Pancasila, kembali menjadi " Ramai dan Diperebutkan". Adalah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP), yang jadi pemicu.Â
Alih-alih membuat model pembumian Pancasila yang kreatif guna merebut hati sekitar kurang lebih 130 generasi milenial di negeri ini, untuk mau menjadikan Pancasila sebagai pedoman sikap dan laku hidupnya, beberapa Fraksi di DPR, malah berkeinginan membuat undang-undangan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara Negara untuk  "mengatur" Ideologi Pancasila sebagai pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.(Rancangan HIP, Hal 96).Â
Padahal "Mengatur Pancasila Yang Besar"  Justru  Mengecilkannya.
Pancasila seharusnya milik dan ada dalam jiwa dan darah warga masyarakat, dan bukan hanya milik "Negara" /Penguasa. Wajar kekhawatiran model P4 jaman Orba muncul kembali.
Padahal, bagaimanapun membumikan "Pancasila" Â saat ini memiliki tantangan berat, di era Generasi Milenial, generasi Z dan Generasi Alpha ini. Lalu apa tantangan pada Era digital ini untuk Pancasila ?
Pertama : Era Ke berlimpahan Informasi , selain berkah Informasi yang berlimpah juga membawa masalah. Masalah itu itu terletak pada kredibilitas informasi. Karena setiap orang dapat membuat dan menyebarkan Informasi. Maka ruang publik kita dipenuhi dengan beragam Informasi, dan juga infomasi palsu dan hoax. Dengan keterbukaan informasi, terbukalah juga Informasi untuk Ideologi Transnasional, yang perlahan namun pasti , memasuki ruang-ruang pemikiran dan akal budi para Generasi Milenial.
Kedua : Sifat Ruang Gema Digital dan Algoritma Yang Mengelompokkan. Selain berlimpahnya Informasi, Ini Era pengumpulan Data. Dengan informasi yang "berlimpah" kemudian dengan mudah "digemakan" di dalam media Sosial. Sistem digital kemudian mencatatdan mengelompokkan berdasarkan hobi, Kebiasaan mengeklik,dan  kesukaan akan Informasi tertentu. Maka Era Terbuka ini kemudian menjadi " Sempit dan tertutup",  karena ruang keterbukaan hanya ada pada kelompoknya. Masing-masing kemudian saling mempromosikan termasuk saling menjatuhkan. Ini harus dipahami, karena dunia digital dibangun untuk "komersialisasi produk" dan "mengumpulkan pengikut (Subcribes)" , tujuannya ? memudahkan pemasaran.Â
Masalahnya di era keterbukaan Informasi ini yang dipasarkan tidak hanya Produk dan Jasa, akan tetapi juga Ideologi. Maka terbukalah "Pasar Milenial"Indonesia dari produk-produk Ideologi lain dengan segala promosinya.
Ketiga : Â Lama Kehidupan Di Depan Layar dan Gambar.
Era digital dipenuhi dengan ribuan Aplikasi dan Gambar, yang menyampaikan beragam kemudahan hidup. Hidup hanya dengan sebuah Jari. Tiap hari Jutaan produk menggoda melalui layar Instagram, Youtube dan Media lainnya, Produk yang sudah Hyperrealita sudah lebih nyata dan yang ada. Kemudahan, Keindahan, yang terus menggoda adalah juga cara hidup di era Digital. Godaan gaya hidup dan Konsumerisme menjadi tantangan lain bagi para Milenial, untuk hidup di era ini.
Dengan semua karakter digital tersebut, maka Pancasila terbuka untuk "terdiskrupsi", Â sehingga harus dicari cara agar Pancasila dapat terus diterima oleh Generasi Milenial.Â
Namun demikian di era ke berlimpahan Informasi, kita akan dapat mudah mendapatkan pembelajaran cara untuk membumikan Nilai. Khususnya Nilai--Nilai  Universal Kemanusiaan dan Kebaikan, yang pastinya sesuai dengan Nilai Luhur Pancasila. Salah satunya adalah belajar dari para Para "ARMY"  penggemar K-pop dan pengguna TikTok.
Apa yang dapat dipelajari dari para "ARMY"  penggemar K-pop untuk Membumikan Pancasila ?  dan Bagaimana Kondisi Lingkungan Digital di di Indonesia saat ini  ?
Pertama, Jejaring Untuk Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan.
Kpop dan para ARMY nya telah mampu mengoptimalkan kekuatan Jejaring (Persatuan) untuk menyebarluaskan Nilai-Nilai Universal Kemanusiaan (Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab).