Selain karena lebih mencintai ibu, ingat akan perjuangan ibu saat masih hidup, rencana bapak untuk menikah, sungguh sangat memalukan. Maklum saja, budaya tempat kami hidup, secara tersirat, selalu memberi cap jelek bagi lelaki yang sudah berumur, tapi memiliki keinginan menikah. Kami tujuh beradik sudah mendengar omongan dari orang-orang dusun mengenai rencana menikah bapak seperti puber kedua lah dan lain sebagainya yang mengarah pada sesuatu yang bersifat seksual.
Hari pernikahan itu tiba. Bapak diarak oleh kaum perempuan penabuh rebana menuju rumah perempuan yang akan disuntingnya. Umur perempuan itu selisih lima tahun dari bapak. Nampak keriput di wajahnya tampak jelas. Adiknya satu perempuan, dua laki-laki. Dia anak tertua. Adiknya yang nomor dua, laki-laki, yang menjadi wali nikahnya karena bapaknya sudah lama wafat.
Aku tidak hadir di acara ijab kabul itu hanya diwakili suamiku. Sementara tujuh saudaraku hadir semua. Menurut cerita suamiku, bapak menangis saat mengucap ijab kabul. Sementara tujuh saudaraku tidak melihat proses ijab kabul itu entah kenapa. Mungkin juga tidak tega melihat bapaknya menikah lagi.
Hari itu , di rumah aku tepekur di atas sajadah. Usai salat duha, aku berzikir kepada Allah SWT. Aku mohon ampunan Allah SWT, jika sikap keras menolak bapak menikah lagi, terkatagori sebagai kedurhakaan anak terhadap orangtua. “Ya Allah, aku tidak bermaksud durhaka terhadap bapak. Penolakan itu atas dasar aku sayang bapak dan ibu. Ampuni aku Ya Rabb, jika sikap ini salah di mataMU, ” begitulah doaku. Bendungan air di kedua kelopak mataku tumpah membasahi pipi. Aku tersungkur di atas sajadah.
Sebuah suara tiba-tiba menyambar telingaku. Dia memanggilku. Ia mendekat. Bayangan putih tampak jelas dihadapanku. Ia berkata,”Anakku, biarkan bapakmu menikah lagi. Tetaplah patuhi apa yang menjadi perintahnya. Bapakmu adalah bapak kalian semua. Dia masih orangtua kalian. Jagalah dia,”.
“Maafkan kami ibu. Kami tidak bisa menjaga cinta ibu kepada bapak. Kami masih mencintai ibu, tidak ada yang bisa mengantikan ibu, ” jawabku
Tidak ada sahutan balasan. Suara itu hilang. Aku tersadar. Suamiku sudah berdiri disampingku membangunkanku. “Ibu, semoga engkau damai di sana,” begitulah doaku sambil tergesa-gesa membereskan mukena dan sajadah.
Palembang, 25 Oktober 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H