungguh, gue gak bisa nulis. Gue gak punya bakat nulis. Minat juga gak ada sebelumnya. Tapi karena “terpaksa” nyari biaya nikah. Gue gantungkan harapan pada menulis. Akhirnya, gue rajin nulis di koran. Tiap hari gue menulis sepulang kerja dan mengirimkan tulisan via pos.
Tepat dalam tempo 5 bulan jelang nikah, di tahun 1996, gue bisa peroleh honor tulisan sekitar 12 jutaan. Uangnya bukan gue yang ambil. Tapi calon istri gue yang ambil sambil bawa KTP asli dan surat kuasa. Gue sendiri fokus untuk selalu menulis tiap hari. Minim sehari bisa dapat 2 artikel opini yang siap kirim ke koran-koran. Tentang topik apa aja, asalkan menulis dan bisa dapat honor.
Hidup gue terselamatkkan gara-gara menulis.
Dari honor itulah, gue akhirnya bisa ngelamar dan melangsungkan pernikahan sederhana pada Oktober 1996. Alhamdulillah, gue bersyukur. Menulis telah menyelamtkan gue untuk bisa menikah. Gak kepalang gue bersyukur. Bisa nikah, padahal gaji gak cukup buat biayain nikah.
Dan sampe sekarang, gue tetap menulis tiap hari, tiap malam. Nulis naskah buku, nulis sebagai ghost writer, nulis apa aja yang mau gue tulis. Karena dengan menulis gue bisa jadi diri sendiri, bisa jadi apa saja yang gue mau. Alhamdulillah lagi, dari menulis juga sekarang gue tetap dapat tambahan dana. Bersyukur lagi tiada kepalang.
Hidup gue terselamatkkan gara-gara menulis.
Jujur, sampe sekarang pun gue menulis untuk menyelamatkan hidup gue. Kok bisa, menulis menyelamatkan hidup di zaman sekarang. Setidaknya ada 5 alasan kenapa menulis bisa bikin hidup gue terseamatkan:
1. Menulis bikin gue gak sibuk ama gaya hidup berlebihan, seperti ngongkrong yang gak penting atau ngalor-ngidul yang gak puguh.
2. Menulis bikin gue gak suka buang-buang waktu untuk urusan yang gak penting, di mana aja dan kapan aja bawaannya pengen nulis.
3. Menulis bikin gue gak doyan ngelamun yang gak karuan, gak suka mimpi yang gak jelas juntrungan tanpa diikuti dengan praktik.
4. Menulis bikin gue jadi diri sendiri, jadi apa adanya karena bisa tulis semua yang gue mau dan mau jadi apa gue dalam tulisan itu.
5. Menulis bikin gue selalu “ejakulasi” puas setiap hari karena bisa menuangkan ide dan gagasan gue sendiri, ekspresi gue tersalurkan via tulisan gak melulu omongan.
Jadi, gue pantas bersyukur karena menulis bisa menyelamatkan hidup gue dari gelombang hidup modern yang makin gak jelas, konsumtif, dan hedonis. Menulis bikin gue gak sibuk ama urusan orang lain, gak sibuk ama urusan yang gak karuan.
Hidup gue terselamatkkan gara-gara menulis.
Karena MENULIS telah membuka mata hati gue. Dan proses menulis, gue gak hanya membangun diri gue sendiri tapi gue menemukan “hidup” yang sesungguhnya.
Hidup gue terselamatkkan gara-gara menulis.
Karena sampe sekarang, gue masih diberi kesempatan untuk terus menulis. Menjadi lebih kreatif dan menjadikan hidup lebih hidup. Sehat lahir sehat batin. Menulis selalu membawa gue untuk pulang ke rumah, lalu konsisten mengisi halaman demi halaman dengan ide dan gagasan yang tergoreskan. Gue merasa puas dan selalu ejakulasi dalam hidup setiap hari. Dan gak seorang pun dapat merebut perasaan ini dari gue. Itulah hebatnya menulis.
Oke sahabat, itu cuma kisah gimana hidup gue terselamatkan gara-gara menulis. Semoga gak ada lagi orang bilang “gue gak bisa nulis”. Karena soalnya sederhana, orang-orang itu mau atau tidak untuk memulai menulis.
Cukup tulis apa yang dipikirkan. Bagus tidaknya toh bisa diperbaiki di kemudian hari. Maka resep menulis hanyalah tulis, tulis, dan tulis ….
#BelajarDariOrangGoblok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H