Mohon tunggu...
Syanne
Syanne Mohon Tunggu... Guru - An educator, a wife, a mother to two

An ordinary woman who has interests in many aspects of life

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sengketa Laut Cina Selatan, di Manakah Posisi Indonesia?

30 Mei 2024   10:47 Diperbarui: 30 Mei 2024   10:54 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laut Cina Selatan, juga dikenal sebagai Laut Timur di Vietnam dan Laut Filipina Barat di Filipina, merupakan wilayah di Samudera Pasifik yang dikelilingi oleh negara-negara Asia Tenggara, Tiongkok, Taiwan, dan Kepulauan Indonesia. Laut ini memiliki potensi besar dengan perkiraan cadangan 11 miliar barel minyak bumi dan 190 triliun kaki kubik gas alam, serta menjadi jalur perdagangan penting.

Akar Konflik

Perselisihan atas Laut Cina Selatan berakar pada klaim historis Tiongkok yang didasarkan pada garis "sebelas garis putus-putus". Garis ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 oleh pemerintah Nasionalis (Kuomintang) di bawah Chiang Kai-shek selama Perang Saudara Tiongkok (1945-1949). Peta yang menampilkan garis sebelas putus-putus ini menekankan kedaulatan Tiongkok dan mencerminkan kebanggaan nasionalis di tengah-tengah apa yang banyak orang Tiongkok anggap sebagai "abad penghinaan" oleh kekuatan asing. Ketika Komunis di bawah Mao Zedong mengalahkan Nasionalis dalam perang saudara dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok, pemerintah baru di Beijing mengklaim status sebagai penerus Republik Tiongkok dan juga mengklaim wilayah lautnya, dengan sedikit modifikasi, mengubah garis sebelas putus-putus peta tahun 1947 menjadi sembilan putus-putus.

Memanasnya Perebutan Wilayah

Situasi di Laut Cina Selatan mulai memanas pada tahun 1970-an. Dipicu oleh penemuan potensi cadangan minyak dan gas, Tiongkok mulai menegaskan klaim wilayahnya yang luas. Pada tahun 1974, Tiongkok merebut Kepulauan Paracel dari Vietnam Selatan, menewaskan lebih dari 65 tentara Vietnam dalam prosesnya. Agresi Tiongkok berlanjut dengan merebut Riff Johnson (bagian dari Kepulauan Spratly) dari Vietnam pada tahun 1988 dan Riff Mischief (juga bagian dari Spratly), yang diklaim oleh Filipina, pada tahun 1994.

Saat ini, Tiongkok menguasai seluruh Kepulauan Paracel. Sebagian besar terumbu dan pulau di Kepulauan Spratly dikendalikan oleh Vietnam, sementara Filipina dan Tiongkok masing-masing mengklaim dan mengoperasikan sebagian besar kepulauan tersebut. Malaysia dan Brunei juga telah mengklaim beberapa fitur Kepulauan Spratly, serta zona ekonomi eksklusif (ZEE) di lepas pantai mereka yang tumpang tindih dengan klaim Tiongkok.

Peta Kontroversial dan Reaksi Internasional

Pada Agustus 2023, Tiongkok meluncurkan peta baru yang merevisi batas wilayahnya di Laut Cina Selatan. Peta ini menunjukkan klaim yang lebih luas, termasuk bagian yang lebih besar dari laut dan penambahan garis ke-10. Garis baru ini dimaksudkan untuk menyertakan pulau Taiwan dan hampir seluruh Kepulauan Spratly sebagai wilayah Tiongkok.

Peta ini menuai kecaman dan penolakan dari beberapa negara, termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Taiwan. Negara-negara ini menganggap klaim Tiongkok tidak sah dan bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Secara resmi, Indonesia mengambil sikap netral dalam sengketa Laut Cina Selatan. Namun, Indonesia menyampaikan kekhawatiran terkait peta baru Tiongkok. Hal ini karena peta tersebut mencakup sebagian Kepulauan Natuna, yang terletak dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. ZEE adalah wilayah laut yang diakui PBB di mana negara pesisir memiliki hak eksklusif untuk menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya alam hingga 200 mil laut (370 km) dari pantai mereka.

Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Kemungkinan Tiongkok melancarkan perang atas sengketa Laut Cina Selatan tidak dapat dipastikan secara pasti, namun beberapa faktor menunjukkan bahwa peluang terjadinya perang cukup kecil:

  • Interdependensi Ekonomi: Ekonomi Tiongkok sangat terintegrasi dengan ekonomi global, memiliki hubungan perdagangan dan investasi yang luas dengan negara-negara di seluruh dunia. Perang di Laut Cina Selatan kemungkinan besar akan membawa dampak ekonomi parah bagi Tiongkok, berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitasnya.
  • Keprihatinan Stabilitas Regional: Konflik di Laut Cina Selatan akan menimbulkan ketidakstabilan di seluruh wilayah, memengaruhi negara-negara tetangga dan mengganggu jalur-jalur komunikasi laut yang vital. Negara-negara ASEAN, serta kekuatan besar seperti Amerika Serikat, memiliki kepentingan besar dalam mempertahankan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut dan kemungkinan besar akan berupaya mencegah eskalasi.
  • Oposisi Internasional: Setiap tindakan militer agresif oleh Tiongkok di Laut Cina Selatan kemungkinan akan dihadapi dengan oposisi internasional yang kuat dan kecaman. Hal ini dapat menyebabkan isolasi diplomatik, sanksi ekonomi, atau tindakan punitif lainnya terhadap Tiongkok.

Meskipun kemungkinan terjadinya perang besar-besaran di Laut Cina Selatan kecil, potensi bentrokan lokal, konfrontasi angkatan laut, atau ketegangan yang meningkat masih menjadi kekhawatiran.

Indonesia memiliki peran penting untuk dimainkan dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sengketa Laut Cina Selatan. Sebagai negara terbesar di ASEAN dan dengan posisi strategis di kawasan, Indonesia dapat secara aktif terlibat dalam mempromosikan dialog dan kerja sama di antara negara-negara yang berselisih. Sebagai contoh, Indonesia dapat memanfaatkan platform regional seperti ASEAN dan KTT Asia Timur (EAS) untuk mendorong dialog dan negosiasi damai antara negara-negara yang bersengketa. Indonesia dapat bertindak sebagai fasilitator dan penengah yang netral, membantu membangun kepercayaan dan menemukan solusi yang saling menguntungkan.

Dengan mengambil peran aktif dalam diplomasi Laut Cina Selatan, Indonesia dapat membantu menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan serta melindungi kepentingan nasionalnya sendiri. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi aktor utama dalam upaya menyelesaikan salah satu sengketa maritim paling sensitif di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun