Sangat tidak memadai jika ia hanya dipahami dalam pespektif teologis, apalagi teologi historis berbau israiliyah (berbau cerita tak berdasar). Di samping itu, kajiannya tidak berhenti hanya menggunakan pendekatan bayani, yang bertumpu pada teks agama  (al-Quran dan Hadits), tetapi cukup menarik bila masuk pada ranah pemahaman, pengamalan dan pengalaman yang kemudian dibedah dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan menyentuh banyak aspek kehidupan terkini.
Tentu, tidak cukup sebatas kajian yang berhenti di ranah kognitif,  pendidikan Lailatur Qadr harus belanjut pada domain psikomotorik dan afektik dengan bobot yang menyamai bobot domain kognitif. Sebagai bagian dari usaha mendapati Malam Keramat itu mislanya, ada praktik shalat  Tahajut, Hajat, Tasbih dan shalat malam lainya, termasuk bagi anak-anak yang dilakukan secara kontinu/istiqamah sehingga menjadi "budaya" positif bagi mereka. Upaya habituasi Qiyam al-Lail bukan langkah yang bersifat mandiri, tetapi hendaknya teintegrasi dengan amaliyah-amaliyah lainnya yang konsisten berada dalam kebenaran dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga terbentuk kepribadian Muslim yang utuh.
Lailatul Qadr Pendidikan
Adalah jelas dan tegas bahwa dalam Islam, semua amaliyah-syari'yah/ritus-ritus agama, termasuk  Lailatur Qadr tidak ditempatkan sebagai tujuan akhir. Semuanya adalah bagian dari rangkaian dan jenjang pendidikan yang harus dilalui oleh setiap Muslim untuk membentuk insan kamil atau manusia paripurna. Oleh karena itu, sangat tidak berdasar atau menyesatkan adanya pandangan atau pemahaman bahwa orang yang berhasil beribadah di Malam Agung tersebut terbebaskan dari beban melakukan kebaikan karena dirinya telah melakukannya untuk kurun waktu 83 tahun, sehingga tidak perlu lagi beramal shalih dan memburu kebaikan lainnya.
Lailatul Qadr tidak seperti pendidikan pada umumnya. Ia termasuk pendidikan tingkat tinggi dalam pengertian spritual. Meskipun dengan perencanaan yang matang, tidak setiap Muslim yang berhajat 'mengikuti'nya mimiliki kesempatan bersua dengannya. Hanya orang-orang yang lulus dalam uji spritual-lah yang berkesempatan mengikuti pendidikan ini. Artinya, ia hanya diikuti oleh individu-individu shalih terpilih dan beruntung.
Setiap Muslim yang mengikuti pendidikan Lailatur Qadr diyakini dapat mengalami penyucian jiwa berawal dari perasaan yang berdosa yang diikuti penyesalan yang penuh kesungguhan. Pengalaman spritual-personal ini juga dapat meningkatkan kualitas keimanan yang berujung pada maksimalisasi kecerdasan spritualnya, sehingga dirinya mampu menyingkap tabir dunia metefisika yang selama ini tertutup. Mata hatinya yang terbuka membuat dirinya mampu melihat kebenaran hakiki dan menyelami makna kehidupan yang sebenarnya. Implikasi berikutnya, ia tata ulang konsep hidupnya dan langkah-langkah menjalaniÂ
Pasca Pendidikan, para "Alumni" Malam Impian tersebut tak menampakkan dirinya sebagai alumni layaknya lulusan pendidikan formal. Mereka tampil sederhana dalam lautan manusia dengan hati yang dibalut rasa rindu pada pengalaman spritualnya yang telah berlalu. Tak ingin jiwa terkotori lagi, mereka terus melakukan kebaikan demi kebaikan dalam ranah sosial dan ritual dengan hati yang penuh rasa tawadlu'dan memandang orang tetap lebih baik dari dirinya. Tutur katanya penuh makna dan sikapnya selalu bijaksana sehingga jadi pesona di lingkungannya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H