Mohon tunggu...
syam surya
syam surya Mohon Tunggu... Dosen - Berpikir Merdeka, Kata Sederhana, Langkah Nyata, Hidup Bermakna Bagi Sesama

Pengajar dan Peneliti ; Multidicipliner, Humaniora. Behaviour Economics , Digital intelligence

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Stop Sharing Foto Anak, Lindungi Mereka dari Sexty dan Kekerasan Sexual Digital Lainnya

28 Juli 2020   10:33 Diperbarui: 28 Juli 2020   10:34 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Covid 19, membuat pilihan sulit -- Keluar terancam virus namun di rumah dalam rangka PSBB bukan berarti aman. Terutama anak-anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan beraktivitas secara Online,ini  membuka risiko bagi anak-anak terpapar risiko digital, antara lain kekerasan sexual digital.

Data sudah bicara, Di Eropa -- laporan Euro.com melaporkan terjadinya peningkatan kekerasan sexual pada anak-anak selama pandemi, ini menyebabkan volume konten digital yang diproduksi meningkat secara eksponensial, dan membuatnya lebih sulit untuk dipilih dan diteliti. 

Internet Watch Foundation, sebuah badan amal Inggris yang mengidentifikasi konten pelecehan seksual anak Online, juga harus beroperasi pada kapasitas yang berkurang dan telah memperingatkan bahwa jumlah gambar pelecehan seksual anak yang dihapus secara global telah turun 89% selama pandemi. 

Memanfaatkan kelemahan ini, distributor materi eksploitasi seksual anak menjadi berani dan menargetkan platform utama untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. , Polisi Federal Australia mengumumkan telah merusak jaringan pelaku pelecehan seksual anak, peringatan eksploitasi anak di Australia menjadi lebih produktif ... jenis pelanggaran ini menjadi lebih keras dan kurang ajar. 

Juga di Amerika. Lalu bagaimana di Indonesia ? lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga mencatat peningkatan aduan secara Online kekerasan selama pandemi. Sejak 16 Maret sampai 16 April 2020, lembaga ini menerima 97 aduan yang terdiri dari kekerasan verbal, fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. KDRT menduduki peringkat satu jumlah aduan terbanyak, yaitu 33 kasus, disusul oleh KBGO dengan jumlah 30 kasus. 

Dalam rilis pers LBH APIK yang diluncurkan 21 April lalu, bentuk KBGO yang dilaporkan kepada mereka berupa pelecehan seksual secara Online, ancaman penyebaran konten intim dengan motif eksploitasi seksual, hingga pemerasan. (https://magdalene.co/story/tak-cuma-kdrt-kekerasan-seksual-online-turut-naik-selama-pandemi).

Lalu kenapa saat Pandemi Bisa meningkat ?

Mengacu kepada hasil Peneliti PBB Norway. Livingstone dan Haddon (2016) bahwa terdapat tiga sumber risiko untuk anak-anak di Internet, beberapa atau semuanya dapat mengakibatkan kekerasan seksual dalam satu atau lain jenis, yaitu Koten, Kontak Dan Perilaku , maka dapat diidentifikasi bahwa selama pandemi Covid 19 ini :

Pertama : Jumlah Konten dan Akses Ke Konten Yang Meningkat.

Jumlah waktu Internet seorang anak, meningkat pesat -- selain studi saat Belajar dari rumah, anak-anak mereka memiliki banyak waktu untuk memperbanyak konten sendiri dan berkesempatan melihat banyak konten. Disisi lain, dari laporan Internet Watch Foundation, mengungkap bahwa COVID-19 menciptakan tantangan lain untuk menjaga ketertiban di internet, ini disebabkan perusahaan teknologi seperti Facebook dan Youtube telah mengirim pulang moderator konten dan lebih mengandalkan sistem otomatis yang kurang akurat daripada pengulas manusia dalam mengenali materi ilegal. 

Dampaknya ?  Anak-anak memiliki peluang untuk mengakses konten yang kurang baik. Hasil Penelitian tentang Kekerasan Seksual Anak Terhadap Anak. Penelitian ini dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Yogyakarta (B2P3KS) bekerja sama dengan End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, menunjukkan bahwa salah satu faktor yang paling berpengaruh pada peningkatan tidak kekerasan seksual pada anak adalah konten pornografi. 43%  anak-anak sudah kecanduan hal-hal porno. 

Kecanggihan dan kian murahnya beragam gadget dan meningkatnya waktu penggunaan Online membuat anak-anak mudah menerima dan melihat dalam waktu yang lama terkait pornografi, Tidak jarang mereka mempertukarkan foto atau alamat situs dan membuat para remaja dan anak "terjangkit " kecanduan parah dan ini merupakan pemicu kekerasan seksual karena mereka kurang bisa mengendalikan hasratnya.

Kedua : Jumlah Kontak Yang Meningkat

Kategori "kontak" berhubungan dengan keprihatinan tentang cara penggunaannya Internet yang membuka peluang anak terpapar dan terhubung dengan orang yang tidak dikenal yang merupakan predator seksual. Adalah sifat anonimitas dari digital, juga memperparah terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak.  Selain itu dalam katagori kontak adalah adalah pengaruh teman dan pergaulan . 

Ini menunjukkan angka  33%.  Dunia digital dengan "echochamber: nya akan mengelompokkan setiap orang yang hobinya sama. Jadi bila anak-anak sudah mulai "suka" dalam menonton  video atau foto yang tidak senonoh, maka akan mudah menemukan banyak teman yang memiliki kesukaan yang sama. Ini juga membuka peluang kemudahan mendapat konten dana langsung mempertukarkan di ruang privat chat (Line atau W/A) tanpa terdeteksi orang tua.

Ketiga : Perilaku Buruk Digital

Studi Livingstone dan Haddon, mengemukana bahwa ada banyak perilaku buruk dan tidak hati hati yang dilakukan anak anak (juga orang tua ) saat berselancar di dunia digital. 

Pengambilan Foto teman lalu menjadikan bahan awal untuk saling ejek kemudian intimidasi atau pelecehan terhadap anak-anak lain, bahkan beberapa di antaranya mungkin memiliki komponen kekerasan seksual yang nyata, seperti membuat anak lain mengambil gambar seksual dari diri mereka sendiri atau teman mereka, yang kemudian diedarkan di sekolah atau diposting di situs web untuk dilihat semua orang. 

Ada juga karena dendam putus cinta dengan temannya, salah satu pasangan, biasanya karena marah atau diutus melakukan tindakan memposting foto-foto mantan rekan mereka yang tidak pantas situs web publik atau semi-publik.

Keinginan anak anak ingin selalu Populer dan Over Diri, dengan secara berlebihan memposting foto-foto diri anak -anak atau remaja yang sedang tidak berpakaian yang wajar, Juga tidak disadari, banyak orang tua yang memposting foto anak-anak mereka saat di kolam renang atau mempamerkan kecantikannya, beberapa hal disebabkan karena adanya Kesalahan Pemahaman Tentang "Seks Yang Aman". Banyak remaja dan remaja melihat seks sebagai alternatif yang 'lebih aman' dan  kesenangan tanpa risiko.

Dengan ke tiga hal di atas semakin semakin terbuka dalam terpapar virus risiko kekerasan seksual digital. Disatu sisi banyak orang tua tidak menyadari risiko pelecehan seksual Online. Terlebih para orang tua pun disibukkan dengan beban lain : karena semua keluarga di rumah dan harus diperhatikan. Sementara anak-anak biasanya beraktivitas di Sekolah, maka perilaku cara Online anak-anak jarang ter perhatikan kebiasannya.

Dengan demikian terbukalah teori aktivitas rutin (RAT), seperti yang disampaikan 2 peneliti PBB yaitu Lawrence Cohen dan Mark Felson (1979) yang menyampaikan bahwa teori ini adalah strategi dalam melakukan pencegahan kekerasan seksual pada anak.

Dasar teori RAT  adalah bahwa kejahatan digital  terjadi ketika dua elemen hadir -- (1) pelaku yang termotivasi dengan target yang sesuai dan (2) Ke tidak adaan "wali" pelindung anak. Seperti disebut dimuka, di era pandemi banyak anak memperbanyak konten baik terutama foto diri dan aktivitasnya, dan waktu anak yang lebih lama di Dunia Maya membuka peluang pelaku termotivasi karena "target pasar meningkat". Di satu sisi, Wali Pengawal Anak (Orang Tua, pekerja Security Konten di Perusahaan Aplikasi, Pemerintah berkonsentrasi pada pandemi) Maka Perlindungan diri anak-anak dari kekerasan semakin terbuka.

 Catherine De Bolle, kepala lembaga penegak hukum Eropa Europol. Dalam sebuah wawancara dengan FRANCE 24, dia menjelaskan bahwa dengan jutaan anak di rumah, banyak yang tidak diawasi, menggunakan perangkat lunak yang sudah ketinggalan zaman dan tidak diamankan dengan baik yang membuat mereka berisiko lebih besar dari eksploitasi.

"Anda harus waspada, ketika anak Anda menggunakan internet, anak tersebut memiliki akses ke dunia - tetapi juga dunia memiliki akses ke anak Anda. Anda harus menyadari hal ini, dan Anda harus melindungi anak Anda dalam situasi seperti ini."

Lalu Jenis kekerasan sexual apa yang menunjukkan peningkatan kepada anak-anak ?

Pertama : Sexting, 

Ini adalah pelecehan seksual berbasis gambar (foto/video) antara lain gambar telanjang atau hampir telanjang yang dibagikan tanpa izin pemilik (Lenhart, Ybarra dan Price-Feeney, 2016). Ini bisa dalam bentuk pelecehan antar rekan, seperti di mana pelakunya adalah teman atau kenalan orang yang ditargetkan, dan dalam konteks mitra hubungan intim, atau mantan mitra hubungan intim. Beberapa "penelitian telah menunjukkan bahwa anak perempuan merasa lebih sering ditekan atau dipaksa daripada anak laki-laki" (Interagency Working Group, 2016, hal. 44).

Kedua : Sex Grooming 

Groominng adalah sebuah proses untuk menjalin atau membangun sebuah hubungan dengan seorang anak melalui penggunaan internet atau teknologi digital lain dengan maksud untuk memancing, memanipulasi, atau menghasut anak agar anak bersedia melakukan kegiatan seksual. Contohnya, melalui bujuk rayu.

Anak-anak dibujuk rayu atau di ajak melakukan aktivitas  seksual baik dengan iming -- iming hadiah atau bujuk rayu. Jadi ini adalah praktik orang dewasa 'berteman' dengan anak dengan niat untuk melakukan pelecehan seksual "(Interagency Working Group, 2016, h. 49). Penelitian dan data yang tersedia menunjukkan bahwa perawatan didominasi oleh laki-laki; pada tingkat yang lebih rendah, perempuan meminta anak-anak untuk tujuan seksual dan / atau merawat mereka (Altamura, 2017). Sedangkan korban tidak terbatas pada Gender, dan data di Indonesia menunjukkan meningkat pada anak laki-laki.

Yang membahayakan adalah : Pelaku Grooming sangat bersabar. Biasanya pakai account palsu atau anonim. Proses "grooming" berlangsung secara bertahap, dimulai dengan pemilihan korban (Winters dan Jeglic, 2017). Lalu anak anak diajak berpartisipasi dalam beragam platform media sosial dan aplikasi Online untuk mendapatkan akses ke akun anak-anak. 

Pelaku memilih korban berdasarkan " daya tarik" korban (ditentukan oleh keinginan pelaku), "kemudahan akses" (misalnya, berdasarkan apakah pengaturan privasi di situs web, platform, dan aplikasi yang digunakan anak-anak dinonaktifkan atau tidak memadai. set), dan / atau "kerentanan". 

Setelah pemilihan korban, pelaku menghubungi korban untuk mendapatkan akses kepadanya Pelaku kemudian berupaya menjalin persahabatan dengan korban. Pelaku dapat memperoleh informasi tentang korban dari sumber daring dan menggunakan informasi ini untuk menipu korban dengan, misalnya, berpura-pura memiliki minat dan hobi yang sama dan keluarga serta situasi sosial yang serupa, untuk berhubungan dengan korban, membangun hubungan, dan membangun kepercayaan. 

Inilah tujuan pertama pelaku. Setelah itu pelaku akan melihat risiko, sebelum eksploitasi atau pelecehan seksual dilakukan, (misalnya, bertanya kepada korban apakah orang tua atau orang lain memantau akun anak-anak), setelah itu melakukan eksklusivitas hubungan dan kebutuhan kerahasiaan, dan mengisolasi anak (O'Connell, 2003; Aitken, Gaskell, dan Hodkinson, 2018).Penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan Online tidak terjadi melalui proses linear akan tetapi itu terjadi melalui proses dinamis yang didorong oleh motivasi dan kemampuan pelaku dan kemampuan pelaku untuk memanipulasi dan mengendalikan korban (Aitken, Gaskell, dan Hodkinson, 2018). 

Tujuan akhir dari perawatan Online adalah untuk mengeksploitasi atau melecehkan korban secara seksual (misalnya, dengan memanipulasi atau memaksa korban untuk mengambil gambar atau video yang eksplisit secara seksual dan mengirimkannya ke pelaku) atau offline (misalnya, dengan bertemu dengan korban secara langsung) untuk pelecehan seksual padanya).

Ketiga : Sex Streaming

Sex Streaming adalah penyiaran langsung pelecehan seksual anak kepada orang-orang. Streaming langsung pelecehan seksual anak sering melibatkan transmisi lintas batas nasional melalui internet, penting untuk dicatat bahwa beberapa negara telah melaporkan contoh streaming langsung domestik pelecehan seksual anak (Europol, 2018, hlm. 35; Promchertchoo, 2018a). Streaming langsung pelecehan seksual anak juga terjadi di ruang obrolan Online, platform media sosial, dan aplikasi komunikasi. Pemirsa pelecehan seksual anak streaming langsung dapat bersifat pasif (yaitu, membayar untuk menonton) atau aktif dengan berkomunikasi dengan anak, pelaku pelecehan seksual, dan / atau fasilitator pelecehan seksual anak dan meminta tindakan fisik tertentu (misalnya tersedak) dan / atau tindakan seksual yang harus dilakukan pada dan / atau dilakukan oleh anak. 

Keempat : Sexty Roasting

Orang dewasa dan anak-anak dengan suka rela memposting gambar dan / atau video diri mereka di media sosial dalam platform berbagi video, seperti Instagram, Twitter, YouTube, dan Vine dengan tagar (#roastme), Tindakan ini kemudian mengundang orang lain untuk memposting penghinaan tentang mereka (Kent, 2017). 

Dalam beberapa kasus, Roasting adalah bagian dari Sextyng dengan membombardir para korban dengan komentar, gambar, video Online yang kasar, sampai para korban tidak dapat mengambil reaksi atas pelecehan yang sedang dilakukan, dan merasakan bahwa hal itu kesalahan sendiri.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan untuk mencegah hal tersebut di atas :

Pertama Stop Sharing Foto Anak .

Ini akan membantu mengurangi jumlah Konten yang sudah beredar di dunia maya. Dengan kecanggihan para predator, foto anak-anak kita yang cantik/ganteng dapat masuk dalam Materi Pelecehan Digital Anak. Ini juga menutup celah predator menguntit anak-anak kita. 

Data The New York Times baru-baru ini melaporkan bahwa lebih dari 45 juta contoh materi pelecehan seksual anak ada dalam platform mereka baik platform Game atau paltforma media sosial lainnya. Beberapa materi tersebut pelecehan seksual Online juga dilakukan oleh remaja lain di bawah usia 18 tahun, menciptakan dan berbagi gambar seksual dirinya atau teman-temannya. 

Penelitian Internet Watch di Australia, menunjukkan bahwa 16% anak-anak Australia umur antara 10 dan 19 menerima "sexts" - teks atau gambar yang secara seksual eksplisit atau seksual melalui telepon atau internet - dan 10% mengirimkannya. Beberapa diantara nya berbagi gambar umumnya tidak kasar. 

Namun, apa pun berbagi konten seksual merupakan penyalahgunaan. Sebuah survei tahun 2018 terhadap lebih dari 2.000 anak di Inggris menemukan satu dari tujuh anak telah diminta untuk mengirim informasi seksual. Dan satu dari 25 anak sekolah dasar (yang kira-kira satu di setiap kelas) telah dikirim atau ditampilkan gambar atau video telanjang atau setengah telanjang oleh orang dewasa.

Oleh karena itu harus berhati -- hati dengan foto anak-anak kita. Dan tidak ada batas Gender -- Penelitian SEKOLAH menunjukkan bahwa kekerasan sexual pada anak-anak justru dialami oleh anak-anak laki-laki. Beberapa tindakan berikut bisa dilakukan:

  • Orang tua dan anak anak harus memastikan saat berbagi foto mereka tidak disalahgunakan. Dalam beberapa kasus, anak-anak sering diminta untuk mengirim konten seksual, oleh seseorang temannya yang tidak orang tua kenal . Ini bisa merupakan pelaku "sextortion" (memaksa atau memanipulasi anak-anak untuk mendapatkan keuntungan seksual), dan melihat, membuat atau berbagi materi eksploitasi / pelecehan anak (kadang-kadang disebut secara tidak tepat sebagai "pornografi anak").
  • Bicaralah dengan remaja tentang berbagi gambar yang aman. Ini termasuk risiko yang terkait dengan berbagi foto diri mereka dalam pose provokatif atau pakaian terbuka. Percakapan ini harus dimulai sejak dini dan menjadi lebih berkembang ketika anak Anda tumbuh dewasa. Banyak materi eksploitasi anak diambil oleh remaja atau oleh orang-orang yang dikenal anak-anak kemudian dibagikan lebih luas.
  • Bicarakan dengan anak-anak Anda tentang bagaimana menanggapi sindiran seksual. Mulailah dengan meminta anak-anak untuk contoh sindiran seksual dan jenis hal yang mungkin dikatakan orang secara Online. Kemudian bertukar pikiran tentang cara-cara terbaik untuk merespons. Misalnya, remaja dapat menarik diri dari percakapan atau memblokir kenalan. Atau ucapkan sesuatu seperti "Saya tidak suka obrolan seperti itu" atau katakan "Tidak, terima kasih, tidak tertarik" dengan undangan atau permintaan apa pun.
  • Bicaralah dengan remaja tentang keamanan Online. Ini termasuk membatasi siapa yang dapat melihat atau membagikan ulang pos. Anda mungkin perlu meningkatkan kualitas diri Anda terlebih dahulu.
  • Pantau anak saat menggunakan internet; tempatkan perangkat elektronik yang digunakan ditempat yang mudah diawasi.
  • Tinjau permainan dan aplikasi sebelum diunduh. Dan pastikan pengaturan sistem privasi perangkat elektronik dan permainan Online telah diatur seketat mungkin.
  • Periksa profil anak Anda dan apa yang mereka share/post secara Online.
  • Jelaskan kepada anak Anda bahwa gambar yang di share/post online adalah bersifat permanen dan meninggalkan jejak digital

Kedua Perhatikan Kontak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang melakukan pelecehan sexual kemungkinannya mereka memiliki akses yang mudah ke anak-anak . 

Predator masuk ke ruang obrolan dan sesi permainan video dan sering berpura-pura sebagai anak di bawah umur, memulai percakapan yang tidak berbahaya. Interaksi ini meningkat menjadi orang dewasa yang menekan anak-anak untuk mengirimi mereka foto atau video yang eksplisit secara seksual (kadang-kadang menggunakan suap keuangan; hadiah, kadang-kadang mengeksploitasi kerentanan di sekitar harga diri). 

Para predator kemudian menggunakan gambar-gambar seperti pemerasan untuk memaksa korban mereka mengirimi mereka materi yang lebih eksplisit secara seksual dan menjaga kerahasiaan penyalahgunaan. 

Mereka mungkin mengancam untuk mengirim gambar ke orang tua anak-anak jika mereka tidak memberikan gambar yang semakin menarik. Oleh karenanya beberapa tindakan berikut  dapat dilakukan :

  • Ketahui apa yang sedang dilakukan anak secara Online. Pantau perilaku Online mereka, daripada hanya mengandalkan kontrol perangkat lunak, yang kurang efektif.
  • Tertarik dengan kehidupan Online anak-anak Anda dan kenal teman-teman Online mereka. Lakukan ini secara rutin, sama seperti yang Anda lakukan dengan teman-teman di kehidupan nyata. Perhatikan perubahan atau teman istimewa. Terus perbincangan ini. Dengarkan pengalaman mereka.
  • Diskusikan dengan anak anak siap-siapa yang menjadi teman baru digital mereka. Minta mereka menceritakan teman baru tersebut dan apa yang dilakukan dengan teman baru tersebut. Apabila ada ajakan bertemu usahakan menemani.
  • Simpan komputer di area umum. Pastikan penggunaan komputer mereka terjadi di area umum di rumah dan batasi akses anak-anak ke ponsel di malam hari. Jika memungkinkan, lakukan ini sejak usia dini dan buatlah itu rutin, sehingga remaja tidak menerima pesan yang tidak Anda percayai mereka.
  • Terlibat dalam kehidupan anak. Terlibat aktif dalam kehidupan anak dapat membuat tanda-tanda peringatan pelecehan seksual anak lebih jelas dan membantu anak merasa lebih nyaman datang kepada Anda jika ada sesuatu yang tidak beres. Jika Anda melihat atau mendengar sesuatu yang menimbulkan kekhawatiran, Anda dapat mengambil tindakan untuk melindungi anak Anda.
  • Tunjukkan minat pada kehidupan sehari-hari mereka. Tanyakan kepada mereka apa yang mereka lakukan pada siang hari dan dengan siapa mereka melakukannya. Dengan siapa mereka duduk saat makan siang? Games apa yang mereka mainkan setelah sekolah? Apakah mereka menikmati diri mereka sendiri
  • Kenali orang-orang dalam kehidupan anak Anda. Ketahui dengan siapa anak Anda menghabiskan waktu, termasuk anak-anak dan orang dewasa lainnya. Tanyakan kepada anak Anda tentang anak-anak yang bersekolah, orang tua dari teman-teman mereka, dan orang lain yang mungkin mereka temui, seperti rekan satu tim atau pelatih. Bicarakan tentang orang-orang ini secara terbuka dan ajukan pertanyaan agar anak Anda dapat merasa nyaman melakukan hal yang sama.
  • Pilih pengasuh dengan hati-hati. Apakah itu pengasuh anak, sekolah baru, atau kegiatan sekolah setelah sekolah, rajin menyaring pengasuh untuk anak Anda.
  • Ketahui tanda-tanda peringatan. Kenali tanda-tanda peringatan pelecehan seksual anak, dan perhatikan setiap perubahan dengan anak Anda, tidak peduli seberapa kecil. Apakah itu terjadi pada anak Anda atau anak yang Anda kenal, Anda memiliki potensi untuk membuat perbedaan besar dalam kehidupan orang itu dengan ikut campur.
  • Dorong anak-anak untuk berbicara. Ketika seseorang tahu bahwa suara mereka akan didengar dan ditanggapi dengan serius, itu memberi mereka keberanian untuk berbicara ketika ada sesuatu yang tidak beres. Anda dapat mulai melakukan percakapan ini dengan anak-anak Anda segera setelah mereka mulai menggunakan kata-kata untuk berbicara tentang perasaan atau emosi. Jangan khawatir jika Anda belum memulai percakapan seputar topik ini dengan anak Anda --- tidak pernah ada kata terlambat.
  • Ajari anak Anda tentang batasan. Biarkan anak Anda tahu bahwa tidak ada yang punya hak untuk menyentuh mereka atau membuat mereka merasa tidak nyaman - ini termasuk pelukan dari kakek nenek atau bahkan gelitik dari ibu atau ayah. Penting untuk memberi tahu anak Anda bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Sama pentingnya, ingatkan anak Anda bahwa mereka tidak memiliki hak untuk menyentuh orang lain jika orang itu tidak ingin disentuh.
  • Dorong anak untuk berkomunikasi secara terbuka dengan Anda.
  • Diskusi terbuka tentang Risiko kekerasan Seksual di dunia Digital. Rasa malu di sekitar seks, sering dieksploitasi oleh predator, sehingga anak-anak sering merahasiakan interaksi mereka dengan pelaku pelecehan sampai mereka meningkat di luar kendali. Budaya masyarakat di mana seks sering dianggap buruk atau memalukan membuat Anak-anak tidak ingin membicarakannya dengan orang tua mereka. Oleh karenanya jika ada yang telah mengambil gambar seksual seorang anak, korban kemungkinan ngeri bahwa orang tua mereka akan melihat materi ini. Ketakutan akan rasa malu seksual bisa melumpuhkan, dan mencegah pelaporan. Anak-anak sering tidak menyadari bahwa mereka adalah korban dalam situasi ini. Bahkan ketika mereka melakukannya, mereka masih takut orang lain akan berpikir secara berbeda, atau buruk, tentang mereka karena mereka terlibat dalam sesuatu yang seksual. Jadi mereka tetap diam. Dapat dikatakan bahwa hal terpenting yang dapat dilakukan orang tua adalah berbicara dengan anak-anak mereka secara terbuka tentang risiko-risiko ini dan memerangi rasa malu. Rasa malu adalah faktor berbahaya di sini dan dapat menyebabkan anak-anak menyembunyikan interaksi Online berisiko saat mereka meningkat. Malu juga tumbuh subur dalam kesunyian. Beri tahu anak-anak Anda bahwa mereka dapat berbicara kepada Anda tentang seks dan bahwa Anda tidak akan berpikir secara berbeda atau buruk tentang mereka karena itu. Ingatkan mereka bahwa Anda mencintai mereka apa pun yang terjadi. Jelaskan bahwa jika orang dewasa melakukan hubungan seksual dengan mereka, ini bukan kesalahan mereka, dan mereka harus memberi tahu Anda.

Meningkatkan Peran Sekolah

Tiga strategi utama berikut ini dapat diterapkan di sekolah dan menjadi bagian dari INSPIRE paket yang menguraikan tujuh strategi untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak-anak (INSPIRE; WHO, 2016a), dan yang diluncurkan secara global:

Kembangkan keterampilan hidup

Ini adalah keterampilan kognitif, sosial dan emosional yang digunakan untuk mengatasi kehidupan sehari-hari. Mereka termasuk: pemecahan masalah, pemikiran kritis, komunikasi, pengambilan keputusan, berpikir kreatif, keterampilan berhubungan, membangun kesadaran diri, empati, dan mengatasi dengan stres dan emosi (WHO, 2015). 

Keterampilan ini memungkinkan anak untuk mengelola emosi, berurusan dengan konflik dan berkomunikasi secara efektif dengan cara yang tidak agresif, mengurangi risiko perilaku kekerasan (WHO, 2016a). 

Mereka juga dapat meningkatkan kinerja sekolah, yang melindungi dari kekerasan remaja melalui siswa memainkan peran yang lebih besar dalam kehidupan sekolah dan memiliki prospek pekerjaan yang lebih baik (WHO, 2015). Keterampilan hidup juga dapat mengurangi faktor risiko untuk kekerasan, seperti alkohol dan narkoba gunakan (Onrust et al, 2016; Faggiano et al, 2014).

Pelatihan keterampilan hidup dan sosial

Alih - alih terus membombardir siswa dengan beragam materi pembelajaran, ada baiknya Sekolah menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan anak-anak terhadap tema-tema pengembangan diri mereka, termasuk pengetahuan tentang relasi saat remaja atau pengetahuan tentang risiko digital. Ini termasuk kemampuan untuk mengenali situasi di mana pelecehan atau kekerasan dapat terjadi dan memahami bagaimana cara menghindari situasi yang berpotensi berisiko dan di mana mencari bantuan. 

Pengetahuan ini dapat membuat anak-anak kurang rentan terhadap pelecehan dan mengurangi risiko kekerasan terjadi lagi (misalnya dengan memberi tahu orang dewasa yang terpercaya) (WHO, 2016a). Anda juga dapat mengatasi faktor risiko untuk kekerasan, seperti alkohol dan penggunaan narkoba, melalui beragam Games dan diskusi yang membuat anak-anak sadar akan zat-zat ini, termasuk konsekuensi penggunaannya mereka dan mengenali situasi berisiko tinggi (Onrust et al, 2016; Faggiano et al, 2014). Dan kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara :

  • Pemecahan masalah: mengambil keputusan, berpikir kritis, mengatasi resolusi konflik
  • Membangun hubungan: komunikasi, kerja sama, ketegasan
  • Mengelola emosional: mengatasi stres, manajemen mengatasi, kesadaran diri
  • Mengembangkan empati: membantu dan peduli, memahami sudut pandang lain
  • Ajari anak-anak tentang perilaku yang aman

Mempromosikan Hubungan Yang Setara

Perilaku sosial dan budaya dan stereotip di sekitar, misalnya gender, seksual orientasi, agama, etnis dan kecacatan, meningkatkan risiko intimidasi dan kekerasan. Menantang norma-norma berbahaya dan memperkuat norma-norma yang mempromosikan hubungan tanpa kekerasan, positif dan setara dapat mengurangi pembenaran atas kekerasan perilaku (WHO, 2016a). 

Mempromosikan toleransi politik, agama dan etnis juga mungkin menjadi penting dalam mencegah kejahatan rasial serta ekstremisme dan kekerasan radikalisasi (Bellis et al, 2017). Menantang norma sosial yang dirasakan di sekitar anak muda penggunaan narkoba oleh orang juga merupakan bagian penting untuk mencegah penyalahgunaan narkoba (Onrust et al, 2016; Faggiano et al, 2014) yang membantu mengatasi faktor risiko kekerasan.

Strategi-strategi ini dapat digunakan sendiri atau sebagai kombinasi dan dapat digunakan sepanjang kehidupan sekolah dan kehidupan di rumah. Semakin awal memulai, semakin banyak efek positif pada sikap dan perilaku anak-anak. Dan ini penting guna mencegah anak-anak terhindar dari beragam kekerasan sexual yang terus berkembang. Semoga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun