Kondisi keberagamaan kita sangat beragam. Ada yang seperti katak dalam tempurung, dia hanya menyaksikan kondisi dan keadaan di sekitar itu saja.
Dia tidak mampu keluar untuk menikmati pemandangan, hawa, atmosfer, kondisi, dan situasi lain daripada kondisi kesehariannya. Akhirnya, dia hanya dapat mencerna, memahami, dan menceritakan kepada teman-temannya dan bahkan orang lain tentang tempurung dan situasinya.
Ada juga keberagamaan seperti seekor burung, Â dia memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melihat dunia lebih luas dibanding katak. Dia tidak hanya menikmati birunya langit, tingginya gunung, luasnya samudera, serta keberagaman ciptaan Tuhan yang lain.
Akan tetapi, mereka menikmati bagaimana semua ciptaan Tuhan berkolaborasi membuat ruang gerak yang harmonis di tengah kekayaan dan keberagamannya.
Keduanya wajah keberagamaan ini pasti memiliki sikap yang berbeda. Kebergamaan seekor katak akan mudah mengatakan bahwa sesuatu yang diluar pengetahuannya tidak ada dan bahkan tidak memiliki eksistensi.
Mereka, hanya melihat keseragaman seperti merekalah yang hakiki. Warna, bentuk fisik, suara, dan komponen serta notasinya harus seragam seperti mereka agar dapat diakui sebagai kebenaran.
Padahal, yang berbeda dengan model mereka banyak, bahkan lebih anggun, gagah, hebat, dan memiliki keluasan pengetahuan dibandingkan mereka atau mungkin lebih mendekati kebenaran dibanding mereka.
Keberagamaan model katak dalam tempurung ini selalu terdesak kaget dengan suara-suara diluar suara mereka. Mereka menganggap suaranya aneh dan menakutkan, setelah itu mereka menghina suara itu dengan standar mereka. Kebenaran, keindahan, dan kejernihan suara orang lain harus selalu diukur dengan suara-suara sumbang mereka. Aneh bukan?
Mereka hanya tertarik pada apa yang mereka punya dan apa yang mereka tahu. Tanpa, mau membuka diri memahami segala hal yang baru diluar tempurungnya.
Mereka, terlalu mengunggulkan diri dan menyetop semua pemahaman baru yang berbeda dengan apa yang mereka pahami secara terbatas.
Kelompok katak ini adalah tipe mahluk yang eksklusif, lebih suka mengurung diri dan memenjarakan logika, akal, dan pemahamannya pada pemahaman kaku dan dangkal miliknya. Enggan untuk berdialog dan mendiskusikan historisitas sebagai akar revolusi peradaban.
Mereka seolah tidak mengakui adanya ruang-ruang yang besar diluar ruangan (tempurungnnya), bahkan kebanalannya mengikis fakta bahwa diluar dirinya ada entitas yang lebih besar dan tinggi dari dirinya.
Sementara burung, mereka adalah sekawanan yang jalur pencahariannya luas. Mereka tidak akan merasa bahwa mereka yang paling autentik, memiliki eksistensi, dan berhak mengakses serta membicarakan perkara-perkara yang benar. Mereka memahami bahwa kebenaran keberadaan segala yang ada di luarnya begitu nyata.
Bagi mereka, kehidupan bukan soal benar dan salah, tetapi bagaimana merumuskan formulasi universal yang bisa dijadikan pegangan oleh setiap entitas yang berbeda agar bisa hidup berdampingan.
Alam terlalu luas dan liar untuk ditaklukan dengan ego-pengetahuan dan self-interest. Terlalu dini untuk menganggap diri yang paling autentik. Apalagi dengan anggapan itu, kita secara mudah menganggap bahwa entitas lain adalah kebalikan dari kita.
Komplotan burung memiliki pandangan yang luas seluas pengalaman perjalannya. Di persinggahan mereka berdialog dengan sekawanan lain dan realitas kebudayaan yang hidup sekitar mereka.
Mereka mempelajari semua komponen hidup di sekitar wilayah perkelanaannya dan mencatatnya sebagai bagian kesejarahan yang dijadikan sebagai suplemen kebijaksanaan. Mereka mengerti bahwa setiap entitas memiliki ciri khas dan keunikan yang berbeda.
Dengan itu, kita tidak boleh melihat dan menilainya berdasarkan kesadaran serta kalkulasi kebudayaan yang kita punya. Kebudayaan dibentuk (making), bukan diturunkan atau diberikan (giving). Maka, perlu mengacu pada kesempurnaan kesejarahan serta gelombang pemicunya.
Sekawanan burung, merasa bahwa menghakimi sejarah, psiko-sosial, psiko-cultur, dan psiko-politik sekawanan lain adalah kebodohan yang tidak perlu dilakukan.
Mereka merasa menikmatinya sebagai sebuah keragaman kebudayaan dan tradisi adalah pilihan yang paling tepat.
Toh, juga sekawanan lain tidak mengganggu rancang bangun peradaban yang mereka bentuk dari fondasi keyakinannya.
Gubuk Peradaban
Syamsurijal Al-Gholwasy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H