Mohon tunggu...
Syamsul Hidayat
Syamsul Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Founder Kopi Seduh Institute

Belajar memberi makna dan berusaha mengamalkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berakhirnya Balada Para Pecinta Gen-X

28 Mei 2020   13:16 Diperbarui: 28 Mei 2020   14:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah masih ada diantara kita yang masih suka menyimpan surat cinta? Bahkan rutin membuka, membaca, dan membubuhkan minyak wangi jika harumnya memudar. Kalau masih ada, mungkin kalian lebih bucin dari epistemilogi #bucin yang sekarang sedang melanda. Haha

Teringat waktu itu, surat cinta baru bisa selesai dalam tiga hari, awal mula menuliskannya selalu salah, bersusah payah mengulangi, selalu lain dalam pikiran, lain dalam perasaan, belasan lembar kertas berisi coretan kata hati menumpuk di pojok kamar. Isi dari surat pertama itu kurang lebih begini;

 "Teruntuk Seseorang di Peraduan, " Setibanya surat ini di haribaanmu, semoga kau dalam suasana hati yang terang seumpama purnama".  "Jujur, aku sebenarnya tidak tahu harus memulai dari mana untuk mengungkap apa yang aku rasakan saat ini. Sejak pertemuan pertama beberapa hari yang lalu, ada debar di dada, pikiranku terus mengingatmu, wajah manismu terus membayang kemanapun aku melangkah. Dan aku merasa bingung apakah ini yang disebut jatuh cinta. Surat ini mewakili segenap tanya dari lubuk hati yang dalam, perasaanku padamu telah menjadi siksa dalam bathinku jika terus ku simpan, mau kah kau menjadi kekasihku.....Aku yang selalu  memikirkanmu.... Empat kali empat enam belas"

Pengalaman konyol berkirim surat itu selalu membuat saya tersipu saat mengingatnya. Walaupun saya yakin hal demikian merupakan pengalaman pribadi banyak orang-yang sudah jadi remaja minimal sebelum tahun dua rebu-an.

Masih adakah tradisi berbalas balas surat cinta yang mendayu-dayu itu?

Sementara pengamatan, semenjak teknologi informasi masuk sekolah atau lebih tepatnya semenjak anak-anak remaja putra dan remaja putri mengenal komputer, telpon dan Internet. Mulailah tradisi berkirim dan berbalas surat cinta yang merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang itu ditinggalkan secara perlahan. Dan saat ini di pastikan berkirim surat dalam bentuk surat pribadi (surat cinta) yang di tulis tangan, sudah tidak ada lagi. Fasilitas teknologi yang terus maju, pada gilirannya telah mengganti cara orang dari manual ke canggih termasuk dalam hal urusan romantisme, menulis surat cinta dengan tulis tangan adalah usang.

Jauh sebelum saya mengenal surat cinta, para tokoh penting di negeri ini, generasi old, saat mereka berjuang mengusir penjajah, saat mereka mengisi awal revolusi, ternyata romantisme mereka tetap hidup tanpa terhalang kerumitan situasi yang ada, jarak yang memisahkan mereka dengan para kekasih, melalui surat-surat cintanya telah menuai pemahaman sejarah bahwa para tokoh penting itu juga punya kehidupan pribadi yang layak di kagumi sepanjang zaman. Bung Karno, Bung Tomo dan Sutan Syahrir adalah nama-nama yang sebagian kisah cintanya, surat-surat cintanya, di buka ke publik. Entah berbentuk buku atau semacam suplemen saja.

Dalam sebuah poto, nampak Sulistina Sutomo tersenyum sambil memegang buku karyanya, buku itu ia susun dari surat-surat yang ia kumpulkan bertahun-tahun, ialah surat-surat sang suami yang di kirim kepadanya. buku tersebut ia beri judul "Romantisme Bung Tomo" .

Maria Ditacheau menerima hampir 287 surat cinta dari Sutan Syahrir selama dalam pengaasingan Boven Digoel. Kemudian surat itu di cetak dalam bahasa Belanda, dan versi Indonesianya di beri judul "Perenungan dan Perjuangan Syahrir"

Selepas pengajian magrib dan salat isya berjamaah sebagian dari kami remaja putra adalah belajar bersama, kadang di rumah teman atau kadang dilanjutkan di masjid. Dan saat itulah balasan dari surat yang sudah lama saya tunggu datang. Dan saya harus menahan sesak saat membacanya.

"Sejak menerima surat itu, dua bulan kemudian saya baru sempat membuka dan membaca suratmu. Aku berterima kasih atas perhatian-mu dan aku percaya apa yang kamu ucapkan. Namun, usia kita berpaut jauh, mungkin kau harus bersabar, jikapun mungkin suatu saat kau layak jadi menantuku".

Di tempat terpisah yang jauh, seorang bernama Srihana, adalah nama samaran seorang tokoh penting, ketika ia mengirimkan surat cintanya kepada kekasih yang usianya terbentang jauh "Ketika aku melihatmu untuk kali pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama. Srihana". Surat cinta itu tertulis dalam biografi Hartini (Salah satu istri Bung Karno) berjudul "Srihana Srihani" yang di tulis oleh Arifin Surya.

Era digital telah mematikan lelaku para pecinta yang sudah turun-temurun. Selamat tinggal kenangan, surat cinta adalah penanda generasi old dan X berganti Y. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun