Mohon tunggu...
Syamsul Arifin
Syamsul Arifin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Wakil Dekan II Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram

Dosen UIN Mataram

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Digital Intrepreneur Bagian dari Islam

27 Juni 2021   13:41 Diperbarui: 27 Juni 2021   14:11 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terasa ganjil dan aneh  jika dikatakan bahwa Digital Interpreneur bagian dari Islam. Bagaimana mungkin Islam sebagai agama wahyu yang hanya memuat nilai-nilai ideal, absolut dan imanen menempatkan digital interpreneur -- varian bisnis terbaru sebagai dampak dari teknologi informasi dan hanya bergulat dengan dunia materi yang profan -- dapat menjadi bagian darinya. Bukankah digital interpreneur tidak lebih dari sebagai budaya manusia yang didorong oleh semangat survive dan hasrat duniawi, di samping  dalam banyak kasus praktik bisnis online ini justru bertentangan dengan nilai-nilai ideal tersebut, lebih-lebih praktik digital market ini hasil desain kapitalisme radikal yang penuh dengan 'jebakan Batman'.

Sebagai agama wahyu, Islam bersifat apresiatif, responsif, kritik, dialogis, dan dialektis pada dan dengan kehidupan manusia berikut dengan varian budayanya. Dengan semua sifatnya itu, secara substantif memungkinkan bagi Islam menerima berbagai budaya manusia, termasuk digital interprener sebagai bagaian darinya.

Sekurang-kurangnya ada tiga aspek utama yang dapat mengurai begitu dekatnya dengan digital interpreneur -- sebagai model aktual bisnis terkini -- dengan Islam, yaitu  historis, teologis-normatif, dan sosiologis

Dari aspek historis dapat diketahui beberapa banyak generasi Islam awal  menempatkan bisnis sebagai bagian dari kesibukan hidupnya. Rasulullah sendiri sebagai figur sentral dalam Islam sangat dikenal sebagai pelaku bisnis. Beberapa sahabat dekat Rasul, seperti Siti Khadijah, Abu Bakar al-Shiddiq, dan Muawiyah bin Sufyan, termasuk pelaku bisnis papan atas tanah Arab saat itu.

Keberadaan generasi Islam awal sebagai pelaku bisnis tidak dapat dipisahkan  dari status kota Makkah sebagai kota metropolis dan pusat kegiatan bisnis terbesar  di daratan Arab sejak abad ke-5 M. Artinya, kondisi sosial-ekonomi Makkah-lah yang 'mendidik' mereka menjadi pedagang.  

Makkah menjadi centra bisnis bangsa Arab karena didukung oleh empat faktor;(1) secara geografis, Makkah  menjadi jalur lalu lintas para pedagang dari Yaman  menuju Palestina dan Syiria atau sebaliknya, (2) adanya sumur zam-zam, sumber air terbesar se-dunia, menarik para pedagang dari berbagai penjuru Arab untuk tinggal di Makkah, (3) kaum Makkah, khususnya suku Quraisy, suku utama Makkah, terkenal ramah, jujur, dan pemberani sehingga banyak suku Arab lainnya mau menjalin hubungan bisnis dengan mereka, (4) Makkah dinilai sebagai daerah paling aman di dataran Arab setelah raja Abrahah, penguasa dari Yaman sekaligus tokoh paling kuat di Arab ketika itu tewas beserta pasukannya saat mau menghancurkan Ka'bah. Hal ini mendorong suku-suku Arab berani investasi di Makkah.

Sekedar untuk diketahui, sebelum abad ke-5, penduduk Makkah, termasuk suku Quraisy lebih banyak berternak daripada berdagang. Hidup mereka nomaden dan keras. Konflik dan pertikaian antarsuku tak terelakkan akibat peberebutan padang rumput untuk ternak mereka di lahan yang gersang dan tandus. Inilah yang menyebabkan mereka biadab di samping karena ajaran agama pagannya. Namun, seiring dengan berubahnya  mata pencaharian mereka dari ternak ke dagang, kehidupan mereka semakin beradab.

            Di masa Rasulullah (abad ke-6),  Makkah betul-betul sudah menjadi kota dagang. Begitu menghegemoninya bisnis di Makkah, sampai-sampai ada beberapa wahyu yang diterima oleh Nabi menggunakan analog bisnis. Misalnya, Al-Qur'an sebanyak 25 kali menggunakan kata 'isytira'' (membeli) suatu istilah yang biasa digunakan dalam kegiatan transaksi jual-beli, seperti bunyi ayat "Wa la tasytar bi aytin tsamanan qalln". Di samping itu, Al-Qur'an juga menggunakan kata 'tijrah' seperti bunyi ayat di atas.

            Karena bisnis adalah suatu realitas sosial dunia Arab yang tak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak fair dan merugikan orang lain, mengharuskan Al-Qur'an merespon secara kritis segala bentuk bisnis yang ada. Pada tahapan ini, Islam melalui wahyu ilahi dan sabda Nabi merumuskan tata cara bisnis yang elegan, terbuka, dan saling menguntungkan ('an tardlin).  Inilah aspek teologis-normatif bisnis dalam Islam. Kemudian aspek ini dijabarkan oleh ulama fiqh secara khusus dalam ahkm al-buy' (hukum jual beli).

            Respon Islam terhadap bisnis tidak berhenti cukup pada disediakannya aturan dan etika dalam berbisnis. Teologi Islam juga menyediakan piranti lain berupa zakat dari hasil bisnis ('ard al-tijrah) (Q.S. Al-Nr: 37). Tujuannya di samping pembersihan harta, juga untuk pemerataan distribusi ekonomi dan pengendalian syahwat duniawi. Di sini, terlihat dengan jelas perbedaan antara bisnis ala Islam dengan bisnis ala kapitalisme. Aspek teologis-normatif tersebut kemudian menjadi pijakan bagi umat Islam dalam berbisnis.

Dari aspek  sosiologis, bisnis tidak hanya populer di kalangan generasi Islam awal, tetapi terus berlanjut pada generasi-generasi Islam berikutnya sampai pada era post modern ini. Bahkan di era kejayaannya, Islam sempat merajai perdagangan dunia  di jalur segi tiga emas; Arab, China, dan India.           

            Bisnis dengan sifat-sifat dasar yang khas, seperti rasional, aktif, dimanis, terbuka, egaliter, dan demokratis, dimana sifat-siat tersebut menjadi bagian dari Islam, tidak semata-mata  ditempatkan oleh Nabi, para sahabat, dan generasi Islam shalih lainnya sebagai bentuk usaha mencari nafkah, tetapi sekaligus menjadi media dakwah. Bisnis dijadikan sebagai alat bukan tujuan. Efektiftas bisnis sebagai media dakwah dapat dilihat dari membuminya Islam di daratan Asia Tenggara, termasuk Indoensia dengan wajah yang teduh dan toleran.

            Bila bisnis yang dijadikan sebagai tujuan hidup, ia cenderung dijalankan dengan berbagai cara, termasuk cara yang kotor, curang dan menipu.  Cara seperti ini dikutuk oleh Al-Qur'an "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menimbang dan menakar)". (Q.S. Al-Muthaffifin: 1),  Namun, sebaliknya bisnis yang diposisikan sebagai media dakwah tanpa menafikan keuntungan yang wajar akan dipraktikkan sesuai dengan substansi dakwah itu sendiri, setidak-tidaknya bisnis akan dijalankan dengan mengedepankan kejujuran, nilai manfaat, dan keselamatan bagi pelanggan, nasabah atau konsumen.

Mengedepankan prinsip-prinsip tersebut dalam berbisnis tidak sekedar dinilai sebagai sesuatu yang mulia, tetapi sekaligus sebagai langkah strategis dalam mempertahankan dan memperlebar market usaha.  Dengan kata lain, kualitas produk, (barang maupun jasa) dan profesionalitas di bidang produksi dan marketing menjadi garansi bagi keberlangsungan bisnis itu sendiri. Tentu, kualitas produk yang dimaksud bukan unsur disain luarnya saja sebagaimana sudah jamak dalam bisnis kapitalisme, tetapi esensi produk itu sendiri yang menyangkut nilai guna, daya guna, kehalalan, kesehatan, kenyamanan, dan keamanan, sesuatu yang menjadi hak milik konsumen. Inilah prinsip-prinsip dasar bisnis dalam Islam.  

Etos historis, teologis-normatif dan sosiologis bisnis dalam Islam di atas menjadi absah untuk dikontektualisasikan dengan situasi di era digital yang lagi booming saat ini. Tentu, kontektualisasi etos dimaksud saja tidak cukup, menekuni digital interpreneur membutuhkan skill spesifik disamping kemampuan lain dalam bisnis konvensional atau tradisional. Menurut Yuda Pramudyatama (https://whello.id >...>Bisnis) , minimal butuh 7 skill dasar dalam menggeluti bisnis digital yang terdiri dari: 1) Analisa yang bagus; 2) Mengolah dan menvisualisasikan data dengan baik; 3) Technical Skill yang kuat; 4) Membuat jenis Konten; 5) Berkumunikasi dengan baik; 6) Mengikuti perkembangan teknologi, khususnya teknologi informatika; 7) Aktif di Media sosial.     

Dengan tujuh skill di atas, seseorang dapat memilih atau memberi nilai lebih terhadap tipe dasar bisnis digital yang ada. Menurut Allen (2019), ada lima tipe dasar digital interpreneur, yaitu content-Based Business, Community-Based Business, Online Store, Mactmaking Business, dan Promotion Business.

Sebagaimana ditegasi di atas, keabsahan digital interpreneur sebagai bagian dari Islam menyangkut wujud, nilai, misi yang dimuatnya dengan semangat mensyiarkan ideal moral Islam dalam wujud konkrit di dunia nyata-maya. Dengan banyak pilihan tipe dasar jualan online di atas, memungkinkan pelaku bisnis leluasa melambari semua sisi bisnisnya dengan pesan moral Islam sehingga giat bisnis online bernilai plus, disamping mengais rizki halal sebagaimana pesan al-Qur'an (S. Al-Shaff: 10), juga berdakwah.       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun