Mohon tunggu...
Syamsul Rizal Ikhwan
Syamsul Rizal Ikhwan Mohon Tunggu... Guru - Guru Musik

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Pak Mutahar, Komposer Lagu 'Hari Merdeka'

8 Agustus 2024   23:40 Diperbarui: 8 Agustus 2024   23:50 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
id.theasianparent.com

Pak Mutahar aktif dalam kegiatan kepanduan. Ia adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Ia juga dikenal anti-komunis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, ia juga menjadi tokoh di dalamnya. Namanya juga terkait dalam mendirikan dan membina Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), tim yang beranggotakan pelajar dari berbagai penjuru Indonesia yang bertugas mengibarkan Bendera Pusaka dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebagai salah seorang ajudan Presiden, Pak Mutahar diberi tugas menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan, 17 Agustus 1946. Menurut pemikirannya, pengibaran bendera sebaiknya dilakukan para pemuda yang mewakili daerah-daerah Indonesia. Ia lalu memilih lima pemuda yang berdomisili di Yogyakarta (tiga laki-laki dan dua perempuan) sebagai wakil daerah mereka.

Pada tahun 1967, sebagai direktur jenderal urusan pemuda dan Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Mutahar diminta oleh Presiden Soeharto untuk menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Tata cara pengibaran Bendera Pusaka disusunnya untuk dikibarkan oleh satu pasukan yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu, kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera, kelompok 45 sebagai pengawal. Pembagian menjadi tiga kelompok tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. (Wikipedia)

Ceramah di Kampus Jurusan Musik, Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Dalam suatu kesempatan konser di Jakarta tahun 1992, saya melihat pak Mutahar hadir menonton di kursi terdepan. (Saat itu kebetulan saya aktif di organisasi mahasiswa muslim kampus kami.) Selepas konser, saya mengundang beliau untuk menjadi pembicara dalam acara peringatan nuzulul Quran di kampus kami saat Ramadhan beberapa bulan lagi. Spontan beliau menyatakan kesediaan dan rasa terima kasihnya atas diberi kehormatan untuk berbicara di depan mahasiswa Jurusan Musik. (Saya tahu bahwa beliau juga fasih berbicara soal agama karena kebetulan saat masih SMP dulu pernah melihat beliau tampil di TVRI dalam sebuah acara semacam dialog. Kesimpulan saya dari tampilan itu, Pak Mutahar bukan hanya hebat sebagai seniman, pandu, dan diplomat, tetapi juga sangat piawai menyampaikan pencerahan yang bersifat religius. Bicaranya yang dari hati dan pembahasannya yang rinci menunjukkan penguasaan ilmu agamanya begitu luas.)

Dari Yogyakarta, dalam beberapa surat dan pembicaraan via telepon, kami bertanya tentang tarif ceramah dan biaya transportasi, jawaban beliau dalam beberapa kali komunikasi itu tetap sama : "Sudah.. Tak usah dipikirkan. Memang kalian punya uang ?" demikian canda akrab beliau. "Saya akan berangkat sendiri, cari hotel sendiri, dan pulang sendiri. Kalian cukup jemput saya di hotel," kata beliau.

Singkat cerita, tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Pak Mutahar berkesempatan shalat isya dan tarawih bersama kami para mahasiswa Jurusan Musik, para dosen dan petinggi kampus, bahkan termasuk rektor ketika itu, Pak Profesor But Muchtar. Lepas tarawih bersama, Pak Mutahar tampil ke atas podium. Meski telah berusia 76 tahun dan fisik nampak mulai lemah, namun semangat beliau tetap tampak terpancar dari guratan mimik wajahnya yang tenang berkharisma. Dengan fasih beliau menyampaikan pesan-pesan agama dengan menitikberatkan kajiannya pada hal-hal yang berhubungan dengan musik.

Ketika menjelaskan tentang tadarus (dalam pengertian membaca Quran secara murattal), beliau mengatakan bahwa salah satu kekuatan tadarus itu adalah ketika kita melafazkan ayat-ayat yang kita baca. "Bayangkan apakah ada jiwanya bila seseorang bertadarus hanya dengan memandang dan membaca tanpa menyuarakan huruf-huruf itu. Bertadarus jika hanya di dalam hati tidaklah akan menimbulkan efek yang signifikan, baik untuk orang lain yang mendengarnya, maupun bagi kita sendiri yang membacanya. Jadi ruh tadarus itu terletak pada bunyinya ; bunyi yang mengalun sedemikian, hingga terbangun 'musik' yang berjiwa. Sudah barang tentu kita sepakat bahwa kelanjutannya adalah mengkaji arti dan maknanya secara lebih mendalam," ujar Pak Mutahar.

Pak Mutahar juga mengupas tentang efek bunyi dalam kaitannya dengan psikis manusia. Bunyi yang terlalu keras akan berakibat pada menurunnya produktifitas dan daya konsentrasi manusia, meskipun produk bunyi tersebut berupa sesuatu yang indah dan bermanfaat. Produk itu mungkin bunyi musik yang timbul dari alat musik, mungkin pula dari orang yang berbisik, orang yang berdiskusi, orang yang berteriak, keriuhan di pasar, pengeras suara dari mikrofon, knalpot sepeda motor, ledakan bom, dan sebagainya. Beliau memberikan contoh dari berbagai macam sumber bunyi tersebut lengkap dengan ukuran decibel-nya.

Tentang Al-Quran, beliau membahas hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Rasyad Khalifa, seorang pakar biokimia Mesir-Amerika, yang berisi fakta-fakta empiris bahwa jumlah huruf dan kata dalam Al-Quran saling bersesuaian satu sama lain dengan berbagai fakta di alam semesta. Misalnya kata 'hari' disebut dalam Al-Quran sebanyak 365 kali, sama dengan jumlah hari dalam setahun. Kata 'bulan' disebut sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. Kata 'laki-laki' disebut sebanyak 23 kali, sama dengan jumlah kata 'perempuan' juga 23 kali ; dan itu sama dengan jumlah kromosom yang ada pada tubuh manusia, yaitu 46 buah atau 23 pasang. (Hasil penelitian tersebut terangkum dalam buku "Computer Speaks: God's Message to the World", 1981).

Di akhir tausiahnya, Pak Mutahar membagikan kepada semua hadirin selembar kertas kecil bertuliskan nyanyian shalawat yang mengandung puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Pak Mutahar mengatakan, ibarat radio transistor zaman dahulu, semua kita ini sebetulnya adalah receiver, penangkap gelombang, penerima pesan. Sebagai penerima pesan, kita harus menyamakan frekuensi 'gelombang radio' kita dengan sang pemberi pesan. Ada orang yang sudah melenceng terlalu jauh, sehingga frekuensinya tak lagi sama dengan sang pemberi pesan. Jadilah orang ini tak lagi bisa menerima pesan apa pun. Sebagian dari kita ada pula yang sudah hampir nyambung, tapi masih belum dapat menangkap dan menyampaikan isi pesan itu secara sempurna. Istilah Pak Mutahar, bunyinya masih krosak-krosok, karena receiver-nya kotor, belum dibersihkan. Receiver yang paling bersih, kata beliau, adalah Rasulullah Muhammad SAW, yang dapat dengan sempurna menerima pesan berupa wahyu dari Allah ; wahyu yang kemudian disampaikan secara sempurna pula kepada kita segenap umatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun