Tiga, sikap guru yang terlalu biasa, kurang positif terhadap bahasa Indonesia. Guru tidak mampu mengemas materi belajar yang menarik dalam kegiatan belajar. Bahasa Indonesia dianggap tidak memiliki nilai tambah bagi siswa. Bahkan, tidak sedikit guru yang tidak bangga mengajar bahasa Indonesia. Kondisi ini diperkeruh dengan kompetensi berbahasa guru yang belum mampu menjadi “model berbahasa” bagi siswa. Keteladanan guru dalam berbahasa, khususnya menulis dan berbicara dapat dikatakan masih jauh dari harapan.
Konsekuensinya, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah saat ini terkesan mengarah pada penguasaan materi pelajaran semata daripada kompetensi berbahasa. Bahasa Indonesia hanya sebatas pelajaran, belum mampu menjadi sikap dan perilaku berbahasa. Guru semakin dominan dalam kegiatan belajar di kelas. Hak siswa untuk berbahasa relatif terabaikan. Terbaca indikasi kuat, arah pembelajaran bahasa Indonesia hanya untuk memenuhi target kurikulum, bukan memberdayakan kompetensi berbahasa siswa.
Realitas Pembelajaran Bahasa
Hari ini, tensi pembelajaran bahasa Indonesia makin mengalami penurunan. Banyak guru yang semakin sibuk mengurus program “sertifikasi” untuk mencapai kualitas kesejahteraan yang katanya juga penting. Tanpa rasa pesimis, sejujurnya, pembelajaran bahasa Indonesia semakin dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks. Apalagi menilik realitas berbahasa masyarakat “di luar kelas”, termasuk bahasa di media sosial yang makin marak dan bergerak cepat. Semakin meninggalkan bahasa Indonesia yang terlalu asyik pada level pembelajaran dan kurikulum. Realitas pembelajaran saat ini dihadapkan pada kondisi berikut.
Satu, pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung monoton dan membosankan. Metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah, dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan atau tugas yang evaluasinya sering tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belajar bahasa Indonesia tidak diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar, atau alam terbuka.
Dua, siswa semakin malas belajar bahasa Indonesia. Sikap memandang remeh dan acuh terhadap bahasa Indonesia “menyelimuti” sebagian besar siswa. Gejalanya, siswa sering ngantuk, tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran bahasa Indonesia di kelas. Siswa tidak memiliki kesadaran dan pemahaman yang cukup tentang pentingnya keterampilan berbahasa dan tata bahasa praktis bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia semakin monoton dan semakin membosankan di mata siswa.
Tiga, adanya gejala bahasa “di luar kelas” yang makin “menyudutkan” pembelajaran bahasa Indonesia. Fenomena bahasa di media sosial (facebook, twitter, bahasa gaul, bahasa alay) dapat dianggap mengontaminasi perilaku berbahasa siswa. Siswa beranggapan bahasa Indonesia terlalu bersifat teoretik dan dipenuhi kaidah, sedangkan dinamika perkembangan bahasa di masyarakat lebih bersifat praktis dan berkembang pesat. Bahasa Indonesia dianggap tidak mampu “menjembatani” program pembelajaran di dalam kelas dan di luar kelas.
Empat, sikap inferior atau rendah hati siswa dalam menggunakan bahasa Indoneisa yang baik dan benar. Cara pandang berbahasa Indonesia yang baik dan benar dikesankan kaku dan menyalahkan. Siswa pun tidak mendapatkan “model” yang pas dalam berbahasa Indonesia yang indah. Maka, siswa merasa lebih memiliki “gengsi” apabila dapat menggunakan bahasa asing atau bahasa Inggris dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik secara lisan maupun tulis.
Realitas pembelajaran di atas patut menjadi perhatian semua pihak. Jika tidak, bahasa Indonesia akan semakin tergerus eksistensinya di mata pemakainya sendiri. Semua pihak harus menyadari “posisi” pembelajaran bahasa Indonesia saat ini harus dievaluasi. Apapun jalan yang ditempuh, pembelajaran bahasa Indonesia harus dikondisikan menjadi lebih “bergairah dan antusias” dari sekarang. Bahasa Indonesia, harus dipahami sebagai mata pelajaran yang bukan hanya penting. Tapi juga “menarik lagi maslahat” bagi guru dan siswa yang belajar.
Solusi Praktis