Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jokowi dan Nasib Demokrasi

8 Juli 2019   22:20 Diperbarui: 9 Juli 2019   11:03 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun Sawit, Salah Satu Unggulan Potensi Ekonomi Indonesia (bumn.go.id)

Sidang MK yang menolak gugatan Prabowo Sandi, harusnya bisa mengakhiri drama politik di negeri ini. Setelah bertahun-tahun polarisasi masyarakat berlangsung, dengan segala fluktuasinya, telah menimbulkan rasa ngeri, bahkan ketakutan di sebagian warga, negeri berpenduduk 270 juta jiwa ini. 

Tindak lanjut dari keputusan tersebut, KPU sebagai lembaga negara berwenang, serta merta menindaklanjuti keputusan tersebut. Sesuai wewenangnya, lembaga negara yang belakangan kerap dituduh berbuat curang tersebut kemudian menetapkan pihak tergugat, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai pasangan terpilih dalam Pilpres 2019. In Sya Allah, jika tak ada aral melintang, bulan Oktober 2019 mendatang, pasangan ini akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, periode 2019 - 2024.

Tentu banyak agenda besar yang akan dilakukan pasangan ini 5 tahun ke depan. Bagi Jokowi, ini adalah periode kedua memimpin negeri ini, setelah sebelumnya sejak 2014 memimpin negeri ini berpasangan dengan pengusaha nasional asal Indonesia Timur, HM. Jusuf Kalla. 

Sesuai visinya, negeri ini punya sumber daya alam berlimpah. Sayang, keterbatasan infrastruktur, maka potensi ekonomi berasal dari kawasan yang memanjang dari Sabang hingga Merauke itu belum mampu berkontribusi positif bagi pembangunan. Dalam pengamatan mantan Walikota Solo ini, dengan infrastruktur yang tersedia akan memberikan banyak keuntungan, bagi negara dan rakyatnya. Sebutlah jalan tol yang menghubungkan ujung barat pulau Jawa, hingga ujung timur. Tol membuat perjalanan semakin cepat, waktu tak banyak terbuang, biaya perjalanan pun jauh lebih hemat. Begitu pula dengan pembangunan bandara dan pelabuhan dari kawasan paling barat, hingga kawasan paling timur, memungkinkan mudahnya transportasi. Tol laut membuat harga barang tak terlalu jauh selisihnya. Sebut saja harga premium atau semen.

Dulu untuk wilayah Papua harganya jauh di atas harga normal. Kini setelah difasilitasi, harga bensin antara Jawa dan Papua sudah sama. Ini hanya salah satu contoh dampak infrastruktur. Bahwa kehadiran infrastruktur seperti bandara atau pelabuhan (yang memakan biaya tak sedikit) belum optimal seperti dirancang, itu soal waktu dan manajemen. Tuh pembangunan itu bukan seperti Lampu Aladin, kun fayakun ... jadilah iya ... !!!

Pengalaman Amerika

Langkah Jokowi, mengingatkan keadaan di AS awal abad ke-20, saat negeri Paman Sam itu dipimpin oleh Presiden Herbet Hoover. Kala itu ekonomi AS ambruk berat, ketika Depresi Besar (The Great Depression) melanda negeri adi daya itu. Hoover kala itu yakin perekonomian AS cepat pulih. Dia yakin ekonomi pasar bebas yang dianut AS, yang kemudian ditopang oleh policy negara berupa laissez-faire, akan membuat perekonomian negeri berbalik arah. Hoover yakin kebijakan ekonomi pasar bebas mampu mengoreksi diri, serta mampu mendapatkan keseimbangan.

Hasilnya, ekonomi AS justru semakin terpuruk. Pengangguran mencapai 25 %. Sejumlah bank pun bangkrut. Bersamaan dengan itu muncul bencana alam. Kekeringan melanda AS. Badai debu (dust bowl) menggoncang pertanian di Midwist, salah satu kawasan lumbung pertanian di AS. Ditambah menurunnya harga komoditas pertanian, semakin memperparah deflasi ekstrem ekonomi Amerika Serikat.

Di tengah kebangkrutan ekonomi seperti itu, muncul Franklin Delano Roosevelt. Presiden ke-32 AS itu, yang memerintah dari tahun 1933 hingga 1945 (satu-satunya Presiden AS yang bisa 4 periode memerintah), memiliki ide segar dan briliant, untuk mengatasi carut marut perekonomian AS. Roosevelt mencanangkan padat karya, membangun proyek jalan, membangun irigasi, dan membangun bendungan. Tak hanya itu, ia juga menyiapkan dana darurat untuk pekerjaan di bidang pertanian, membangun konstruksi, pembangkit listrik, sistem kereta api, permukiman dan pendidikan.

Inilah antara lain yang mempengaruhi Jokowi, setelah yang bersangkutan sukses membangun Kota Solo, dan memulai menata kota Jakarta. Sebagai Gubernur Jakarta, Jokowi faham kebutuhan Rakyat Indonesia. Kebetulan pada saat terpilih sebagai Gubernur DKI tahun 2012 itu, perekonomian dunia juga belum pulih, sejak dilanda krisis ekonomi tahun 2008. Andai saja fondasi ekonomi Indonesia kala itu tak kuat, maka negeri ini bisa babak belur seperti 1998. Karena itu, perekonomian Indonesia saat Jokowi terpilih menjadi Presiden RI tahun 2014 itu jebol di bawah angka 5 %. Kondisi itulah yang membuat Jokowi sebagai Presiden RI putar otak, antaranya mempercepat infrastruktur, termasuk melahirkan Kartu Indonesia Sehat dan Pintar.

Hasilnya, kini perekonomian Indonesia survive bisa di atas 5 %. Ini peringkat ke-3 setelah India yang ada di peringkat 1 dengan pertumbuhan di atas 7 %, disusul Tiongkok di peringkat 2 dengan pertumbuhan 6 %, dan Indonesia di peringkat 3 dengan pertumbuhan di atas 5 %. Sementara di negara-negara maju, termasuk AS rata-rata jebol di bawa 3 %, bahkan minus.

Kondisi ini tentu merupakan modal besar bagi Indonesia untuk menjadi negara besar, asal dikelola dengan baik dan proporsional. Apalagi potensi ekonomi Indonesia saat ini masih melimpah, ada tambang, kebun, tambak, teknologi terbarukan, lautan yang luas dan sebagainya.

Nasib Demokrasi

Kepercayaan sekitar 55 % Rakyat Indonesia pada Joko Widodo dalam Pilpres bulan April 2019 lalu, ditambah lebih 50 % pendukung Prabowo menerima keputusan MK, memungkinkan Joko Widodo menyelesaikan tugas mulianya dengan baik. Seperti sering diungkapkan dalam banyak kesempatan, dengan ide nawacita, pada kesempatan 5 tahun pertama prioritas utama Jokowi adalah memacu pembangunan inftastruktur. Dilanjutkan pada kesempatan 5 tahun kedua, prioritasnya adalah sumber daya manusia (human resourcess). Jika bicara tentang SDM, tentu politik dan demokrasi selain pendidikan lainnya menjadi urgent dan diterminant.

Ternyata, problema politik dan demokrasi di negeri ini, khususnya pasca reformasi adalah banyaknya norma kebangsaan yang tergerus dan tereliminasi. Seperti merosotnya semangat toleransi, harmonisasi, dan kebersamaan antar anak bangsa. Persoalan ini semakin menggejala, bersamaan dengan menguatnya politik identitas (seperti penggunaan simbol-simbol agama tertentu, yang membuat komunitas agama yang berbeda semakin terisoler), maraknya politik transaksional (yang membuat kaum terdidik dan terpercaya bisa tersingkir oleh politisi kapitalis), serta mulai hilangnya spirit Norma Dasar Pancasila, oleh faham trans-nasional dunia yang paradok, yang bertantangan dengan dasar negara yang sudah disepakati bersama.

Dalam narasi vulgar, hari ini orang-orang yang cerdik pandai, berintegritas, yang idealisasinya buat rakyat dan negara tak diragukan, termasuk para alim ulama yang faham betul tentang ajaran agama (Islam), yang visi misi hidupnya hanya untuk membangun khaira ummah, amar makruf nahi munkar, yang hanya bermodalkan integritas dan trust, nampaknya sangat susah berkiprah di dunia politik praktis. Kenyataannya, yang terjadi hari ini yang terjadi, yang bisa jadi Gubernur, Bupati, Walikota atau Wakil Rakyat lainnya (untuk menyebut sekadar contoh) adalah orang-orang yang sangat dipertanyakan integritasnya. Mereka itu,  ada yang punya track record buruk, pernah korupsi, berijazah palsu, pelaku money politic, dan perilaku buruk lainnya. Fenomena ini jelas sekali merusak tatanan politik dan demokrasi yang kita bangun dan kita idam-idamkan.

Selain itu tak sedikit pula di antara warga kita yang terprovokasi dengan faham yang ingin mengganti dasar negara yang sudah disepakati para pejuang dan pendiri bangsa ini. Kelompok ini jelas merupakan bagian yang semakin merusak tatanan politik dan demokrasi. Kenapa ini bisa terjadi ? Karena rakyat kita (selama ini, dibiarkan) telah direcoki dengan beragam pemikiran buruk dan lemahnya survival ideologi kebangsaan. Dasar negara kita sedang diuya-uya, oleh interest group yang entah dari mana datangnya. Negara kita sempat lengah, sehingga fundamentalis atas nama agama sempat berkembang.

Mereka ini faham betul, misinya akan merusak bangsa, bangsa terbesar ke-4 di dunia ini. Mereka juga mungkin faham bahwa yang mereka lakukan ini desain dunia luar. Tapi bagi mereka, memang itulah yang dicari, agar negeri besar ini tercabik-cabik, entah seperti Uni Soviet, atau negara-negara besar lainnya yang kini hancur berantakan.

Ironisnya faham trans-nasional ini juga banyak melanda politisi kita. Orang yang seharusnya menjadi pioner dalam membangun politik dan demokrasi yang santun, bermartabat, tolerir serta saling mendukung dan saling menghargai malah tersingkir. Justru hampir tiap hari mereka mendidik rakyat buat berkonflik. Melalui media TV mereka telah mempertontonkan seolah-olah warga negara di negeri ini siap-siap untuk berkelahi. Diksi dan narasi yang mereka gunakan jauh dari ajaran Pancasila dan tak segaris dengan ajaran agama, budi pekerti yang luhur, yang pernah diajarkan di sekolah dan pesantren.

Lebih ironis lagi, kemunculan figur seperti ulama, termasuk dari kalangan habaib. Mereka tampil dengan pesan-pesan agama dari satu sisi saja mereka saja. Mereka hanya bisa ber-nahi munkar dan melupakan amar makruf. Berkembanglah politik identitas, yang mudah dan gampang menyalahkan pihak yang berbeda. Kelompok berbeda itu pun dengan mudah dianggap thogut bahkan dikafirkan. Lebih ironis lagi, mereka yang sudah dikategorikan thogut dan kafir, mereka anggap halal darahnya.

Agenda Utama 2019-2024

Keadaan ini tentu saja tak baik untuk negara dan bangsa ini. Karena ini sudah merusak agenda demokrasi. Maka itu, sebagai Presiden RI 5 tahun ke depan, Jokowi dan Kyai Makruf Amin harus menyelamatkan negeri ini. Tentu saja dengan melibatkan semua para pembantunya, termasuk para ASN, TNI dan Polri, serta para politisi, tokoh-tokoh kemitraannya di legislatif, seperti DPR serta pimpinan parpol lainnya. Bersana mereka semua itu, harus ada komitmen bersama untuk menyelamatkan negeri ini. 

Selain itu, sebagai presiden, harus ada tindakan tegas jika ada staf dan bawahannya yang tak mendukung langkah ini. Tuh negeri ini sudah menjadi kesepakatan sejak awal berdiri. Apalagi kini negeri ini dipacu membangun SDM. Terkait ini, minimal ada 3 langkah yang harus dibangun Jokowi. Pertama, menata ulang ideologi kebangsaan, di mana kalangan ASN, TNI dan Polri harus digarda depan dalam memelihara kontinyuitas negeri ini. Begitu juga dengan BUMN, semua karyawannya hanya hadir buat negara dan bangsa. 

Kedua, kebukaan pihak legislatif, yang berasal dari aktivis partai, agar dalam menyusun dan merancang perundang-undangan, jangan hanya menguntungkan kelompoknya. Cobalah para aktivis partai itu membuka mata lebar-lebar, serta berpikir membangun politik dan demokrasi secara sehat. 

Ketiga, ini sangat urgent dan diterminant, atur ulang sistem pendidikan kita. Mulai dari dasar hingga Perguruan Tinggi, termasuk sekolah swasta. Aparat pendidik, seperti guru dan dosen, harus disertifikasi nasionalismenya. Jangan ada di antara mereka yang berpikir merecoki murid. Figur Mendikbud dan Menag harus orang yang tegas dan konsisten, bahwa pendidikan semata buat kemajuan dan kontinyuitas negeri ini.

Terkait hal itu, demokrasi yang akan dikembangkan adalah yang mencoba merefleksikan problema berbangsa saat ini. Demokrasi --meminjam istilah AE Priyono (2014)-- harusnya dengan konsep presktiptif-normatif. Gagasan demokrasi dalam konteks ini, seperti disinyalir Buchstein dan Jorke (2007), berangkat dari teori demokrasi yang diproduksi melalui program yang melibatkan banyak aktor.

Pertama, para politisi dan aktivis politik. Kedua, para ilmuan yang aktif secara politik. Ketiga, kaum akademisi yang konsisten berada di jalur profesi kehidupannya. Kelompok-kelompok inilah yang harus digunakan dan dimanfaatkan oleh Jokowi, buat merapikan politik dan demokrasi. Ada kemungkinan akan muncul gejolak, tapi keberanian Jokowi sangat diterminant, untuk menyongsong Indonesia Hebat, tepatnya Indonesia Satu Abad yang akan kita rayakan 2045 mendatang. 

And last but not least, semua elemen penting yang kini ada di lingkaran Jokowi, entah itu Menteri, Polisi, TNI, elite Parpol, elite Ormas, pendidik, dosen, pengusaha, dan orang-orang penting di sekitar Jokowi sangat diterminant terhadap survivalitas demokrasi. Jika mereka sefaham, tentu positif sekali. Tapi jika tak sefaham, tunggulah kehancuran negeri ini. Demokratisasi pun bisa berantakan !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun