Mohon tunggu...
Syamsul Hidayah
Syamsul Hidayah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penulis , editor, dan penerbit buku. CP:0821 7700 1102 atau email :syamsulhidayah1975@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Ibu Terluka

2 Oktober 2016   21:22 Diperbarui: 2 Oktober 2016   21:37 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah pesan pendek masuk ke dalam telepon seluler milikku. Hari itu waktu menunjukkan pukul 23.00. Dalam keadaan masih mengantuk, ku raih telepon seluler yang ada di meja kecil, disamping tempat tidurku.

"Bapak mau menikah lagi.Mohon restunya" begitulah pesan singkat itu. Benar-benar singkat.Tapi begitu menyentak ulu hati.

Tak lama setelah aku baca pesan pendek itu, masuk lagi pesan pendek dari enam saudara-saudaraku .Isinya sama."Mari kita tentang rencana bapak, besok kita kumpul". Aku tidak langsung menjawab kiriman pesan dari saudara-saudara itu. Mataku berat untuk melihat keypad telepon seluler. Aroma bantal membawa aku tidur kembali.

"Kita harus menentang rencana bapak"

"Itu sama saja mengkhianati cinta ,"

"Saya tidak akan pulang lagi ke dusun, jika ada orang baru di keluarga kita,"

"Tolong katakan pada bapak, pilihlah, lebih baik punya isteri baru atau kehilangan tujuh anaknya"

Begitulah perdebatan yang terjadi dalam musyawarah kami tujuh beradik di rumah Ivada, saudara perempuan tertua kami. Aku anak keenam dari tujuh bersaudara. Empat perempuan tiga laki-laki. Dua kakakku yang laki-laki setuju dengan rencana bapak. Satunya menentang keras.

Sedangkan kami, empat perempuan, hanya adikku yang patuh dengan rencana bapak.

"Saya harus taat pada orangtua. Itu ajaran agama," kata Syamilah, adikku.

Mang Tarman, adik bapak, menjadi pemantau jarak jauh musyawarah kami tujuh beradik sekaligus juru bicara kami terhadap bapak.

"Kakak,dari tujuh anak kakak, hanya satu yang setuju menikah. Semua menolak rencana itu. Saya harap, paman menimbang-nimbang rencana itu," kata Mang Tarman, yang menemui bapak di dusun.

Sejak ditinggal ibu yang wafat di Tanah Suci Mekkah Al Mukkarramah, dua tahun lalu, isu bapak akan menikah lagi menyeruak ke segala penjuru dusun. Sejumlah warga dusun mencoba menjadi mak comblang, membujuk bapak agar mau menikah dengan pilihan mak comblang itu. Tawaran demi tawaran dari si mak comblang itu ditolak bapak. Kami yang mendengar penolakan bapak merasa lega. Penolakan itu pertanda bapak masih cinta ibu. Lagi pula, pikir kami, perempuan mana yang mau dengan bapak kami yang sudah menginjak kepala enam.

Pernah suatu ketika, bapak seperti digunai-gunai perempuan dusun. Bapak seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta. Ia lalu membawa persoalan cintanya ini kepada kami tujuh beradik. Jelas saja, kami menolak. Apalagi setelah kami tahu si perempuan yang pake ilmu magic agar bapak kebelet kawin dengannya adalah adik ibu sendiri. Kuat dugaan, adik ibu yang bernama Bayadah itu hanya ingin mengerogoti harta bapak dan ibu di dusun.

Bapak dan ibu masih memiliki sawah yang luas di dusun. Hasil sawah itulah yang menghidupi kami beradik hingga menjadi sarjana dan biaya. Panen sawah pulalah yang mengantarkan kedua orangtua kami pergi haji. Kami tahu betul dengan perangai Bayadah. Saat ibu masih hidup, sudah berapa suku emas digadaikannya. Hingga ibu wafat, kami tahu betul, Bayadah belum mengembalikan emas gadaian itu

Bapak sadar tidak ada yang bisa menggantikan ibu. Seorang perempuan yang tahan banting, tahan susah dan tahan miskin. Ibu ingin, cukuplah dirinya susah, miskin dan tidak sekolah. Tapi jangan sampai anak-anaknya dan cucu-cucunya seperti dia.

Makanya sampai sekarang, bapak masih kesal dengan petugas haji di Mekkah saat membopong ibu ke rumah sakit karena tidak bisa mendampingi ibu di saat-saat terakhir menghembuskan nafasnya. Bapak hanya dikabari saat istirahat di hotel bahwa perempuan yang telah mendampinginya selama tiga puluh tahun itu telah dipanggil Allah SWT.

Sepeninggal ibu, bapak tinggal di dusun. Ia tidak mau tinggal bersama salah satu dari tujuh anaknya sudah memiliki rumah sendiri. Ia tetap menjalani usaha dagang beras untuk menghidupi asap dapurnya..Ia mencuci baju sendiri,masak sendiri,membersihkan rumah sendiri sampai mencuci piring sendiri.

Dua tahun dalam kesendirian di dusun.membuat bapak bosan. Ditambah lagi umur yang terus bertambah membuat fisik menjadi cepat lelah. Sejumlah penyakit mulai mengidap di tubuh bapak. Saat asmanya kambuh di malam hari, tak jarang bapak menembus dinginnya malam menuju kota dari dusun berjarak empat puluh kilometer dengan bersepeda motor untuk berobat.

"Pak,lebih baik tinggal bersama kami di sini. Rumah sakit dan dokter dua puluh empat jam. Di dusun, memang masih ada kerabat yang bisa bantu tapi jika penyakit kambuh malam hari, tidak ada rumah sakit dan dokter yang buka dua puluh empat jam," kata Ivada kepada bapak usai menemaninya ke dokter.

Aku pun menyarankan bapak boleh memilih tinggal di rumah anak-anaknya yang lain. Tapi bapak tetap bersikeras tinggal di dusun. Katanya, dusun adalah jiwanya. Disana dia lahir, bermain saat masih kanak-kanak, hidup, mencari uang sampai menikah. Bapak ingin mati di dusun

Jika tinggal dengan anak-anaknya di kota, bapak berpandangan justeru akan membebani anak-anaknya. Setiap hari, anak-anaknya disibukkan dengan mengantar cucu-cucunya pergi sekolah. Belum lagi kesibukkan kerja mereka masing-masing.

"Itulah yang membuat aku memilih untuk tinggal di dusun," ujar bapak mantap.

Kini isu menikah kembali terdengar. Kali ini tidak sekedar isu. Tapi fakta. Bapak sudah tidak tahan dengan kesendiriannya. Meski ditentang enam anaknya, bapak pantang mundur. Ia terus membujuk anak-anaknya agar mendukung rencana pernikahannya. Akhirnya kami terpecah belah. Dua saudara laki-lakiku berubah haluan dan menyatakan mendukung. Satu saudara laki-lakiku abstain. Sementara, dua saudara perempuanku, Ivada dan Mutia bersikap mendua. Keduanya tetap tidak setuju meski terpaksa harus datang menghadiri. Adikku yang paling kecil, perempuan juga, seratus persen mendukung bapak. Aku?. Tetap tidak mendukung.

“Kalau mau sedih, akulah yang paling sedih. Aku ini ditinggal isteri. Tiga puluh tahun menikah dengan ibu kalian dalam suasana susah dan senang sudah aku lalui, bapak menikah ini bukan berarti mengkhianati cinta ibu kalian, bapak sudah tua, secara syahwat, tidak mungkin lagi, jadi tolonglah, anak-anakku sekalian untuk merestui kami,” kata Bapak, tujuh hari sebelum hari H, dihadapan tujuh anak-anaknya. Kami semua terdiam. Pertemuan hari itulah yang membuat saudara-saudaraku berubah haluan.

“Aku takut, jika tidak direstui, nanti aku khilaf, bisa-bisa kalian kualat,” tambah Bapak. Aku paham apa yang dimaksud kualat dalam perkataan bapak itu. Sebagai anak, patuh terhadap orangtua adalah kewajiban.

Tapi bagiku, ini bukan persoalan patuh terhadap orangtua saja. Ini persoalan cinta. Cinta anak, terutama kami, anak-anak perempuan. Meski ibu telah tiada, cinta kami tetap tertimbun di atap pusarannya di Tanah Suci Mekkah, meski kami tidak tahu dimana kuburnnya.

Kami tujuh beradik tahu benar. Cinta ibu terhadap bapak, banyak memakan perasaan. Saat masih hidup, ibu selalu disingkirkan oleh keluarga dari pihak bapak. Saat masih kecil, aku mendengar cerita ibu, bagaimana dia dipaksa untuk bercerai oleh mertuanya. Alasannya, mertuanya sudah ada perempuan untuk bapak. Padahal apa kurangnya ibu. Saat itu dia anak orang kaya di dusun itu. Wajahnya tergolong cantik. Boleh dikatakan, lima tahun pernikahan ibu dan bapak, asap dapur keluarga berasal dari kantong ibu, yang diperoleh dari tabungan hasil menjahit. Bahkan modal berdagang beras bapak, berasal dari ibu.

Untung saja perceraian tidak terjadi. Hal ini dikarenakan oleh ibu sedang mengandung aku. Di dalam agama, suami tidak boleh menceraikan isterinya di saat hamil. Maka itu, tidak salah, jika pihak keluarga bapak, sangat benci dengan diriku, karena janin itu adalah aku.

Dalam kehidupan sehari-hari, kami ingat betul ibu adalah perempuan yang sederhana. Meski menyimpan uang dari hasil keuntungan dagang bapak, ia tidak pernah membeli baju baru pun. Uang yang dikumpulkannya dan disimpan itu semata-mata untuk tujuh anak-anaknya. Kami tahu betul, jibu mengingingkan kami semua menjadi sarjana.

Setelah kami tujuh beradik berkeluarga dan memberinya cucu, kesederhanaan itu tidak pudar. Saat lebaran, kami tujuh beradik, biasanya membelikannya kain, baju atau sedikit perhiasan. Tapi saat lebaran, semua yang kami berikan tidak dia dipakai. Tapi disimpannya dengan rapi di dalam lemari. “Untuk apa memakai pakaian bagus, aku ini sudah tua,” Begitu kata ibu setiap kami membelikaannya baju.

Sikap ibu yang sederhana itulah yang menjadi alasan utama kami menolak rencana menikah bapak. Bagi kami tujuh beradik, ibu adalah segala-galannya. Ia tidak bisa digantikan dengan lain. Kami tidak mau menganggap perempuan yang akan disunting bapak sebagai orang pengganti ibu. Ibu tidak bisa digantikkan. Tidak bisa digantikan.

“Bapak tetap bapak kami. Tapi perempuan itu adalah orang lain. Bukan ibu tiri, isteri bapak, atau apalah namannya. Aku tidak tahu, dan aku tidak akan datang pada hari pernikahan,” kata ku saat bertemu Bapak, dua hari menjelang hari pernikahan.

Selain karena lebih mencintai ibu, ingat akan perjuangan ibu saat masih hidup, rencana bapak untuk menikah, sungguh sangat memalukan. Maklum saja, budaya tempat kami hidup, secara tersirat, selalu memberi cap jelek bagi lelaki yang sudah berumur, tapi memiliki keinginan menikah. Kami tujuh beradik sudah mendengar omongan dari orang-orang dusun mengenai rencana menikah bapak seperti puber kedua lah dan lain sebagainya yang mengarah pada sesuatu yang bersifat seksual.

Hari pernikahan itu tiba. Bapak diarak oleh kaum perempuan penabuh rebana menuju rumah perempuan yang akan disuntingnya. Umur perempuan itu selisih lima tahun dari bapak. Nampak keriput di wajahnya tampak jelas. Adiknya satu perempuan, dua laki-laki. Dia anak tertua. Adiknya yang nomor dua, laki-laki, yang menjadi wali nikahnya karena bapaknya sudah lama wafat.

Aku tidak hadir di acara ijab kabul itu hanya diwakili suamiku. Sementara tujuh saudaraku hadir semua. Menurut cerita suamiku, bapak menangis saat mengucap ijab kabul. Sementara tujuh saudaraku tidak melihat proses ijab kabul itu entah kenapa. Mungkin juga tidak tega melihat bapaknya menikah lagi.

Hari itu , di rumah aku tepekur di atas sajadah. Usai salat duha, aku berzikir kepada Allah SWT. Aku mohon ampunan Allah SWT, jika sikap keras menolak bapak menikah lagi, terkatagori sebagai kedurhakaan anak terhadap orangtua. “Ya Allah, aku tidak bermaksud durhaka terhadap bapak. Penolakan itu atas dasar aku sayang bapak dan ibu. Ampuni aku Ya Rabb, jika sikap ini salah di mataMU, ” begitulah doaku. Bendungan air di kedua kelopak mataku tumpah membasahi pipi. Aku tersungkur di atas sajadah.

Sebuah suara tiba-tiba menyambar telingaku. Dia memanggilku. Ia mendekat. Bayangan putih tampak jelas dihadapanku. Ia berkata,”Anakku, biarkan bapakmu menikah lagi. Tetaplah patuhi apa yang menjadi perintahnya. Bapakmu adalah bapak kalian semua. Dia masih orangtua kalian. Jagalah dia,”.

“Maafkan kami ibu. Kami tidak bisa menjaga cinta ibu kepada bapak. Kami masih mencintai ibu, tidak ada yang bisa mengantikan ibu, ” jawabku

Tidak ada sahutan balasan. Suara itu hilang. Aku tersadar. Suamiku sudah berdiri disampingku membangunkanku. “Ibu, semoga engkau damai di sana,” begitulah doaku sambil tergesa-gesa membereskan mukena dan sajadah.

Palembang, 25 Oktober 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun