Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tergerusnya Budaya Banjar saat Event Perkawinan

25 Agustus 2019   20:43 Diperbarui: 25 Agustus 2019   21:46 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mantenan Era Modern\ dokpri

Hari ini, Minggu, 25 Agustus 2019, undangan resepsi perkawinan tak kurang dari 11 titik. Ada di Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, HSU, Tabalong, bahkan ada pula yang di luar provinsi, yaitu di Sampit Kota Waringin Timur (Kotim), Kalteng, dan Tenggarong, Kaltim. Karena kondisi kesehatan yang tidak terlalu fit, tentu saja saya putuskan tak akan keluar kota, meski pun yang punya hajat justru keluarga sendiri. 

Saya pun hanya bisa hadir di 3 lokasi, masing-masing di halaman MAN 2 Banjarmasin, anak seorang polisi yang kebetulan tinggal satu komplek, di Gedung Sulthon Suriansyah, anak Ketua Tanfidziah PWNU Kalsel yang kini masih aktif sebagai Sekretaris Daerah Pemprov Kalsel (Drs. HA. Haris Makkie, M.Si), serta anak seorang kawan saat sama-sama nyantri di Yogyakarta tahun 1980-an. Selebihnya, secara khusus, seperti kebiasaan saya selama ini, mendoakan orang-orang sedang pesta perkawinan agar selalu sakinah, mawaddah, warahmah (samawa). 

Sepanjang jalan, saya juga melewati sejumlah titik pesta perkawinan. Musik tradisional "panting" terdengar sayup-sayup, di tengah lagu-lagu dankdut yang bikin pendengar dan penonton untuk selalu tergerak kakinya ikutan berjoget. 

Setiba di lokasi pesta, sebagaimana undangan lainnya yang hadir, saya langsung ngisi buku tamu, bersalaman dengan penerima tamu dan rekan-rekan lainnya yang duluan hadir. Sebagai pimpinan Universitas NU, saya pun kerap dihargai, sehingga ditempatkan di ruang makan VVIP. Namun itu lebih kerap saya tolak. 

Saya lebih heppy bersama publik, menikmati makanan tradidional Banjar, seperti Soto Banjar, Sup Banjar, Katupat Kandangan, Luntung, Laksa, Gagaduh Hulu Sungai, Sayur Urap Banjar, Kuah Kaladi, Kuah Rabung, Iwak Karing Sapat, Papuyu Baubar, Haruan Masak Habang, Karih Itik, Itik Panggang, dan lain sebagainya.

Interaksi etnik Banjar dengan dunia luar, maka kini sajian penganten Banjar pun di sertai sejumlah penganan khas Jawa. Misalnya ada Bakso, ada Mie Ayam, dan bahkan ada Pentol. Tidqk hanya itu, makanan restorant pun untuk sebagian etnik Banjar mulai menyajikan sebagai sajian khas pesta perkawinan. 

Namun, meski saya berpuluh tahun tinggal di Yogyakarta, pernah pula di Jakarta dan Surabaya, lidah hulu sungai saya tak pernah pudar. Jika saja saya melihat Katupat Kandangan atawa Laksa, atau Lontong, maka semangat makan saya pun terus meningkat. Tetapi jika ingat resiko (kesehatan) yang akan muncul, maka saya pun mengurangi makanan yang banyak mengandung lemak santan itu. Saya memilih makanan ringan, kecuali jika ada Soto Banjar hampir pasti saya akan menyantapnya. 

Usai menghadiri pesta, saya teringat kampung halaman. Saya pun juga teringat kedua orang tua saya di kampung yang sudah renta. Bapak saya berusia 90 tahun, dan Ibu saya berusia 75-an tahun. Kedua orang tua saya itu hidup berdampingan rumah dengan adik saya (perempuan), beserta cucu-cucunya yang datang silih berganti. 

Ternyata banyak budaya kampung, Budaya Banjar, yang kini mulai hilang satu persatu. Di kampung, jika ada pesta perkawinan, budaya gotong royong sangat terjaga. Hampir semua warga ikut bertugas, mulai dari menerima tamu, mangawah (memasak nasi), memasak lauk, basusurung (mengantar makanan), cuci piring, dan sebagainya. 

Hiburan rakyat pun bertalu-talu terdengar, entah satu kilometer ke hulu, atau satu kilometer ke hilir. Bunyi Sarunai, Babun, Kakampul, dan Sarun yang khas dan merdu itu membuat pendengar bisa menendangkan kaki sendiri, seolah ia berhadapan musuh bertanding, dalam pertunjukan pencak silat lokal, yang dikenal dengan Seni Bela Diri Kuntau. Terkadang, penganten pria dan perempuan, diusung oleh Para Pelaku Seni Bela Diri Kuntau ini.

Sementara di sebelah kanan rumah, ada pula pertunjukkan seni rakyat "naik pinang". Di sini bunyi-bunyian pun tak kalah serunya. Ada Babun, Kakampul dan Sarun. Inilah mainan rakyat, Papantulan. Kenapa disebut Papantulan, karena mereka memakai topeng palsu, sebuah seni satir yang suka menyinggung perilaku publik, yang berperilaku tak sesuai antara omongan dengan kenyataan. Para Pantul itulah yang disuruh berebut hadiah, yang nilainya tak seberapa. Tetapi tenaga yang mereka habiskan, tak ada bandingannya. 

Hal yang sudah jauh berubah, adalah hilangnya sejumlah tahapan adat istiadat Budaya Banjar terkait perkawinan. Misalnya acara Batamat Al-Qur'an. Tempoe doeloe, baik penganten laki-laki atau perempuan, di pagi hari di dahului dengan prosesi Batamat Membaca Al-Qur'an. Tak hanya itu, ada pula acara mandi-mandi, dan sejumlah budaya lainnya, yang sesungguhnya secara value keagamaan dan kemasyarakatan, masih sangat positif. 

Hilangnya beragam budaya Banjar, terkait pesta perkawinan ini, mengingatkan studi saya dan kawan-kawan saat Studi Magister di UGM, tahun 1990-an. Etnik Banjar itu adaptif dan permisive (?), begitu statement seorang mahasiswa Ilmu Budaya. 

Waktu itu saya menolak teori itu. Namun, realitas sosial hati ini, teori itu sudah kesampaian. Entah sampai kapan Budaya-budaya Banjar bisa bertaham, hanya warganya yang bisa merasakannya. Jika saja tak ada bentengisasi kebudayaan, tak heran jika pada saatnya Budaya Banjar musnah sama sekali. 

Oh ya, juzt info ... semangat menulis saya muncul lagi oleh aktor-aktor Kombatan, yang baru saja melakukan "aruh ganal literasi". Mereka bersepakat mendorong literasi untuk kaum melineal, untuk kemajuan bangsa dan negara. Selamat dan sukses semuanya. Ayo kita pertahankan budaya bangsa, untuk Indonesia yang lebih maju, dengan kekayaan khazanah budayanya. Salam ... !!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun