Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembelajaran Bahasa Indonesia: Ke Mana Arahnya ?

21 Desember 2012   08:51 Diperbarui: 9 Agustus 2017   22:46 7485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Potret hari ini, seluruh pemakai bahasa Indonesia bangga terhadap bahasanya. Namun sikap dan perilaku berbahasa mereka sehari-hari bak “jauh panggang dari api”. Dalam aktivitas bahasa sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia makin redup dan “tersudutkan”. Maraknya fenomena media sosial, makin “meminggirkan” eksistensi pemakaian bahasa Indonesia. Cukup ironi, bahasa Indonesia makin terkungkung dan tidak mampu menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”.  

         Ke mana arah pembelajaran bahasa Indonesia ?

         Ada ketimpangan, begitu kesan awal terhadap pembelajaran bahasa Indonesia. Siswa lebih sering merasa bosan dalam belajar. Guru pun bisa jadi tidak menarik dalam penyampaian materi pelajaran. Belajar bahasa Indonesia jadi monoton. Kecanggihan kurikulum dan satuan pelajaran, semodel apapun, faktanya belum mampu mendongkrak kompetensi siswa dalam berbahasa. Kompetensi berbahasa siswa; membaca, menyimak, menulis, dan berbicara masih jauh dari harapan.

       Sungguh dan pasti ada ketimpangan! Begitu kesan penulis terhadap pembelajaran bahasa Indonesia. Tradisi “membaca” siswa masih belum optimal. Siswa makin enggan “menyimak”. Kebiasaan siswa “menulis” jalan di tempat. Konsekuensinya, keterampilan “berbicara” siswa pun tidak terarah bahkan relative terabaikan.

         Problematika pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah makin diperkuat dengan kenyataan terpuruknya nilai Ujian Nasional (UN) Bahasa Indonesia pada siswa SMP dan SMA. Semisal di tahun 2011 lalu. Sebut saja, pada UN SMP, nilai rata-rata UN Bahasa Indonesia adalah yang terendah dari mata pelajaran lainnya, dengan perolehan 7,49. Bandingkan dengan pelajaran Matematika 7,50, IPA 7,60, dan bahkan Bahasa Inggris 7,65. Semoga di tahun-tahun mendatang menjadi lebih baik.      

         Realitas ini tentu bertentangan dengan perjalanan panjang bahasa Indonesia dalam membuktikan eksistensi sebagai bahasa nasional. Sejak Sumpah Pemuda 1928, lebih dari 88 tahun Bahasa Indonesia dinobatkan sebagai identitas bangsa. Bahkan 72 tahun sudah, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi negara dalam UUD 1945. Belum lagi dukungan perangkat aturan seperti, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) Bahasa Indonesia yang kini menjadi PUEBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahkan Uji Keterampilan Bahasa Indonesia (UKBI). Namun, semua itu belum sebanding dengan “hasil akhir” pembelajaran Bahasa Indonesia yang diharapkan. Ke mana arah pembelajaran bahasa Indonesia?

         Berangkat dari persoalan di atas, tidak ada kata lain kecuali menegaskan kembali arah pembelajaran bahasa di sekolah. Pembelajaran Bahasa Indonesia harus melakukan “reposisi”. Guru dan siswa harus memiliki sikap yang sama. Anggapan Bahasa Indonesia mudah dipelajari karena siswa telah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari tidaklah benar. Untuk itu, harus ada upaya konkret dalam mengoptimalkan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Guru harus mengambil peran paling depan dan konsisten dalam menyesuaikan materi belajar dengan “kesempatan” siswa untuk menerapkan praktik berbahasa dan pengembangan nalar tentang bahasa Indonesia. Guru tidak perlu lagi “menjejali” siswa dengan materi belajar yang text book. Guru harus lebih kreatif untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di dalam maupun di luar kelas.

Problematika Belajar Bahasa

         Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia bukan untuk menjadikan siswa sebagai ahli bahasa. Bukan untuk menjadi siswa dengan nilai bahasa Indonesia yang bagus. Kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan keperluannya sendiri adalah tujuan siswa belajar bahasa Indonesia. Siswa harus diberi kesempatan untuk menambah “pengalaman” berbahasa. Siswa membutuhkan “ruang” untuk membaca, menyimak, menulis, dan berbicara melalui bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dialami siswa secara nyata, bukan hanya sebatas cita-cita dan slogan semata.

         Belajar bahasa Indonesia bukanlah belajar pola dan kaidah. Bukan pula pembelajaran yang mampu menghabiskan target kurikulum dan pembelajaran semata. Belajar bahasa Indonesia adalah memacu kompetensi siswa dalam berbahasa. Siswa perlu belajar cara mengemukakan pendapat pada saat dan waktu yang tepat. Kompetensi siswa dalam berbahasa harus menjadi fokus pembelajaran. Siswa mampu memahami ‘teks” secara keseluruhan, bukan “penggalan” unsur-unsur dalam bahasa itu sendiri. Bahasa adalah keutuhan teks yang dialami siswa. Harus diakui, kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang ada saat ini sangat dipengaruhi oleh problematika makro dalam pembelajaran bahasa Indonesia, antara lain sebagai berikut.

         Satu, kebijakan bahasa Indonesia yang berkembang saat ini terjebak pada politik identitas semata. Bahasa Indonesia dianggap sebagai ornamen untuk membangkitkan semangat nasionalisme tanpa diikuti langkah konkret untuk membenahi sikap dan perilaku berbahasa pemakainya. Bahasa Indonesia tidak mampu menjadi kekuatan vital dalam “mendampingi” proses perubahan jati diri dan keilmuan bagi pemakainya.

         Dua, kurikulum pembelajaran bahasa Indonesia yang katanya sudah bagus hanya menjadi simbol dalam memenuhi target penyesuaian pada tingkat satuan pelajaran. Kurikulum tetap belum mampu menembus ruang-ruang kelas yang menjadi sentral interaksi guru dan siswa dalam kegiatan belajar agar mampu berbahasa secara memadai. Kurikulum telah mengungkung kreativitas guru dalam interaksi belajar di kelas.

        Tiga, sikap guru yang terlalu biasa, kurang positif terhadap bahasa Indonesia. Guru tidak mampu mengemas materi belajar yang menarik dalam kegiatan belajar. Bahasa Indonesia dianggap tidak memiliki nilai tambah bagi siswa. Bahkan, tidak sedikit guru yang tidak bangga mengajar bahasa Indonesia. Kondisi ini diperkeruh dengan kompetensi berbahasa guru yang belum mampu menjadi “model berbahasa” bagi siswa. Keteladanan guru dalam berbahasa, khususnya menulis dan berbicara dapat dikatakan masih jauh dari harapan.

         Konsekuensinya, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah saat ini terkesan mengarah pada penguasaan materi pelajaran semata daripada kompetensi berbahasa. Bahasa Indonesia hanya sebatas pelajaran, belum mampu menjadi sikap dan perilaku berbahasa. Guru semakin dominan dalam kegiatan belajar di kelas. Hak siswa untuk berbahasa relatif terabaikan. Terbaca indikasi kuat, arah pembelajaran bahasa Indonesia hanya untuk memenuhi target kurikulum, bukan memberdayakan kompetensi berbahasa siswa.

 

Realitas Pembelajaran Bahasa

         Hari ini, tensi pembelajaran bahasa Indonesia makin mengalami penurunan. Banyak guru yang semakin sibuk mengurus program “sertifikasi” untuk mencapai kualitas kesejahteraan yang katanya juga penting. Tanpa rasa pesimis, sejujurnya, pembelajaran bahasa Indonesia semakin dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks. Apalagi menilik realitas berbahasa masyarakat “di luar kelas”, termasuk bahasa di media sosial yang makin marak dan bergerak cepat. Semakin meninggalkan bahasa Indonesia yang terlalu asyik pada level pembelajaran dan kurikulum. Realitas pembelajaran saat ini dihadapkan pada kondisi berikut.

         Satu, pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan atau tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.

         Dua, siswa semakin malas belajar bahasa Indonesia. Sikap memandang remeh dan acuh terhadap bahasa Indonesia “menyelimuti” sebagian besar siswa. Gejalanya, siswa sering ngantuk, tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran bahasa Indonesia di kelas. Siswa tidak memiliki kesadaran dan pemahaman yang cukup tentang pentingnya keterampilan berbahasa dan tata bahasa praktis bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia semakin monoton dan semakin membosankan di mata siswa.

         Tiga, adanya gejala bahasa “di luar kelas” yang makin “menyudutkan” pembelajaran bahasa Indonesia. Fenomena bahasa di media sosial (facebook, twitter, bahasa gaul, bahasa alay) dapat dianggap mengontaminasi perilaku berbahasa siswa. Siswa beranggapan bahasa Indonesia terlalu bersifat teoretik dan dipenuhi kaidah, sedangkan dinamika perkembangan bahasa di masyarakat lebih bersifat praktis dan berkembang pesat. Bahasa Indonesia dianggap tidak mampu “menjembatani” program pembelajaran di dalam kelas dan di luar kelas.

         Empat, sikap inferior atau rendah hati siswa dalam menggunakan bahasa Indoneisa yang baik dan benar. Cara pandang berbahasa Indonesia yang baik dan benar dikesankan kaku dan menyalahkan. Siswa pun tidak mendapatkan “model” yang pas dalam berbahasa Indonesia yang indah. Maka, siswa merasa lebih memiliki “gengsi” apabila dapat menggunakan bahasa asing atau bahasa Inggris dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik secara lisan maupun tulis.

         Realitas pembelajaran di atas patut menjadi perhatian semua pihak. Jika tidak, bahasa Indonesia akan semakin tergerus eksistensinya di mata pemakainya sendiri. Semua pihak harus menyadari “posisi” pembelajaran bahasa Indonesia saat ini harus dievaluasi. Apapun jalan yang ditempuh, pembelajaran bahasa Indonesia harus dikondisikan menjadi lebih “bergairah dan antusias” dari sekarang. Bahasa Indonesia, harus dipahami sebagai mata pelajaran yang bukan hanya penting. Tapi juga “menarik lagi maslahat” bagi guru dan siswa yang belajar.

Solusi Praktis

         Apa yang harus kita lakukan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia?

         Kita, guru dan praktisi bahasa Indonesia semestinya lebih berkonsentrasi pada aspek praktis pembelajaran bahasa Indonesia. Berbahasa Indonesia artinya siswa kompeten menggunakan bahasa Indonesia. Siswa harus berani membaca, menyimak, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dengan kompetensi yang memadai. Target pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya diarahkan pada 1) memiliki kompetensi berbahasa yang memadai (membaca, menyimak, menulis, dan berbicara) dan 2) mampu berpikir dan bernalar secara objektif .

         Belajar bahasa bukan pada “pengetahuan bahasa” melainkan pada “kemampuan berbahasa”. Orientasi belajar bahasa bukan seberapa tahu tentang bahasa tapi seberapa mampu berbahasa? Sungguh, pembelajaran bahasa Indonesia butuh sikap dan perilaku yang tidak mudah. Butuh komitmen yang kuat dari siswa dan guru. Agar bahasa Indonesia punya arah pembelajaran yang produktif dan kompetitif, seiring dinamika dan tantangan bahasa Indonesia di mata pemakainya.

       Berapa lama siswa membaca dalam sehari? Saat kapan siswa menyimak dengan benar? Mampukah siswa menuliskan pengalamannya? Kapan dan tentang apa siswa berbicara? Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, butuh sikap dan perilaku. Karena belum belajar bahasa namanya, jika kiita belum membaca, bellum menyimak, belum menullis, dan belum berbicara. Sekali lagi, belajar bahasa Indonesia adalah meningkatkan kompetensi berbahasa. Belajar bahasa Indonesia harus lebih kontekstual, sesuai dengan dinamika peradaban kekinian. Belajar bahasa Indonesia harus menarik. Agar tidak monoton dan tidak membosankan. Dan hal yang tidak kalah penting, belajar bahasa Indonesia sangat mengharuskan haadirnya kreativitas guru dalam mengajar dan evaluasi pembelajaran bahasa Indonesia harus dapat diukur oleh siswa, bukan oleh guru.

         Guru dituntut memiliki orientasi pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih bersifat praktis. Sebagai solusinya, ada beberapa orientasi praktis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, antara lain: 1) proses pembelajaran harus bertumpu pada siswa, bukan guru, 2) belajar bahasa hanya menekankan pada kompetensi berbahasa siswa bukan yang lainnya, 3) materi pelajaran harus disederhanakan agar tidak membosankan, 4) porsi kreativitas guru dalam pembelajaran harus lebih besar lagi, 5) evaluasi belajar yang dapat diukur siswa, dan 6) menerapkan metode pembelajaran bahasa Indonesia yang menarik dan menyenangkan.

         Tentu, masih banyak cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia. Sejauh dilandasi semangat dan kegairahan dalam belajar bahasa Indonesia pasti akan memberi implikasi yang positif untuk semua pihak; untuk siswa, guru, maupun tujuan pembelajaran itu sendiri. Kali ini, kita perlu melibatkan “hati” dalam belajar bahasa Indonesia, tidak hanya pikiran. Sikap, kompetensi, penguasaan materi, dan seni mengajar menjadi aspek terpenting dalam menggairahkan pembelajaran bahasa Indonesia ke depan.

       Jika semua itu bisa direposisi, maka pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah akan menemukan kembali kehebatannya!!

       HANYA SISWA YANG SIAP, MAKA GURU TERBAIK PASTI DATANG …. #BahasaIndonesia #BelajarBahasaIndonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun