"Kampung halaman" bagi saya adalah frasa yang setiap kali terbaca, terdengar, terucap, atau terlintas di benak maka memori ingatan segera mengelana melintasi jarak berribu kilo meter ke satu tempat yang disebut kampung halaman.
Kampung halaman saya berjarak  puluhan ribuan kilo meter dari tempat merantau saat ini. Jika ditempuh dengan perjalanan udara dari Bandar Udara Soekarno Hatta sekira 3-3,5 jam perjalanan. Tergantung mendarat di bandara apa.
Jika mendarat di Bandar Udara Sugi Manuru dan transit di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar sekira 3-3,5 jam. Dari lapangan udara ke rumah dapat ditempuh sekira 45 menit.
Namun kalau mendarat di bandar udara kabupaten tetangga atau ibu kota provinsi dipastikan jarak tempuh menjadi lebih jauh. Karena setelah turun dari Pesawat harus menyeberang pulau lagi untuk sampai ke rumah.
Sementara perjalanan dengan kapal laut jauh lebih lama. Dari Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta harus transit Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar dengan waktu perjalanan  4 hari.
Bagi saya merantau bukan sekadar pilihan hidup, tapi takdirhidup yang harus dijalani. Sampai saat ini tanpa terasa sudah sekitar 25 tahun tinggal di perantauan. Â Walau semenjak SMP mulai keluar kampung/desa untuk lanjut sekolah. Namun belu terhitung sebagai perantauan karena belum keluar daerah dan tidak keluar pulau.
25 tahun di perantaun bukan sesuatu yang singkat. Semenjak merantau demi studi mencari ilmu. Sampai menikah di perantauan dan menjalani hidup di perantauan.dan semenjak pertama kali berada di tanah rantau kerinduan pada kampung halaman menjadi sesuatu yang selalu bersemayam dan ingatan. Bahkan ingatan dan rindu pada kampung halaman terukir indah dalam memori alam bwah sadar.
Bagi kami orang Muna kampung halaman disebut dengan ungkapan ''kalembohano reaku". Frasa kalembo hano reaku kurang lebih bersinonim dengan kalimat tanah tumpah darahku dalam bahasa Indonesia. Tapi bagi saya ungkapan kalembo hano reaku terasa lebih membuat diri ini benar-benar terikat dan terkait dengan yang namanya kampung halaman.
Apa yang Dirindukan dari Kampung Halaman?
Bagi saya yang dirindukan dari kampung halaman adalah kampung halaman itu sendiri. Karena bagi saya semua hal yang terkait dengan kampung halaman itu memang ngangenin. Mulai dari keluarga besar, teman sepantaran dan sepejuangan, lingkungan, kegiatan masjid, dan sebagainya.
Namun pada momen dan suasan lebaran seperti saat ini yang paling dirindukan adalah suasana lebaran di kampung halaman. Dan yang paling dirindukan dari suasan lebaran di kampung halaman adalah masakan ibu. Walau masakan ibu setiap saat tetap dirindukan. Karena bagi saya masakan ibu adalah masakah ternikmat yang pernah saya santap. Lebih nikmat dari masakan chef kenamaan.
Bagi orang Muna diantara  tradisi yang menyertai perayaan hari raya Idul Fitri adalah Haroa. Haroa adalah selamatan khas suku Muna Buton berupa ritual doa bersama disertai makan-makan dengan menu tertentu. Nah, masakan ibu yang selalu ngangenin di hari lebaran yang saya maksud di atas adalah masakan menu haroa ini. Menu acara haroa biasanya masakan yang tidak ada atau jarang di hari-hari lain.Â
Salah satu makanan menu haroa masakan mama yang selau ngangenin adalah lapa-lapa. Yaitu makanan olahan beras diberi santan kemudian dibungkus daun janur. Mirip seperti buras di daerah Sulawesi Slatan dan atau daerah lainnya di Sulawesi. Proses pembuatanya cukup rumit karena melalui proses yang tidak hanya satu dua tahap. Tapi ibu seingat saya selalu membuatnya dengan baik dan nikmat. Ketika kami mulai beranjak remaja kami mulai ikutan membantu.
Nah ikut serta membantu ibu membuat lapa-lapa juga termasuk aktivitas yang dirindukan dari kampung halaman. Seperti menyiapkan santan kelapa misalnya. Di masa kecil kamu dulu jasa parut kelapa belum sesemarak hari-hari ini. Bahkan kini santan kelapa tersedia dalam bentuk kamasan.
Di masa kanak-kanak setiap jelang lebaran dua tiga hari sebelumnya salah satu rutinitas kami anak laki laki adalah ''manjat kelapa" untuk memetik kelapa tua, kemudian buka sabuk kelapa, kupas batok kelapa. Jika sudah maulai masak-masak maka kebagian tugas parut kelapa, buat santan , dll.
Aktivitas lain yang juga ngangenin dalam membantu ibu membuat masakan lebaran, khususnya lapa-lapa adalah mengikat lapa-lapa. Sebenarnya mengikat lapa-lapa dan atau buras umumnya merupakan pekerjaaan anak gadis. Namun karena kami 4 bersaudara hanya satu perempuan dan paling bontot, maka hampir semua pekerjaan rumah yang lazimnya dikerjakan oleh anak putri dilakukan oleh kami. Apalagi adik perempuan paling bontot lahir dengan jarak yang cukup jauh dengan anak ketiga.
Ketika lebaran seperti ini yang terkenang indah dan dirindukan dari kampung halaman bukan sekedar menikmati masakan ibu di hari lebaran. Tapi ikut membantu ibu menyiapakan masakam lebaran.
Satu lagi yang selalu terkenang, yaitu masuk hutan mencari kayu bakar. Mungkin karena kegiatan masak memasak pada hari-hari lebaran meningkat pesat makan dibutuhkan kayu bakar dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya.
Kebetulan di kampung saya masih tergantung pada kayu bakar untuk keperluan memasak. Apalagi masaakan tertentu memang lebih lezat jika dimasak dengan menggunakan kayu bakar.
Nah mencari dan memanggul kayu bakar untuk keperluan memasak makanan lebaran di hari raya juga menjadi kenangan indah yang tak terlupakan dari kampung halaman. Kebiasaan ini sudah mulai jarang dilakukan. Tapi bagi saya suasans ini termasuk sesuatu yang dirindukan dari kampung halaman.
Lebaran kali ini karena satu dan banyak saya tidak mudik, dan kerinduan pada kampung halaman terasa begitu berat. Apa yang dirindukan. Ya kampung halamannya. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H