Mohon tunggu...
Syamsul Rizal Ikhwan
Syamsul Rizal Ikhwan Mohon Tunggu... Guru - Guru Musik

Suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa

4 Juni 2024   14:37 Diperbarui: 4 Juni 2024   15:08 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pengalaman menarik saat saya mengajarkan lagu "Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa" kepada anak-anak di suatu sekolah beberapa waktu yang lalu. Memasuki bulan Oktober, seperti biasa setiap tahun, sebagai guru musik, saya memopulerkan kembali lagu itu kepada mereka. Hitung-hitung ikut serta menumbuhkan, menjaga, dan merawat semangat Sumpah Pemuda, sebagaimana peringatannya kita rayakan tiap tahun pada 28 Oktober.

Singkat cerita, bernyanyilah kami :

                  Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita

                  Tanah air pasti jaya untuk s'lama-lamanya

Saat nyanyian sampai di baris kedua ini, tiba-tiba seorang anak menyela sambil mengangkat tangannya.

"Pak ! Kata Pak Fulan, kita tidak boleh bilang 'pasti' untuk sesuatu yang belum bisa kita pastikan !" kata si anak tadi dengan menyebut nama guru agamanya.

Ups cukup kaget juga saya mendengarnya. Seumur-umur saya mengajarkan lagu ini, baru kali ini saya diprotes. Oleh anak kelas 4 SD pula. Matilah awak !

"Oh ya ? Mengapa ? Lalu harus bilang apa ?" tanya saya setengah sadar.

"Mestinya 'insyaAllah', Pak !" jawab anak tadi ditimpali teriakan setuju "Ya, Pak" ; "Betul, Pak" ; oleh beberapa temannya.

"Lha.. terus.. jadi lagunya gimana ?" lanjut saya.

                    Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita, 

                    Tanah air insyaAllah jaya untuk s'lama-lamanya 

Gitu, Pak !" katanya sambil lantang bernyanyi.

Saya tak bisa menahan tawa mendengarnya. Terasa begitu lucu. Bukan apa-apa. Hanya karena asing. Tidak terbiasa. Ditambah pula dengan gaya polos imut-imut si anak tadi. Teman-temannya seisi kelas pun semua ikut tertawa. Riuh rendah suasana siang itu di kelas kami.

Dalam hati terbersit decak kagum saya kepada anak ini. Saya melihat, itu ungkapan spontan dari benaknya yang baru diajarkan kepadanya tentang kata 'pasti' atau 'hakekat kepastian' oleh guru agamanya, lalu secara jujur (polos) dia membuat interpretasi tentang syair lagu tadi.

Tak lama kemudian saya tersadar bahwa yang diprotes toh bukan saya, tapi almarhum Bapak Dr. Liberty Manik, komponis lagu itu, dosen pembimbing skripsi saya saat kuliah di Jurusan Musik ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta dulu. Beliaulah yang menyimpan argumentasi mengapa di situ ada kata 'pasti' atau mengapa digunakan kata 'pasti'. Beliau yang tahu asbabun nuzul-nya. Beliau pemilik visi-misi dan pesan mau diarahkan ke mana, kepada siapa, dan apa filosofi syair lagu yang dibuatnya itu. 

Beliau yang harus bertanggungjawab karena telah berani "mendahului Tuhan" dengan mengatakan bahwa tanah air kita pasti jaya untuk selama-lamanya. Tugas saya cukuplah menjelaskan saja apa yang saya tahu tentang hal-hal yang berkaitan dengan lagu itu, khususnya tentang kata 'pasti' tadi, agar si murid bisa menerima dengan lega. Itu saja.

Maka saya pun mengembalikan kepada sang murid dan teman-temannya, apa kira-kira yang bisa kita gali atau kita duga sang pencipta lagu hendak sampaikan. Dari barisan tengah, persis di depan saya, seorang temannya membantu saya memberikan jawaban.

"Kata 'pasti' di situ maksudnya bukanlah 'pasti' yang sok tahu, yang seakan-akan mendahului Tuhan, tapi menunjukkan tekad kita yang bulat disertai kesungguhan yang berkelanjutan untuk terus berjuang bersama membangun tanah air kita, sehingga timbul keyakinan yang teguh bahwa tanah air kita pasti akan jaya selama-lamanya." Kalimat terakhir ini memang saya yang menyusunnya, tapi seingat saya itulah inti dari jawaban si anak tadi.

Alhamdulillah.. saya lihat sang pemuda kecil dan teman-temannya sekelas dapat menerima penjelasan tadi. Maka selepas itu dengan gembira kami pun mengulang kembali menyanyikan lagu itu dari awal.

                   Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita

                   Tanah air pasti jaya untuk s'lama-lamanya

                   Indonesia pusaka, Indonesia tercinta

                   Nusa, bangsa, dan bahasa

                   Kita bela bersama

Betapa bahagianya saya pada hari itu. Betapa tidak ! Murid kita telah berinisiatif mengungkapkan pendapatnya sendiri dari hasil kajiannya tentang pelajaran yang dia dapatkan sebelumnya, dikaitkannya dengan pengalaman belajar berikutnya, dan dikemukakannya dengan berani, baik dan sopan. 

Teman-temannya memberikan respon yang positif pula. Ditambah lagi dengan semangat dan partisipasi aktif mereka mempelajari dan menyanyikan lagu itu. Dalam hati saya berdoa semoga apa yang saya lakukan bersama pemuda-pemudi kecil itu memberi manfaat yang besar untuk masa depan mereka kelak. Aamiin..

Opini yang menggelitik dari anak tadi mengusik saya terkait judul lagu ini, mengapa kebanyakan orang menyebutnya hanya "Satu Nusa Satu Bangsa". Dikemanakan satu bahasa-nya ? Bukankah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menyiratkan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa ? 

Sebuah simpul geografis-kultural, di mana bahasa menjadi salah satu unsur perekatnya, terikrar pula dalam kesakralan sumpah, tak bolehlah dipisahkan. Di sisi lain, kita tahu bahwa BPPB (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) sudah lama menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa. Tepatnya Bulan Bahasa dan Sastra. Belum pernah kita dengar istilah 'bulan nusa' atau 'bulan bangsa'.

Kita tonton konser yang megah dan bergengsi, kita bernyanyi di acara-acara dan upacara-upacara dari tahun ke tahun, bahkan kita cari di perangkat sekelas google dan youtube sekalipun, tidak kita temukan lagu berjudul "Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa". Hanya ada "Satu Nusa Satu Bangsa", bahkan "Satu Nusa". Ada apa ini ? Tak pentingkah satu bahasa ? Begitu repotkah mengucapkan atau menuliskannya ? Terlalu panjangkah ? Tak cukup waktukah ?

Dari pengamatan sepintas dan amatiran yang saya lakukan, ditambah prasangka baik dan feeling, kelihatannya memang begitu. Kajian sederhana menyimpulkan, teramat jauh kalau masalah ini dikaitkan dengan aspek politis maupun bisnis. Secara naluriah, manusia memang cenderung menyukai sesuatu yang mudah, praktis, dan sederhana. Kita lihat, bahkan sejak dahulu, betapa tumbuh makin subur trend membuat singkatan dan akronim. Misalnya : NKRI, curhat, covid ; bahkan hingga ke nama-nama orang seperti SBY, Jokowi, dan sebagainya.

Kalau demikian, dengan segala hormat dan kerendahan hati, mungkin kita perlu mengusulkan kepada keluarga almarhum Bapak Dr. Liberty Manik melalui pemerintah kita, untuk menyingkat judul lagu tersebut menjadi "Sumpah Pemuda" !

Setahu saya, sampai saat ini di Indonesia belum ada lagu yang memakai judul itu. Dan kalaupun perlu diciptakan -- untuk tujuan memuliakan peristiwa bersejarah yang teramat monumental itu -- saya rasa lirik lagu "Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa" berikut pesan, makna, isi, visi dan misi yang terkandung di dalamnya, juga melodi dan jiwa lagu tersebut, sudah sangat cukup merepresentasikan tujuan itu. Apalagi lagu tersebut sudah terlanjur melegenda di hati seluruh anak bangsa ini. Kalaupun suatu saat nanti ada komposer menciptakan lagu dengan judul yang sama, usul saya, tukaran saja, atau cari judul lain. Hehehe

Judul yang pas (baca: representatif) adalah iklan yang efektif.

InsyaAllah pasti !

Syamsul Rizal Ikhwan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun