Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mahasiswa dan Tantangan Peradaban Umat

10 Oktober 2019   11:40 Diperbarui: 10 Oktober 2019   12:38 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Spirit Mahasiswa yang ingin melakukan perubahan, dengan cara berdemonstrasi atau unjuk rasa besar-besaran sejak penghujung akhir September lalu, hingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo dan Kyai Makruf Amin, 20 Oktober mendatang, jelas sebuah sikap yang salah kaprah. Salah pilihan, serta salah sasaran.

Demo, atau unjuk rasa, memang sebuah alternatif. Ketika channel lain sudah mempet, tidak tersalurkan. Tuntutan mereka untuk menolak RUU KUHP, atau RUU KPK (yang sudah disetujui DPR RI), serta beberapa RUU lainnya, secara nyata sudah dipenuhi negara, dalam hal ini langsung oleh Presiden RI, Joko Widodo. 

Beberapa dari RUU itu sudah ditunda pembahasannya, seperti RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU PAS, RUU Minerba dan RUU Pertanahan. Tak hanya itu, UU KPK yang sudah disetujui pun kemungkinan direvisi, entah dalam bentuk apa. 

Artinya, tuntutan mereka sudah diakomodasi. Tinggal mengawalnya. Dengan demikian, tak ada lagi tuntutan yang signifikan yang harus ditolak melalui unjuk rasa. Kecuali para mahasiswa itu sejalan dengan para pendompleng demo, yang tuntutannya (seperti terlihat dari spanduk yang mereka bentangkan, dan sebagian dari orasi yang mereka lontarkan) berbunyi : saatnya ganti sistem, saatnya ganti rezim. Dari istilah yang mereka gunakan, kita bisa faham dan siapa saja kelompok ini.

Ini tentu sudah jauh melenceng dari niat demonstrasi mahasiswa, yang kompak berhasil menggalang dan menggelindingkan gerakan di semua daerah. Masalah yang mereka perjuangkan juga memang berat dan relevan, khususnya yang  terkait dengan RUU KUHP dan (sebagian kecil) UU KPK, serta sejumlah RUU lainnya. 

Menjalan Fungsi Mahasiswa

Sebagai aktivis mahasiswa "tempoe doeloe", saya welcome terhadap aktivitas sosial mahasiswa hari ini. Generasi kami saat jadi mahasiswa, berada dalam situasi yang sangat represif. 

Kala itu, tak sedikit mahasiswa ditangkap tanpa proses hukum. Sewaktu-waktu, seorang mahasiswa bisa saja dijemput dikostnya di malam hari, hanya karena di siang hari ia termonitor mengecam presiden dalam seminar. 

Tak hanya mahasiswa, para guru agama atau juru dakwah mengalami hal yang sama. Termasuk dosen. Jika ada ceramahnya yang berani mengkritik kebijakan negara, khususnya Presiden RI Jenderal Soeharto (kala itu), siap-siap akan dibawa ke balik jeruji besi.

Itu dulu, di era Orde Baru. Pada zaman itu, otoritarianisme merajalela. Ada wartawan yang tinggal mayatnya karena membongkar kasus aparat. Pers bisa dicabut SIUP-nya karena tak sejalan beritanya dengan kehendak negara. 

Padahal mahasiswa banyak punya fungsi, antara lain sebagai agent of social change, agent of modernization, serta control social. Fungsi yang melekat dengan dunia kampus yang menjadi identitasnya itu, sejalan dengan garis yang dianut negara.

Seperti diketahui, ada dua poros besar arus (aktivitas gerakan) mahasiswa dalam menjalankan fungsi civitas akademika di PT. Pertama, model Anglo System, di sini kampus dan civitas akademikanya mengembangkan kelanjutan Universitas Studiosorum. Model ini telah dipengaruhi para insustriawan Inggris dan Amerika, yang merancang kurikulum pendidikannya dengan kebutuhan lingkungan, yakni kebutuhan industri. 

Mahasiswa dalam konteks ini tak hanya belajar dana, dan lulus sarjana, melainkan juga peduli dengan situasi lingkungan yang terjadi di luar kampus. Mahasiswa dalam hal ini bisa melakukan karya nyata, pengabdian, bahkan unjuk rasa sebagai bentuk kepedulian sosial. 

Kedua, model Kontinental System, sebagai tindak lanjut dari Universitas Magistorum. Model ini lebih menekankan pada masalah-masalah penelitian saja, pemahaman keilmuan, studi banding, laboratorium, tanpa perlu harus memperdulikan situasi dan perkembangan yang terjadi di lingkungan sekitar kampusnya.

Maka itu, dulu kampus kerap dituding sebagai "the ivory tower", menara gading. Sebagai menara gading, maka kehadiran kampus menjadi mengawang-awang, tanpa pernah ngerti apa yang terjadi di sekitarnya.

Burhan D Magenda, pakar politik dari UI, dalam Jurnal Ilmiah PRISMA, Desember 1977, melalui tulisannya : "Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan Sistem Politik", menyatakan, gagasan model Inggris dan Amerika itu tak semudah yang dibayangkan untuk diterapkan di negeri ini. Hal ini katanya, karena dari awal pendirian PT lebih didominasi oleh gagasan dan kepentingan kolonial Belanda. 

Alasannya, pertama, karena sejak dekade pertama awal abad ke-20 di nusantara ini sudah diperkenalkan tentang sisi politik etis. Kedua, sebagai upaya untuk memperoleh tenaga-tenaga menengah lokal, yang diperlukan untuk perluasan ekonomi kolonial, yang juga sudah diperkenalkan sejak akhir abad ke-19, dengan kurve pertumbuhannya berpuncak pada tahun 1920-an.

Sedang sejarawan UGM, Kuntowijoyo di harian Pelita, 31 Juli 1981, mencatat bahwa kelahiran PT di Indonesia telah melahirkn kesadaran tentang perlunya berjuang lewat satu alat modern, yakni organisasi. Faktor-faktor inilah yang menurut Kuntowijoyo telah mendorong kelahiran Syarikat Islam, dan pergerakan nasional lainnya.

Maka itu PT mau tak mau harus punya dampak positif buat cakrawala berpikir mahasiswa pribumi. Dari sana akan lahir kesadaran baru di kalangan anak muda, dari faktor-faktor yang membuat negeri ini terpuruk, terjajah (kala itu), kini pun masih terjajah oleh budaya asing, keterbelakangan, dan lain sebagainya. Mahasiswa pun harus bangkit, semangat nasionalisme, dan patriotisme. 

Karenanya, mahasiswa juga tak cukup hanya terhenti sampai menjadi seorang pemikir saja, melainkan juga secara simultan menjadi pejuang yang melekat dalam di dirinya. Bagaimana pun mahasiswa Indonesia itu pemikir, sekaligus sebagai pejuang. Untuk Indonesia yang lebih baik dan maju, terdepan.

Peradaban Bangsa

Kondisi sosial ekonomis, bahkan ideologis perjuangan hari ini tentu berbeda dengan psikologis ideologis, dan sosial ekonomis dengan saat negeri ini berada dalam langkah perjuangan kemerdekaan. Saat negeri ini masih dalam cengkraman kolonial asing, Belanda. 

Kini 74 tahun sudah negeri ini merdeka, bebas dari penjajahan. Banyak perubahan yang sudah terjadi, dan banyak hasil yang bisa dinikmati. Namun perjuangan tak boleh terhenti. Perjuangan harus selalu digelorakan. Anak muda, mahasiswa khususnya, yang kini tergabung dalam komunitas melinial, tak boleh menjadi apatis. Mereka harus tetap bergerak, maju ke depan.

Demo mahasiswa, atau unjuk rasa, harus tetap dilakukan. Tentu jika itu memang sangat diperlukan. Kondisi demo hari ini berbeda jauh dengan demo tempoe doeloe. Jika dulu pelakunya tulus, semata untuk kemajuan. Sedang demo hari ini resisten dimasuki kelompok lain, yang tujuannya beda. Umumnya mereka ingin merusak sistem yang sudah disepakati, sudah lama dibangun.

Maka itu, gerakan perjuangan mahasiswa, lebih baik diarahkan ke model lain. Taruhlah dalam rangka memajukan bangsa. Untuk memajukan umat. Misal ikut mengatasi tantangan masa depan umat, yang tentunya juga menjadi tantangan bangsa ini. 

Hal ini pernah dibahas 43 ulama dan intelektual muslim dari 36 negara di Bogor bulan Mei 2018 lalu.  Melalui Forum "High Level Consultation of World Muslim Scholar on Wasatiyyah" muncul keprihatinan bersama terkait beragam masalah di kalangan umat, menyusul tingginya tantangan global umat, berupa intoleransi, eksremisme, Islam phobia, terorisme, hingga masalah kemanusiaan, seperti pengungsi dan bencana yang dibuat oleh manusia itu sendiri (tempo.com - 02 mei 2018).

Ketua Komunitas Muslim Italia, Yahya Sergio Pallavicini, merespon forum ini sangat urgent. Karena melalui forum ini para ulama dan ilmuan muslim bisa mengkaji akar permasalahan yang kini terjadi. Bagaimana pun menurutnya, beragama itu tak sulit, hanya manusianya yang membuat kompleks.

Pandangan Pallacivini ini sejalan dengan pendapat Ketua Dewan Pusat Dialog Islam Sarajevo, Mustafa Ceric. Menurutnya, umat Islam sedang menghadapi tantangan terorisme, Islamphobia, dsb.

Menurutnya, Islam phobia bukan menyerang Islam karena adanya garis sejarah. Umat Islam di dunia ini tak punya "dosa". Umat Islam tak terlibat dalam Perang Dunia I, Perang Dunia II. Pembuatan Bom Atom tak diprakarsai umat Islam. Karena itu tak ada alasan umat takut, bersikap defensif. Apalagi umat Islam sangat menghargai perbedaan. 

Untuk itulah umat perlu membangun peradaban, yang dinamis, maju, dan berkesinambungan. Inilah yang juga dipaparkan Din Syamsuddin, Utusan Khusus Presiden RI untuk Bidang Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban dalam forum tersebut. 

Mantan Ketua PP Muhammadiyah ini telah memperlihatkan peradaban yang berbeda dengan mainstrem kebanyakan tokoh muslim lainnya, setidaknya saat gerakan Alumni 212 dikumandangkan. 

Ia memilih tak ikut. Alasannya, yang diperlukan hari ini adalah membangun dan mengembangkan infrastruktur kebudayaan Islam, serta aksi-aksi nyata untuk meningkatkan mutu kehadiran umat dalam berbagai bidang Maka itu menurut Din Syamsuddin, "perlu langkah strategis yang lebih menekankan praktek keislaman dari pada menampilkan mob polisme keagamaaan" (tempo.co -- 30 Nop 2017).

Gerakan nyata para mahasiswa, yang tergabung dalam komunitas melinial Indonesia hari ini, jauh lebih urgent ketimbang berdemo dengan berpanas-panas. Mengganggu jalan raya, dan sebagainya. Nyatanya, kematian yang menimpa. Aspirasi lebih dihargai jika disampaikan langsung. Buktinya, saat Buya Syafi'i Ma'arif dkk menghadap presiden, mengusulkan Perpu KPK, presiden berubah pikiran. Usulan itu sedang dipertimbangkan. Kita tunggu saja hasilnya, walau ada pro kontra.

Kebudayaan dan peradaban Islam hari ini sangat diterminant. Jika saja umat di negeri ini sudah maju, tentu tak mudah ditipu banyak pihak. Entah itu oleh legislatif, yudikatif, atau ekskutif. Maka itu, tak ada pilihan bagi mahasiswa Indonesia, selain memajukan peradaban dan kebudayaan, dengan segala tantangannya. Semua itu semata untuk Indonesia yang lebih baik, berdaya saing dan terdepan.      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun