Mohon tunggu...
Ollenk Syamsuddin Radjab
Ollenk Syamsuddin Radjab Mohon Tunggu... social worker -

Seorang ayah, pernah aktif di bantuan hukum dan HAM, pemerhati Politik-Hukum Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analisis Kerancuan Permendagri 1/2018

15 Februari 2018   10:30 Diperbarui: 15 Februari 2018   10:41 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal berbeda dengan konsiderans menimbang Permendagri No. 74/2016 yang secara konkrit dan sadar bahwa dalam rangka kewajiban cuti Gubernur petahana diperlukan jaminan keberlangsungan pemerintahan daerah untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur yang ditinggalkan karena melaksanakan kampanye dalam pilkada.

Ketiga, dalam konsideran mengingat, Permendagri yang menekankan tertib administrasi dan kepastian hukum justeru tidak mendasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tertib administrasi sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dimana segala hal ihwal administrasi pemerintahan diatur dalam ketentuan tersebut dan segala perbuatan atau tindakan cuti dan penggantian Pjs Gubernur merupakan tindakan administratif pejabat tata usaha negara. Hal ini menjadi kelemahan mendasar karena UU No. 30/2014 seharusnya menjadi rujukan utama dalam pembentukan Permendagri.

Keempat, masih konsiderans mengingat, Kemendagri menambahkan UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara dalam Permendagri No. 1/2018 yang sebelumnya tidak tercantum. Pada hemat saya, pemuatan UU No. 39/2008 justeru semakin meneguhkan bahwa perluasan norma dari rumusan "Kementerian Dalam Negeri" menjadi "Pemerintah Pusat" semakin tidak relevan karena UU No. 39/2008 pada prinsipnya mengatur bahwa urusan Kemendagri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden, dalam hal ini pemerintahan daerah apalagi Kemendagri merupakan kementerian yang nomenklaturnya diatur dalam UUDN RI 1945 (Pasal 4, Pasal 5 ayat (1) UU No. 39/2008) sehingga urusannya tidak dapat diserahkan ke lembaga lain termasuk ke lembaga Polri/TNI.

Kelima, dalam Pasaal 1 biasanya memuat ketentuan umum yang memuat definisi atau istilah yang sering dipakai dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan. Kita tidak menemukan penjelasan pembentukan atau penambahan norma istilah dari Pelaksana Tugas (Plt) (permendagri No. 74/2016) menjadi Pjs saat ini. Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf q dan Pasal 71 ayat (4) UU Pilkada yang dikenal hanya istilah penjabat tanpa penambahan kata "sementara".

Oleh karena, pejabat Gubernur menjalani cuti diluar tanggungan negara selama masa waktu kampanye sudah bermakna "kesementaraan". Karena hanya bersifat sementara maka pengisian jabatan Gubernur yang ditinggal sementara lebih tepat dengan istilah pelaksana harian atau penjabat harian (Plh). Norma yang dipakai tetap kata "penjabat" sementara kata "harian" lebih bermakna nomina (lama waktu) sebagai pengganti Gubernur definitif.

Baik Plh, Plt dan Pjs tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat startegis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian dan anggaran, kuncinya karena sifat "kesementaraan" itu. Kekacauan (fallacy) soal penggantian Gubernur dalam Pilkada selama masa kampanye karena pembentuk UU (DPR dan Pemerintah) mencampuradukkan jabatan elected official dengan appointed official.

Ditambah dengan keleluasaan Mendagri membentuk, menambah, mengubah atau mengurangi norma peraturan yang bertentangan dengan norma lainnya atau tidak didelegasikan oleh peraturan perundang-undagan diatasnya secara hierarkis. Permendagri No. 1/2018 akhirnya bertentangan dengan SK BKN No. 26/2016, Perkap No. 4/2017, Permendagri No 33/2017, UU Kepolisian, UU TNI, UU Kementerian Negara, UU ASN, dan UU Keuangan Negara.

Dalam kaitan tersebut, asas pembentukan Permendagri No. 1/2018 bertentangan dengan kejelasan tujuan, kesesuaian dengan peraturan lainnya, kejelasan rumusan,  terlebih norma yang diatur justeru membuat ketidaksinkronan dengan peraturan lainnya dan disharmoni antar peraturan perundang-undangan yang mengatur objek norma yang sama serta kekacauan gramatikal.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun