Jika kita perhatikan kehidupan rakyat Indonesia hari ini, sebagai negara terbesar ke-4 di dunia, setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat, yang masing-masing dengan jumlah penduduk 1.4 miliar, 1.3 miliar, 331 juta, dan 268 juta.
Angka-angka itu sangat bombastis. Bandingkan misalnya dengan sejumlah negara Arab, penduduk Indonesia jauh di atas mereka. Sebutlah misalnya Arab Saudi yang hanya sekitar 33 juta, Qatar 2.6 juta, Oman 4.6 juta, Palestina 4.8 juta, Libya 6.3 juta, Tunisia 11 juta, Suriah 18 juta, Yaman 28 juta, Irak 38 juta, Iran 82 juta, Bahrain 1.4 juta, Emirat Arab 9.4 juta, untuk menyebut beberapa contoh.
Atau dibanding sejumlah negara Eropa, pun tak sebanding. Misalnya Prancis 67 juta, Jerman 82 juta, Inggris 65 juta, Italia 60 juta, Swedia 10 juta, Hongaria 9.7 juta, Austra 8.8 juta, Swiss 8.4 juta, Georgia 3.7 juta, Islandia 350 ribu, Monako 38 ribu, juga untuk nyebut beberapa contoh.
Sejumlah negera tetangga Indonesia juga masih di bawah, Filipina 109 juta, Vietnam 93.7 juta, Thailand 68 juta, Malaysia 32 juta, Australia 25.4 juta, Sri Langka 21 juta, Singapora 5.6 juta, Timor Leste 1.1 juta, atau Brunei 422 ribu, untuk menyebut sejumlah negara tetangga.
Ternyata, negara maju itu tak ditentukan oleh jumlah penduduknya. Melainkan oleh SDM-nya, oleh karakteristiknya. Maka itu tepat sekali, tak lama setelah terpilih menjadi Presiden RI 2014 lalu, Joko Widodo melontarkan ide kontroversial, berupa nawacita kebangsaan yang dia sebut dengan "revolusi mental".
Sejumlah negara yang disebut di atas tercermin, ada negara kecil, maju dan sekaligus miskin. Sebaliknya, ada negara besar, makmur dan sejahtera, juga sekaligus terkebelakang. Semuanya akan sangat tergantung SDM-nya. Contoh nyata Singapora, negaranya kecil dan SDA-nya zero. Tetapi kekayaannya berlimpah, termasuk negara teratas dalam hal PDB, income per kapita.
Maka itu tak ada pilihan lain, kecuali negeri ini sepakat membangun SDM. Revolusi Mental yang dikumandangkan Jokowi 5 tahun lalu, dimaksudkan untuk itu. Apalagi di periode kedua ini, Jokowi sudah bertekad membangun SDM, setelah selama ini hanya lebih banyak memacu infrastruktur di semua wilayah nusantara.
Ada banyak indikator yang bisa digunakan untuk membangun SDM ini. Beberapa di antaranya, misalnya memerangi penyakit kebencian atau dendam. Orang yang terkena penyakit ini tak akan produktif. Dampaknya, seluruh waktu dan pikirannya akan habis begitu saja, dan tak akan pernah bisa menjadi orang yang sangat produktif.
Maka itu, saatnya warga negara di negeri ini menghilangkan penyakit ini. Apalagi jika mampu membaliknya, bisa menimbulkan spirit dan berkah.Â
Karena jika saja kita sebagai warga negara berhasil memandang semua kesalahan dan kekurangan orang lain, tentu bisa jadi berkah. Apalagi jika kita bisa tulus memaafkan, mendoakan, serta memperbaiki dan menjaga aib orang lain. Dalam pandangan hukum agama ini menjadi  semacam ladang pahala, tanpa biaya.
Karakter yang perlu dibangun lainnya adalah, semangat kemuliaan. Harusnya mengisi hidup ini bukan untuk gelar, jabatan atau kekayaan. Melainkan kemuliaan. Menjadi manusia mulia itu tujuan.Â
Karena jika kualitas pribadi kita buruk, maka semuanya akhirnya hanyalah "topeng tanpa wajah". Jika kita jadi pemimpin, hendaknya yang berkarakter. Ciri seseorang pemimpin yang baik itu akan nampak dari kematangan pribadi, buah karya, serta integrasi antara kata dengan perbuatan.
Jika kita punya harta, tetapi belum bisa membagikan harta atau membagikan kekayaan, maka bagikanlah contoh kebaikan. Karena hal itulah yang akan menjadi ketauladanan.
Hal lainnya yang juga sangat urgent, janganlah kita ini sampai hanya bisa pernah menyuruh orang lain untuk berbuat kebaikan. Justru seharusnya kita sendiri yang duluan melakukannya.
Untuk itu ada banyak pesan bijak yang harus kita lakukan. Misalnya, awali segala sesuatunya untuk kebaikan dari diri kita sendiri. Pastikan juga kita sudah melakukan yang terbaik dan selalu beramal pada orang lain, baik dengan materi yang kita miliki, atau dengan Ilmu, dengan tenaga dan pikiran, atau minimal dengan senyuman yang tulus.
Hendaknya kita juga meyakini, bahwa pembohong dan penipu akan dipenjara oleh kebohongan dan perbuatannya sendiri. Orang yang jujur akan menikmati kemerdekaan dalam hidupnya. Bila memiliki banyak harta, maka hendaklah kita yang akan menjaganya. Tetapi jika kita punya banyak ilmu, maka ilmu itulah yang akan menjaga kita.
Andai saja kita punya hati yang bersih, maka Insya Allah tak ada waktu dan ruang untuk berpikir licik, berlaku curang, atau punya watak dengki, sekalipun terhadap orang lain.
Untuk sebuah kemajuan, bekerja keras adalah bagian dari fisik. Bekerja cerdas merupakan bagian dari otak, sedangkan bekerja ikhlas adalah bagian dari hati.
Oleh karena itu, hendaklah kita jadikan setiap kritik bahkan penghinaan pada diri kita, diterima sebagai wasilah untuk memperbaiki diri kita sendiri.
Kita tak pernah tahu kapan kematian akan menjemput. Tapi yang kita tahu kematian itu pasti datang. Misalnya, seberapa banyak bekal rohani yang kita miliki untuk menghadapinya.
Revolusi Mental akan mengantarkan semangat itu. Beragama dengan baik dan benar juga menjadi bagian. Maka itu, saatnya kita melakukannya saat hidup ini. Semuanya semata untuk Indonesia yang lebih baik. Biar dengan begitu, negeri ini memiliki SDM yang berdaya saing yang tinggi. SDM produktif, dan inovatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H