Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 52 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puasanya Surti: Menjemput Hidayah

22 Juli 2014   04:50 Diperbarui: 19 Juni 2016   19:15 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com/AFP PHOTO / ADEK BERRY)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com/AFP PHOTO / ADEK BERRY)"][/caption]

Surti baru saja membereskan sajadah. Seusai sholat Maghrib, setelah berbuka puasa. Seperti biasa, ia selalu mencari kesibukan. Sambil menantikan waktu Sholat Tarawih, ia membaca majalah Islami. Bukan majalah baru, yang terdampar di bawah meja ruang tamu. Arah matanya tertuju pada satu pepatah menarik yang belum pernah dibacanya. Batinnya tersentak, ketika membaca pepatah, “Orang yang terbiasa berada dalam kegelapan, cahaya terang sangat menyilaukan”. Sungguh, kalimat indah yang belum pernah ia baca. Surti pun menyimpan dalam hatinya, dalam pikirannya.

Tak lama, Tono suaminya menghampiri. “Sedang membaca apa Bu?” tanyanya santai.

1405954195215949897
1405954195215949897
“Gak Mas. Aku hanya merasa belum optimal ibadah puasa tahun ini. Padahal sudah separuh jalan. Aku khawatir gak dapat hidayah-Nya saja,” ucap Surti pelan.

“Lho kok begitu Bu. Menurut saya, HIDAYAH itu jangan ditunggu, tapi harus dijemput. Kita harus menjemput HIDAYAH. Karena kita telah menjalani ibadah puasa dengan sebaik-baiknya. Kita pantas menjemput hidayah Allah” jawab Tono.

Surti agak terheran. “Mengapa kita harus menjemput hidayah Mas?” tanyanya.

“Iya Bu. Karena tidak ada yang dapat mewakilkan diri kita untuk menjemput hidayah-Nya. Kita sendiri yang harus berusaha meraihnya, mencarinya. Dan bahkan membuka hati untuk menerima “cahaya keimanan” dari Allah SWT. Ibadah Puasa sebulan penuh melatih kita untuk meraih hidayah-Nya. Selama puasa, kita aktif dalam aktivitas yang mampu "menyeret" kita kepada telaga keimanan kepada-Nya. Maka, hidayah pun akan segera menghampiri kita,” terang Tono.

“Lalu bagaimana cara kita bisa menjemput hidayah-Nya?” Surti penasaran.

“Jawabannya adalah IKHTIAR. Hidayah tak mungkin diraih hanya dengan duduk diam. Sambil duduk tersipu dan menangis. Mengharapkan ada makanan turun dari langit, tanpa bayar dan serta merta menjadi kenyang. Semua yang kita ingin raih harus kita jemput, caranya dengan IKHTIAR atau USAHA. Begitu pula jika kita ingin mendapatkan Hidayah, banyak cara yang harus dilakukan untuk menjemputnya.”

 

Surti terdiam. Ia setuju dengan alasan suaminya. “Iya Mas. Tapi bagaimana caranya?” tanyanya lagi.

“HIDAYAH itu seperti orang yang sedang berpuasa mencari makanan untuk buka puasa saat Maghrib tiba. Setiap orang berakal dan berilmu tahu bagaimana cara mendapatkan makanan. Mereka akan tahu bagaimana cara membuat kenyang secara halal dan benar. Mereka pasti tidak membiarkan dirinya mati dalam keadaan lapar. Berjuang untuk meraih makanan berbuka di saat puasa walau perut sedang lapar, itulah cara menjemput hidayah,” tukas Tono.

 

“Tapi kita kan berpuasa untuk Allah SWT. Maka kita harusnya dimudahkan-Nya?” tanya Surti lagi.

 “Belum tentu Bu. Jangan sangka bahwa orang yang berpuasa, rajin sholat, ditambah ibadah-ibadah sunnah lainnya pasti mendapat hidayah Allah. Belum tentu. Hidayah juga menuntut sikap istiqomah kita dalam meraihnya. Jadi, HIDAYAH tidak serta merta diberikan Allah kepada hamba-Nya. Namun harus ada usaha dan kerja keras. Termasuk dalam melewati ribuan godaan dan cobaan hidup,” jawab Tono.

 

“Tapi Mas, bukankah dengan ibadah puasa kita sudah dilatih untuk menjemput hidayah?” tanya Surti.

 “Ibadah puasa, sesungguhnya melatih kita untuk menahan diri, menahan hawa nafsu. Saat berpuasa kita dilatih meninggalkan kebiasaan yang telah bertahun-tahun dilakukan. Kita dipaksa berubah lewat puasa. Dan itu tidak mudah. Maka hidayah setelah puasa adalah kita harus mau meninggalkan kebiasaan buruk untuk berganti dengan kebiasaan baik. Memang tak mudah, tapi bukan berarti tak bisa. Bila ada niat berubah, maka kita telah menjemput hidayah-Nya,” papar Tono.

“Maksudnya gimana mas?” tanya Surti lagi.

“Bu, saat ini banyak manusia yang berlomba-lomba menghambakan diri pada harta, tahta, bahkan wanita. Banyak dari kita yang berani berkorban untuk kenikmatan dunia, yang sifatnya sementara. Sungguh ironis, kita rela menukar manisnya IMAN demi kebahagiaan dunia. Menjemput HIDAYAH itu berarti kita harus berubah dari orientasi duniawi yang berlebihan kepada orientasi ukhrowi. Jemputlah akhirat kita melalui dunia kita” jawab Tono.

“Ketahuilah Bu. Hidayah Allah hakikatnya mengajak kita untuk berubah menjadi lebih baik. Hidayah bukan barang gratisan, ia harus dijemput. Salah jika kita menyangka Allah belum memberi hidayah. Padahal, hidayah Allah bertebaran dimana-mana, di setiap waktu, di setiap tempat dan di setiap peristiwa. Ibarat TV, hidayah adalah usaha kita menyalakannya agar bisa ditonton. Ibarat Majelis Ilmu, hidayah adalah usaha kita untuk rajin mendatanginya,” sambung Tono lagi meyakinkan istrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun