Bisnis dengan sifat-sifat dasar yang khas, seperti rasional, aktif, dimanis, terbuka, egaliter, dan demokratis, dimana sifat-siat tersebut menjadi bagian dari Islam, tidak semata-mata  ditempatkan oleh Nabi, para sahabat, dan generasi Islam shalih lainnya sebagai bentuk usaha mencari nafkah, tetapi sekaligus menjadi media dakwah. Bisnis dijadikan sebagai alat bukan tujuan. Efektiftas bisnis sebagai media dakwah dapat dilihat dari membuminya Islam di daratan Asia Tenggara, termasuk Indoensia dengan wajah yang teduh dan toleran.
      Bila bisnis yang dijadikan sebagai tujuan hidup, ia cenderung dijalankan dengan berbagai cara, termasuk cara yang kotor, curang dan menipu.  Cara seperti ini dikutuk oleh Al-Qur'an "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam menimbang dan menakar)". (Q.S. Al-Muthaffifin: 1),  Namun, sebaliknya bisnis yang diposisikan sebagai media dakwah tanpa menafikan keuntungan yang wajar akan dipraktikkan sesuai dengan substansi dakwah itu sendiri, setidak-tidaknya bisnis akan dijalankan dengan mengedepankan kejujuran, nilai manfaat, dan keselamatan bagi pelanggan, nasabah atau konsumen.
Mengedepankan prinsip-prinsip tersebut dalam berbisnis tidak sekedar dinilai sebagai sesuatu yang mulia, tetapi sekaligus sebagai langkah strategis dalam mempertahankan dan memperlebar market usaha. Â Dengan kata lain, kualitas produk, (barang maupun jasa) dan profesionalitas di bidang produksi dan marketing menjadi garansi bagi keberlangsungan bisnis itu sendiri. Tentu, kualitas produk yang dimaksud bukan unsur disain luarnya saja sebagaimana sudah jamak dalam bisnis kapitalisme, tetapi esensi produk itu sendiri yang menyangkut nilai guna, daya guna, kehalalan, kesehatan, kenyamanan, dan keamanan, sesuatu yang menjadi hak milik konsumen. Inilah prinsip-prinsip dasar bisnis dalam Islam. Â
Etos historis, teologis-normatif dan sosiologis bisnis dalam Islam di atas menjadi absah untuk dikontektualisasikan dengan situasi di era digital yang lagi booming saat ini. Tentu, kontektualisasi etos dimaksud saja tidak cukup, menekuni digital interpreneur membutuhkan skill spesifik disamping kemampuan lain dalam bisnis konvensional atau tradisional. Menurut Yuda Pramudyatama (https://whello.id >...>Bisnis) , minimal butuh 7 skill dasar dalam menggeluti bisnis digital yang terdiri dari: 1) Analisa yang bagus; 2) Mengolah dan menvisualisasikan data dengan baik; 3) Technical Skill yang kuat; 4) Membuat jenis Konten; 5) Berkumunikasi dengan baik; 6) Mengikuti perkembangan teknologi, khususnya teknologi informatika; 7) Aktif di Media sosial. Â Â Â
Dengan tujuh skill di atas, seseorang dapat memilih atau memberi nilai lebih terhadap tipe dasar bisnis digital yang ada. Menurut Allen (2019), ada lima tipe dasar digital interpreneur, yaitu content-Based Business, Community-Based Business, Online Store, Mactmaking Business, dan Promotion Business.
Sebagaimana ditegasi di atas, keabsahan digital interpreneur sebagai bagian dari Islam menyangkut wujud, nilai, misi yang dimuatnya dengan semangat mensyiarkan ideal moral Islam dalam wujud konkrit di dunia nyata-maya. Dengan banyak pilihan tipe dasar jualan online di atas, memungkinkan pelaku bisnis leluasa melambari semua sisi bisnisnya dengan pesan moral Islam sehingga giat bisnis online bernilai plus, disamping mengais rizki halal sebagaimana pesan al-Qur'an (S. Al-Shaff: 10), juga berdakwah. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H