Mohon tunggu...
Syamsul Hidayah
Syamsul Hidayah Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Penulis , editor, dan penerbit buku. CP:0821 7700 1102 atau email :syamsulhidayah1975@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Hikayat Plastik di Tangan Samran

1 Februari 2015   13:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:00 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_366777" align="alignnone" width="2560" caption="Pemilih Usaha Bersama Same Hase Prabumulih"][/caption]

Tangan kanannya memegang alat pemotong (Cutter) kecil.Sedangkan tangan kirinya memegang cangkir bekas air mineral.Leher cangkir lalu dipotongnya. Hasil potongan itu dipisahkannya. Cangkir ditancapkannya di sepotong kayu setinggi kira-kira duapuluh centimeter , yang ditanam di tanah, tak jauh dari dia jongkok.Sementara bagian leher cangkir dilemparkan ke wadah panci plastik disebelah kirinya. Pada Rabu , (28/1) siang yang terik , itu dalam hitungan tigapuluh detik,ia sudah bisa mengumpulkan cangkir air mineral sebanyak sepuluh buah.

Tiap hari, mulai pukul 12.30, atau sepulang sekolah, Yan, begitu dia mengenalkan dirinya,memulai aktivitas bekerja memotong cangkir air mineral bekas di tempat penampungan barang bekas, di kawasan Jalan Lingkar Timur, Tugu Nanas, Kecamatan Prabumulih Barat, Kota Prabumulih, Sumatera Selatan.Bersama dia, tampak lima perempuan ikut pula mengerjakan hal serupa.

“Dalam sekilo, kami diupah seribu, dari pulang sekolah sampai petang, biasanya dapat lima kilo,”kata Yan, pelajar kelas tujuh di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri11 Kota Prabumulih.

Upah akan diberikan setiap akhir pekan. Dalam seminggu, Yan, dapat mengantongi uang Rp.30.000.

“Biasanya digunakan untuk jajan, dan menabung,”ujar Yan, yang keduaorangtuanya penyadap karet ini.

Perempuan yang berada di depan Yan menimpali, bekerja di tempat penampungan barang bekas, cukup membantu asap dapurnya untuk mengepul.Perempuan yang bernama Eka itu mengatakan, turunnya, harga karet mendorongdirinya bersama para tetangga, bekerja ditempat ini, setelah dari pagi sampai tengah hari, menyadap karet.

“Jadilah, pak, nambah-nambahi duet belanja, kalau pagi menyadap karet dulu kami pak,” kata Eka, asal Desa Lubukraman ini.

Tempat penampungan barang bekas ini berada di atas lahan sekitar dua hektar. Di atas lahan ini, sebagian karung yang berisi air mineral botol dan cangkir ditumpuk rapi. Terlihat jugaplastik air mineral botol dan cangkir yang sudah digiling sedang dijemur.Sebuah bangunan semi permanen, berukuranpanjangsekitar tujuh meter, lebar dua meter,tinggi dua setengah meter, beratap rumbia, bertiang kayu tembesu, menaungi para pekerja“bergulat” dengan cangkir air mineral bekas.

“Dulunya ini kebun karet, tapi karena tidak produktif lagi, dipangkas, dijadikan tempat penampungan barang bekas,” kata Beni, pemilik lahan ini.

Bergerak di bidang usaha barang bekas ini memang menjanjikan.Setiap hari, barang bekasselalu tersedia. Entah itu berasal dari pasar atau pun rumah tangga.Apalagi barang bekas itu berupa plastik. Secara kasat mata, plastik bekasselalu terlihat dalam keseharian.Seolah-olah plastik itu tidak ada gunanya.

Tapi di mata Abi Samran plastik adalah uang yang berserakan.Lalu, dia pun langsung menyingsikan lengan. Bergerak mencari informasilewat internettentang nilai ekonomi plastik bekas.Singkat cerita, dia mendapati nilai ekonomi plastik sangat tinggi.Alhasil, sebuah pabrik pengolahan plastik di Kabupaten Natar, Lampung, sudah menjalin kerjasama dengannya, mensuplaiplastik yang sudah digiling.

“Harga sekarang yang sudah digiling 9.500, per kilogram” kata pria yang akrab disapa Samran ini.

Sadar akan prospek cerah bisnis plastik bekas ini, Samran menyadari dirinya tidak bisa bergerak sendiri. Ia butuh beberapa pekerja yang menyortir, memotong lalu menggerakan mesin giling. Terlebih lagi, dia membutuhkan lapangan yang luas untuk menampung pasokan dari pengumpul barang bekas.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ia ketemu dengan Beni. Temannya ini memiliki lahan yang luas untuk menampung pasokan barang bekasnya.Halaman rumahnyasudah tidak mampu lagi menampung pasokan barang bekas.Di tempat ini, tiap hari terjadi bongkar muat barang bekas yang datang para pengumpul barang bekasdi setiap penjuru Kota Prabumulih.Sedangkan para pekerja penyortirdanpemotong berjumlah dua puluh orang.

“Kumpul semua, darikaum ibu, bapak sampai anak-anak yang bekerja disini,” katanya.

Samran, bukan nama yang asing bagi warga Kota Prabumulih.Bapak tiga anak ini pernah mencalonkan diri sebagai satu Calon Wakil Walikota Prabumulih bersama pasangannya Hidayatillah dari unsur independen. Dewi fortuna belum menyambangi pasangan ini. Mereka hanya menangguk1.078 suara dari jumlah mata pilih sebanyak 125.246 atau sekitar 1,6 persen.

Dia juga aktif di kegiatan-kegiatan organisasi sosial kemasyarakatan dan kepemudaan. Keterlibatannya di organisasi, membawa dirinyasering ikut pertemuan-pertemuan berskala regional dan nasional. Ia juga pernah menjadi kuli tinta untuk media lokal yang terbit di Sumatera Selatan.

Samran lahir dan besar di Kota Prabumulih, 37 tahun lalu. Ia tinggal di Dusun Prabumulih, salah satu dusun tertua di kota ini. Dari tempat inilah, detak kehidupan Samran berdenyut. Bersama sang isteri, ia mulai merintis usaha jual beli barang bekas. Ia memberi persekot beberapa pengecer untuk mencari barang bekas agar bisa dijual kembali kepadanya. Usaha ini berkembang secara pesat. Ia lalu berpikir untuk membuka bank sampah.

“Modalnya pertama kali saya ingat 750 ribu, waktu itu tahun 2003” kata Samran.

Dalam catatannya, dia sudah memiliki nasabah bank sampah duaratus orang. Manajemen bank sampah yang ia kelola tak jauh beda dengan bank sampah di daerah lain. Masyarakat menabung dalam bentuk sampah yang sudah dikelompokkan sesuai jenisnya. Mereka juga mendapatkan sejenis nomor rekening dan buku tabungan. Buku tabungan mereka tertera nilai rupiah dari sampah yang sudah mereka tabung dan memang bisa ditarik dalam bentuk rupiah.

“Saya sering menyebutnya bukan bank sampah, tapi tabungan,” kata Samran.

Matahari tepat di atas kepala. Samran terus berbicara soal sampah. Ia bicara penuh semangat. Tapi dibalik semangatnya, kegelisahan menyelusup di dadanya. Katanya, betapa sulitnya membangun kesadaran masyarakat soal nilai ekonomis sampah.

“Betapa banyak yang bisa diperoleh dari nilai ekonomis sampah, pengganguran terkurangi,kota menjadi bersih, tapi kesadaran warga masih menggangap sampah barang rongsokan, makanya kami jemput bola,” kata Samran.

Kepedulian akan nilai ekonomis sampah, membawa dirinya sering tampil sebagai narasumber di sejumlah sekolah. Ia mengatakan, sekolah- selain rumah tangga-, ujung tombak dari pengelolaan sampah yang baik. Di sekolah, Samran memberikan pengetahuan kepada siswa tata cara pemilahan sampah.

“Gerakan ini harus dimulai dari bawah sampai kepada pimpinan daerah, jika seorang walikota saja memungut sampah untuk dijual, lalu diikuti dinas-dinas, langsung atau pun tidak langsung hal itu akan menjadi contoh bagi masyarakatnya,” ujarnya.

Kini kesibukan Samran kian bertambah. Sejak menjalin kerjasama dengan pabrik pengolahan plastik di Lampung, ia harus tetap telaten mengawasi pekerjanya melakukan penyortiran plastik. Sebab, masih kerap ditemui sampah plastik tercampur dengan bahan lain saat digiling.

“Kita punya satu mesin giling, sehari bisa memproduksi dua ratus kilo,” katanya.

Dalam seminggu, dia mengirimkan plastik giling dalam keadaan kering sekitar tiga sampai enam ton ke Lampung. Dia mempunyai mimpi, ingin mendirikanpabrik plastik di Kota Prabumulih. Dia melihat di kota-kota lain, plastik yang diperoleh dapat diolah kembali menjadi bahan jadi.

“Jadi tidak perlu lagi di bawa keluar kota, seperti di Palembang, plastiksudah menjadi kursi dan lemari plastik, dan itu bisa menekan ongkos transportasi ”kata dia.

Mimpi Samran bukan sesuatu yang mustahil. Ia yakin suatu saat, pabrik itu akan berdiri. Entah oleh dirinya, orang lain atau pun pemerintah. Obsesinya cuma satu, ketika dia tidak lagi berada di dunia, masyarakat tanah kelahirannya ini dapat sejahtera atas keberadaan pabrik tersebut. Itu saja. Yang jelas, Samran telah menyalakan lampu harapan untuk tanah kelahirannya, ketika elit politik menghidupkan api konflik yang membuat rakyat kian bingung(syamsul hidayah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun