Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesantren, Saatnya Bangkit dan Membanggakan

13 Juni 2018   23:36 Diperbarui: 13 Juni 2018   23:35 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan, muncul sebuah forum bernama Rabithah Alam Islami (RAI). Forum ini belakangan seperti menjadikan negeri seperti Saudi Arabia sebagai kiblat baru dunia Islam.

Tal setelah itu,  muncul pula yang namanya OKI (Organisasi Konferensi Islam) dengan misi seperti itu, yang disponsori oleh sejumlah negara Arab. Sampai hari ini, lembaga ini eksis, tetapi menyelesaikan Palestina saja tak ada kemajuan.

Bersamaan dengqn itu, tak berapa lama kemudian, bergemalah proyek "wahabisasi". Gerakan Wahabisasi ini belakangan menjadi tren baru. Sejumlah kampus Islam dan sejumlah kampus sekuler pun menjadi arena proyek wahabisasi. Lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan pun serta merta ikut menjadi sasarannya.

Mereka kemudian mengembangkan cara bermazhab, dan model intelektual mereka dalam satu poros, yakni poros wahabi intelek (yang dibangun dengan kader Amerika dan McGill-nya, seperti Harun Nasution dan Mukti Ali), hingga poros kaum salafi tarbiyah (kader Saudi), yang kini merajalela dan menjadi trend di Indonesia.

Perkembangan politik dunia pun terus berkembang,  berubah dan dinamis. Dalam konteks Dunia Islam, kejadian revolusi yang melanda Iran tahun 1979 sungguh sangat mengagetkan.

Pasca revolusi tersbut, Iran pun juga mulai berkompetisi, menjadikan dirinya kiblat baru dunia Islam. Sejalan dengan itu, Syiah pun juga mulai diimport, untuk dijadikan alternatif lain atas Wahabisme, yang memang oleh banyak kalangan dinilai kontroversial.

Dalam situasi seperti itu, di mana NU ? Ini pertanyaan menarik untuk dicermati baik-baik. NU yang pernah punya inisiasi briliant untuk dunia ini, dimulai dengan menggerakan pertemuan penganut Islam Sunni internasional tahun 1925, khususnya setelah runtuhnya khalifahan Turki Ustmani tahun 1918, serta kudeta yang terjadi di Jazirah Arab tahun1924, termasuk NU dalam mengisi perjuangan kemerdekaan di negeri ini NU pun seperti tenggelam di level internasional. Kondisi ini nampak semakin terlihat bersamaan dengan pudarnya kekuatan politik para kiai usai Partai NU fusi jadi PPP.

Visi "imam bagi dunia Islam" dan pusat pengembangan peradaban dunia Islsm pun akhirnya buyar berantakan. Sejak itu, tak ada lagi agitasi atau kampanye dan kaderisasi di kalangan pesantren, bahwa "kita ini calon imam atau pemimpin bagi dunia Islam"..

Pesantren waktu itu malah sibuk urusan modernisasi kurikulum (dari sponsor Wahabisasi intelek itu). Ini semua agar bisa eksis di dunia "modern" selama rezim Orde Baru berkuasa pada masa itu.

Prof Mukti Ali, sebagai lokomotif Departemen Agama, yang ditunjuk pertama kalinya setelah rezim Soeharto berkuasa penuh awal tahun 1970-an, melakukan perombakan-perombakan terhadap hampir semua policy pendidikan pesantren dan pendidikan agama yang dibawahinya.

Secara figur, siapa pun bisa menjadi sasaran, kala itu, jika ketahuan punya relasi dan hubungan emosional dengan NU. Sekolah-sekolah yang semula berlambang NU (Lembaga Pendidikan Ma'arif) ramai-ramai ganti nama, untuk di Kalimantan Selatan pengamatan saya beberapa di antaranya berubah menjadi miliknya GUPPI, ormas milik Golkar, kala itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun