Disposesi: Perempuan, Perlawanan dan Fatimah az-Azzahra ra.
Wadah eksistensi (industri-libidoksesual) diciptakan kaum kapitalisme global untuk memfasilitasi hasrat manusia/perempuan agar larut dalam ketidaksadaran. Sehingga eksistensi perempuan hanya sebatas egoi/pujian belaka yang jauh dari visi eskatologi atau visi masa depan. Egoisme eksistensi tersebut juga menggeser realitas spritual perempuan.
Â
faktanya perempuan dewasa ini lebih memperbanyak idola-idola baru yang menghatarkan pada kepuasan dan kebebasan. Begitujuga dengan kaum feminis yang tak memiliki idola yang komplesk, mereka hanya memiliki semangat perlawanan yang dilandasi semangat Kebebasan, padahal yang mereka inginkan adalah Keadilan.
Seyogyanya kita harus benar-benar memahami ihwal Keadilan, hak alamiah (fitrah), dan hak asasi manusia yang juga terdapat ketidaksamaan dalam hak-hak tertentu. Karena perempuan dan laki-laki lahir dari hakikat yang sama, maka Prinsip KEADILAN merupakan akar terjeluk dalam teologi (islam).
Bukankah turunan dari Tauhid adalah persamaan dan rasa persaudaraan, bila kita masih saja memisahkan antara keduanya sudah sepatutunya kita pertanyakan kembali ke-Tauhid-an seseorang tersebut.
Â
‘Min akhlaqil anbiya’i hubbun nissa’ Sebagian akhlaq para nabi adalah mencintai perempuan. Kita bisa saja meilhat perlakuan rasul.saw terhadap perempuan/istrinya dan juga anak perempuanya. Kita juga bisa melihat bagaimana Sayyidah Fatimah yang mendapatkan kemulian ilahiah sebagai perempuan penghulu surga.
Kita juga bisa milihat fakta sejarah atas sikap perlawanan atas ketidakadilan yang menimpanya. Kita juga bisa melihat spirit spritualitasnya. Ia juga sebagai penghubung (disposesi) antara kota Ilmu (Muhammad,saw) dan gerbang ilmu (Saydina Ali,as).
Dalam prinsip teori Disposesi adalah sebuah konsep dan realitas yang terpahami eksistensiya sebagai sesuatu yang tidak terpisah hubungannya dengan realitas alam. Begitu pun Sayyidah Fatimah az-Zahra ra adalah realitas keadilan, yang dapat dikonsepsi. Dan sebagai landasan objektif bagi perempuan (spritualitas dan perlawanan). Ia, mengecam para pemimpin masyarakat seraya mengingatkan pada mereka atas tanggung jawab dan menunaikan tugas-tugasnya sebagai bentuk tanggungjawab ilahiah.
Â