Tulisan ini bukan tulisan yang menanggapi aksi damai 4 Nopember 2016. Tulisan ini hanya sebuah refleksi semata tentang apa yang sudah dan sedang bahkan mungkin akan selalu terjadi lagi sepanjang bumi ini dihuni mahluk Tuhan bernama manusia.
Potongan judul tulisan di atas, pasti kita sudah mengetahuinya sejak dulu, buruk rupa cermin dibelah", yang buruk rupanya yang dibelah cerminnya. Seseorang yang tidak pernah mengakui kesalahan yang diperbuatnya, tapi mencari kambing hitam sebagai pelampiasan. Manusia yang tidak pernah melakukan introspeksi diri, akan selalu menjustifikasi kemenangan pribadi. Ia tak pernah bersalah seperti bayi suci yang dilahirkan ke dunia, ia juga selalu sibuk menunjuk dengan satu jari telunjuknya kepada orang lain, sementara dia lupa ada 4 jari lain yang menunjuk tepat menghunjam di dadanya.
Baru-baru ini para pembaca dan pemirsa media disuguhkan ratusan bahkan ribuan tayangan media cetak, elektronik dan media sosial lainnya ---yang menurut penulis hakikatnya berbicara tentang kesalahan, keburukan, kejahatan dan kriminalitas lainnya--- yang memuat banyak tindak kekerasan, yang populer disebut dengan terorisme.
Dalam qur’an terorisme tidak disebut secara harfiyyah, Allah menyebut “fasaadan” sebagai istilah yang lebih banyak digunakan untuk menyebut teror. Teror, di mata umat Islam adalah kerusakan, sementara di mata bangsa yang melahirkan istilah teror, didefinisikan sebagai ulah sebagian kelompok “fanatik” dan “militan” atau “fundamentalis” –meminjam istilah-istilah yang diciptakan oleh dunia barat terhadap islam.
Bagi orang mukmin yang memahami istilah dan terminologi –--tentu saja dengan bekal penguasaan tata bahasa arab dan bahasa lainnya--- harus memiliki kepandaian untuk memilah kata-kata yang dipopulerkan oleh dunia barat yang sejak lahirnya Islam ke dunia, mempunyai rasa takut dan kecemasan yang tinggi terhadap kejayaan Islam.
Kata “fasaadan” atau kerusakan adalah kata jadian dari kata fasada yang artinya rusak, orang yang melakukan fasad diseut “faasid”. Jika diperbandingkan dengan kata “teror” dan orangnya disebut teroris, sungguh menurut saya, tidak ada bedanya. Allah menyebut ”almufsiduun” sebagai sekelompok kaum perusak dan dunia barat menyebut teroris sebagai komunitas atau kelompok tertentu yang berbuat kerusakan.
Sebab Allah saja yang paling tahu siapa kaum almufsiduun yang sebenarnya, sementara dunia barat memutarbalikkan fakta dengan menyebut teroris pada sekelompok muslim yang berbuat kerusakan dan menyerang fasilitas dan otoritas yang mewakili dunia barat.
Saya tidak pernah setuju dengan fasaadan atau terorisme sebab tak ada kebaikan di dalamnya, tak ada hikmah sekecil apa pun yang dapat diambil darinya. Dan sekarang kerusakan yang dibuat oleh manusia terhadap manusia lain semuanya dikategorikan ke dalam terorisme. Entah apa yang dicari oleh dunia barat terhadap Islam, padahal sudah bukan rahasia lagi jika persekongkolan akrab antara pihak dunia barat dan kaum Yahudi yang mati-matian memusuhi Islam dengan berbagai cara, termasuk pembentukan opini publik dunia internasional tentang pentingnya sikap terhadap sebuah teror yang terjadi.
Islam memang kalah dengan otoritas kepemilikan media massa yang dipunyai barat yang menguasai seluruh jalur informasi mulai dari satelit sampai dengan teknologi selular yang berada di rumah-rumah, bahkan kepemilikan penyedia layanan telekomunikasi pun dikuasai oleh mereka, dan kita seperti tenang-tenang saja dengan kondisi seperti ini, huhh.
Kita memang tidak boleh lagi membelah cermin sebagai kambing hitam akibat dari tidak rela mengakui kesalahan yang dibuat sendiri. Kita memang belum satu visi membangun bangsa ini, sehingga ketika wajah-wajah buruk kita ditampakkan, banyak cermin dibelah dan menjadi korban.
Sebagai bangsa yang besar, sesekali kita mencoba berdiri di hadapan cermin, mungkin juga telanjang di depan cermin sampai kita mengetahui detail dari seluruh wajah dan tubuh bangsa ini. Lalu kita mencoba melihat apakah wajah bangsa ini buruk? apakah tubuhnya juga buruk?
Kemudian kita mencoba mengkondisikannya sebagai bangsa yang dewasa, sehingga kita merasa yakin dengan keburukan dan kekurangan wajah kita, dan kita tidak membelah cermin yang memberitahukan dengan detail seluruh keburukan, apalagi mengambil parang, golok atau pedang, untuk menghancurkannya. Dan lebih jauh, apakah sifat sejati bangsa ini adalah bangsa yang suka dengen kekerasan? Malu dong, kalau di satu sisi kita membenci kekerasan, tapi di sisi lain kita adalah pelaku kekerasan itu sendiri.
Walloohu a’lam bishshowwaab
Bandung, 07 Nopember 2016
Catatan : dipublikasikan juga Blog Pribadi dengan sedikit perbaikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H