Mohon tunggu...
Syamsul Hidayah
Syamsul Hidayah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penulis , editor, dan penerbit buku. CP:0821 7700 1102 atau email :syamsulhidayah1975@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Ibu Terluka

2 Oktober 2016   21:22 Diperbarui: 2 Oktober 2016   21:37 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kakak,dari tujuh anak kakak, hanya satu yang setuju menikah. Semua menolak rencana itu. Saya harap, paman menimbang-nimbang rencana itu," kata Mang Tarman, yang menemui bapak di dusun.

Sejak ditinggal ibu yang wafat di Tanah Suci Mekkah Al Mukkarramah, dua tahun lalu, isu bapak akan menikah lagi menyeruak ke segala penjuru dusun. Sejumlah warga dusun mencoba menjadi mak comblang, membujuk bapak agar mau menikah dengan pilihan mak comblang itu. Tawaran demi tawaran dari si mak comblang itu ditolak bapak. Kami yang mendengar penolakan bapak merasa lega. Penolakan itu pertanda bapak masih cinta ibu. Lagi pula, pikir kami, perempuan mana yang mau dengan bapak kami yang sudah menginjak kepala enam.

Pernah suatu ketika, bapak seperti digunai-gunai perempuan dusun. Bapak seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta. Ia lalu membawa persoalan cintanya ini kepada kami tujuh beradik. Jelas saja, kami menolak. Apalagi setelah kami tahu si perempuan yang pake ilmu magic agar bapak kebelet kawin dengannya adalah adik ibu sendiri. Kuat dugaan, adik ibu yang bernama Bayadah itu hanya ingin mengerogoti harta bapak dan ibu di dusun.

Bapak dan ibu masih memiliki sawah yang luas di dusun. Hasil sawah itulah yang menghidupi kami beradik hingga menjadi sarjana dan biaya. Panen sawah pulalah yang mengantarkan kedua orangtua kami pergi haji. Kami tahu betul dengan perangai Bayadah. Saat ibu masih hidup, sudah berapa suku emas digadaikannya. Hingga ibu wafat, kami tahu betul, Bayadah belum mengembalikan emas gadaian itu

Bapak sadar tidak ada yang bisa menggantikan ibu. Seorang perempuan yang tahan banting, tahan susah dan tahan miskin. Ibu ingin, cukuplah dirinya susah, miskin dan tidak sekolah. Tapi jangan sampai anak-anaknya dan cucu-cucunya seperti dia.

Makanya sampai sekarang, bapak masih kesal dengan petugas haji di Mekkah saat membopong ibu ke rumah sakit karena tidak bisa mendampingi ibu di saat-saat terakhir menghembuskan nafasnya. Bapak hanya dikabari saat istirahat di hotel bahwa perempuan yang telah mendampinginya selama tiga puluh tahun itu telah dipanggil Allah SWT.

Sepeninggal ibu, bapak tinggal di dusun. Ia tidak mau tinggal bersama salah satu dari tujuh anaknya sudah memiliki rumah sendiri. Ia tetap menjalani usaha dagang beras untuk menghidupi asap dapurnya..Ia mencuci baju sendiri,masak sendiri,membersihkan rumah sendiri sampai mencuci piring sendiri.

Dua tahun dalam kesendirian di dusun.membuat bapak bosan. Ditambah lagi umur yang terus bertambah membuat fisik menjadi cepat lelah. Sejumlah penyakit mulai mengidap di tubuh bapak. Saat asmanya kambuh di malam hari, tak jarang bapak menembus dinginnya malam menuju kota dari dusun berjarak empat puluh kilometer dengan bersepeda motor untuk berobat.

"Pak,lebih baik tinggal bersama kami di sini. Rumah sakit dan dokter dua puluh empat jam. Di dusun, memang masih ada kerabat yang bisa bantu tapi jika penyakit kambuh malam hari, tidak ada rumah sakit dan dokter yang buka dua puluh empat jam," kata Ivada kepada bapak usai menemaninya ke dokter.

Aku pun menyarankan bapak boleh memilih tinggal di rumah anak-anaknya yang lain. Tapi bapak tetap bersikeras tinggal di dusun. Katanya, dusun adalah jiwanya. Disana dia lahir, bermain saat masih kanak-kanak, hidup, mencari uang sampai menikah. Bapak ingin mati di dusun

Jika tinggal dengan anak-anaknya di kota, bapak berpandangan justeru akan membebani anak-anaknya. Setiap hari, anak-anaknya disibukkan dengan mengantar cucu-cucunya pergi sekolah. Belum lagi kesibukkan kerja mereka masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun