Mohon tunggu...
Ollenk Syamsuddin Radjab
Ollenk Syamsuddin Radjab Mohon Tunggu... social worker -

Seorang ayah, pernah aktif di bantuan hukum dan HAM, pemerhati Politik-Hukum Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analisis Kerancuan Permendagri 1/2018

15 Februari 2018   10:30 Diperbarui: 15 Februari 2018   10:41 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permen bukan hierarki peraturan perundang-undangan, namun demikian keberadaannya tetap diakui sebagai salah satu intrumen hukum untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan diatasnya yang secara jelas mendelegasikannya (pemberian kewenangan mengatur/regeling). Sementara diluar yang bersifat delegatif berupa kebijakan atau kebutuhan kementerian yang menjadi kewenangan menteri diatur dalam bentuk keputusan/penetapan (beschikking).

Permendagri No. 74/2016 yang kemudian diubah menjadi Permendagri No. 1/2018 merupakan delegasi ketentuan Pasal 70 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang mengatur keharusan cuti diluar tanggungan negara bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Walikota bagi petahana selama masa kampanye pada daerah yang sama.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam perancangan Permen adalah asas pembentukan seperti asas kejelasan tujuan, kelembagaan, kesesuaian, dapat dilaksanakan, kedayagunaan atau kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan. Dan tak kalah pentingnya adalah sinkronisasi, harmonisasi, sistematika dan aspek gramatikal dalam penyusunan norma Peraturan Menteri.   

Beberapa Kerancuan

Dari telaah Permendagri No. 1/2018 terdapat beberapa karancuan dalam perancangannya (procedural fallacies) yaitu: Pertama, Permendagri No. 1/2018 berjudul "Cuti Diluar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota" sementara dalam materinya tidak mengatur tentang format dan tata cara pengajuan cuti bagi Gubernur, Bupati/Walikota.

Walaupun format cuti dalam ketentuan Pasal 11 Permendagri No. 74/2016 dinyatakan tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Permen ini. Lampiran menurut ketentuan angka 193 Lampiran I UU No. 12/2011 hanya memuat lampiran berupa uraian, daftar, tabel, gambar, peta dan sketsa untuk menghindari adanya rumusan norma baru atau memperluas norma. Setidaknya, format cuti atau hal yang harus dimuat dinyatakan dalam Pasal pada Batang Tubuh Permendagri No. 1/2018 sebagai bagian dari penyempurnaan Permendagri sebelumnya.

Demikian halnya subyek hukum objek pengaturannya hanya Gubernur, Bupati/Walikota sementara Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Wali Kota tidak diatur baik dalam hal cuti maupun dalam penggantian penjabat sementara apabila maju dalam pilkada dan melaksanakan kampanye.

Kedua, dalam konsiderans rumusan menimbang dan mengingat berbeda: menimbang memuat alasan pembuatan peraturan perundang-undangan sedangkan mengingat memuat dasar hukum kewenangan pembentukan dan peraturan yang memerintahkan pembentukan peraturan.

Jika dibandingkan rumusan konsiderans menimbang Permendagri No. 74/2016 dan Permendagri No. 1/2018, konstruksi argumentasinya sangat berbeda. Permendagri No. 74/2016 lebih rasional dan relevan dengan judul Permendagri yang diatur sementara Permendagri No. 1/2018 lebih pada bangunan persepsi yang bersifat probabiliti, tidak mencerminkan cita hukum sesuai semangat delegatif Pasal 70 ayat (3) huruf a UU Pilkada dan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang seharusnya pemanfaatan fasilitas negara tidak digunakan oleh Gubernur petahana.

Konsiderans menimbang huruf a Permendagri No. 1/2018 lebih menekankan kepada tertib administrasi, kepastian hukum dan stabilitas pemerintahan daerah sementara Permendagri No. 74/2016 lebih konkrit menyatakan bahwa untuk menjamin keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah berdasarkan prinsip negara kesatuan dan kedaulatan negara.

Jika dicermati secara kritis, pertimbangan Permendagri No. 1/2018 titik tekannya di aspek otoritatif Kemendagri dan persepsi lahirnya ancaman atas pelaksanaan Pilkada sehingga pendekatan keamanan dan stabilitas lebih mengemuka. Inilah menjadi ruang pembuka "dibenarkannya" aparat alat-alat kekerasan negara (koersif) seperti polisi dan TNI aktif dibolehkan Pjs Gubernur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun