Kondisi ini tentu merupakan modal besar bagi Indonesia untuk menjadi negara besar, asal dikelola dengan baik dan proporsional. Apalagi potensi ekonomi Indonesia saat ini masih melimpah, ada tambang, kebun, tambak, teknologi terbarukan, lautan yang luas dan sebagainya.
Nasib Demokrasi
Kepercayaan sekitar 55 % Rakyat Indonesia pada Joko Widodo dalam Pilpres bulan April 2019 lalu, ditambah lebih 50 % pendukung Prabowo menerima keputusan MK, memungkinkan Joko Widodo menyelesaikan tugas mulianya dengan baik. Seperti sering diungkapkan dalam banyak kesempatan, dengan ide nawacita, pada kesempatan 5 tahun pertama prioritas utama Jokowi adalah memacu pembangunan inftastruktur. Dilanjutkan pada kesempatan 5 tahun kedua, prioritasnya adalah sumber daya manusia (human resourcess). Jika bicara tentang SDM, tentu politik dan demokrasi selain pendidikan lainnya menjadi urgent dan diterminant.
Ternyata, problema politik dan demokrasi di negeri ini, khususnya pasca reformasi adalah banyaknya norma kebangsaan yang tergerus dan tereliminasi. Seperti merosotnya semangat toleransi, harmonisasi, dan kebersamaan antar anak bangsa. Persoalan ini semakin menggejala, bersamaan dengan menguatnya politik identitas (seperti penggunaan simbol-simbol agama tertentu, yang membuat komunitas agama yang berbeda semakin terisoler), maraknya politik transaksional (yang membuat kaum terdidik dan terpercaya bisa tersingkir oleh politisi kapitalis), serta mulai hilangnya spirit Norma Dasar Pancasila, oleh faham trans-nasional dunia yang paradok, yang bertantangan dengan dasar negara yang sudah disepakati bersama.
Dalam narasi vulgar, hari ini orang-orang yang cerdik pandai, berintegritas, yang idealisasinya buat rakyat dan negara tak diragukan, termasuk para alim ulama yang faham betul tentang ajaran agama (Islam), yang visi misi hidupnya hanya untuk membangun khaira ummah, amar makruf nahi munkar, yang hanya bermodalkan integritas dan trust, nampaknya sangat susah berkiprah di dunia politik praktis. Kenyataannya, yang terjadi hari ini yang terjadi, yang bisa jadi Gubernur, Bupati, Walikota atau Wakil Rakyat lainnya (untuk menyebut sekadar contoh) adalah orang-orang yang sangat dipertanyakan integritasnya. Mereka itu, Â ada yang punya track record buruk, pernah korupsi, berijazah palsu, pelaku money politic, dan perilaku buruk lainnya. Fenomena ini jelas sekali merusak tatanan politik dan demokrasi yang kita bangun dan kita idam-idamkan.
Selain itu tak sedikit pula di antara warga kita yang terprovokasi dengan faham yang ingin mengganti dasar negara yang sudah disepakati para pejuang dan pendiri bangsa ini. Kelompok ini jelas merupakan bagian yang semakin merusak tatanan politik dan demokrasi. Kenapa ini bisa terjadi ? Karena rakyat kita (selama ini, dibiarkan) telah direcoki dengan beragam pemikiran buruk dan lemahnya survival ideologi kebangsaan. Dasar negara kita sedang diuya-uya, oleh interest group yang entah dari mana datangnya. Negara kita sempat lengah, sehingga fundamentalis atas nama agama sempat berkembang.
Mereka ini faham betul, misinya akan merusak bangsa, bangsa terbesar ke-4 di dunia ini. Mereka juga mungkin faham bahwa yang mereka lakukan ini desain dunia luar. Tapi bagi mereka, memang itulah yang dicari, agar negeri besar ini tercabik-cabik, entah seperti Uni Soviet, atau negara-negara besar lainnya yang kini hancur berantakan.
Ironisnya faham trans-nasional ini juga banyak melanda politisi kita. Orang yang seharusnya menjadi pioner dalam membangun politik dan demokrasi yang santun, bermartabat, tolerir serta saling mendukung dan saling menghargai malah tersingkir. Justru hampir tiap hari mereka mendidik rakyat buat berkonflik. Melalui media TV mereka telah mempertontonkan seolah-olah warga negara di negeri ini siap-siap untuk berkelahi. Diksi dan narasi yang mereka gunakan jauh dari ajaran Pancasila dan tak segaris dengan ajaran agama, budi pekerti yang luhur, yang pernah diajarkan di sekolah dan pesantren.
Lebih ironis lagi, kemunculan figur seperti ulama, termasuk dari kalangan habaib. Mereka tampil dengan pesan-pesan agama dari satu sisi saja mereka saja. Mereka hanya bisa ber-nahi munkar dan melupakan amar makruf. Berkembanglah politik identitas, yang mudah dan gampang menyalahkan pihak yang berbeda. Kelompok berbeda itu pun dengan mudah dianggap thogut bahkan dikafirkan. Lebih ironis lagi, mereka yang sudah dikategorikan thogut dan kafir, mereka anggap halal darahnya.
Agenda Utama 2019-2024
Keadaan ini tentu saja tak baik untuk negara dan bangsa ini. Karena ini sudah merusak agenda demokrasi. Maka itu, sebagai Presiden RI 5 tahun ke depan, Jokowi dan Kyai Makruf Amin harus menyelamatkan negeri ini. Tentu saja dengan melibatkan semua para pembantunya, termasuk para ASN, TNI dan Polri, serta para politisi, tokoh-tokoh kemitraannya di legislatif, seperti DPR serta pimpinan parpol lainnya. Bersana mereka semua itu, harus ada komitmen bersama untuk menyelamatkan negeri ini.Â