Mohon tunggu...
syam surya
syam surya Mohon Tunggu... Dosen - Berpikir Merdeka, Kata Sederhana, Langkah Nyata, Hidup Bermakna Bagi Sesama

Pengajar dan Peneliti ; Multidicipliner, Humaniora. Behaviour Economics , Digital intelligence

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PSBB, Ketidakpedulian sebagai Banalitas Kejahatan?

24 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 24 Juni 2020   07:48 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikutip dari kumparan (22/06/2020), Profesor psikiatri di Universitas Yale, Rajita Sinha, menjelaskan bahwa ketidakpastian tentang kapan pandemi akan berakhir, akses informasi, dan keyakinan mendasar seseorang dapat mempengaruhi tingkat ketidak pedulian.

Kedua : Skeptisisme dan Learned helplessness (Ketidak berdayaan Yang Dipelajari) . Skeptisisme Adalah suatu kondisi di mana asumsi-asumsi dasar ditentang dan tidak diterima kecuali bukti yang tidak dapat disangkal dapat diberikan. Sedangkan Ketidakberdayaan yang dipelajari: terjadi setelah gagal melakukan sesuatu berkali-kali atau setelah berusaha keras tanpa melihat hasil yang positif. 

Ketidakberdayaan yang dipelajari adalah keadaan di mana orang tersebut percaya bahwa upaya apa pun yang di lakukan tidak akan menghasilkan tindakan positif. (Nolen, J.L. “Learned helplessness”. Encyclopaedia Britannica.).  Masyarakat melihat bahwa apapun yan telah dilakukan pemerintah tidak memberikan dampak positif bagi pelambatan penyebaran Virus COVID-19. 

Apalagi narasi yang dibangun dalam banyak media mainstream atau media online juga dari pemerintah adalah “Narasi” ketakutan’. Yang diinformasikan tiap hari pertumbuhan pasien positif, bukan harapan. Padahal laju kesembuhan sudah lumayan meningkat. 

Dengan Skepstsisme pada gilirannya Orang menjadi acuh tak acuh dan tidak peduli karena ia terlanjur tidak percaya. Ketidak percayaan akan Pemerintah untuk kemampuannya mengatasi COVID-19. Sayangnya di negara + 62 ini, sikap Skepstis ini justru terus dibangun oleh beberapa kalangan yang menamakan Oposisi, Sangat disayangkan padahal ini adalahnya era seharusnya sebagai bangsa bersatu, bersatu untuk nilai kemanusiaan apapun idiologi, golongan dan aspirasi politiknya.

Ketiga : Efek Psikologis Palsu. Ackerman (2020) menegaskan bahwa, melimpahnya informasi serta kurangnya pesan yang terpusat dan konsisten dari pejabat pemerintah, membuat orang mengambil pilihan yang berbeda. Mari kita lihat yang terjadi, saat Gugus Tugas COVID-19, mengatur bagaimana protokol berkendaraan, baik pribadi ataupun kendaraan umum. Kementrian perhubungan malahan melonggarkan dari 50 % ke 80 % termasuk mencabut aturan berkendaraan protokol pribadi yang aman era di masa pandemi. 

Demikian juga saat Kemenkes mengatur Aturan Ojeg Tidak Diperbolehkan mengangkut penumpang, Kemenhub membuat aturan yang memperbolehkan. Yang mengherankan, Kementrian Perhubungan, adalah satu-satunya Kementrian yang Mentrinya sudah terdampak COVID-19, dan beliau pasti merasakan kesengsaraaannya, lalu kenapa sekarang membuat aturan dimana peluang penyebaran COVID-19 ?. Tidak mungking beliau ber keinginan untuk berbagi (kesengsaraan? ) semoga saja tidak! Ini yang belum mendapatkan jawaban. 

Padahal aturan-aturan longgar ini bisa menimbulkan perasaan psikologis bahwa pandemi telah berakhir karena kehidupan tampaknya kembali normal. Pelonggaran pembatasan sosial dapat memberikan rasa aman palsu kepada sebagian orang. 

Dan terhadap yang melanggarpun kita sebagai masyarakat merasa tidak mampu mengingatkan, karena aturan dimungkinkan. Akhirnya alih-alih mencoba (Mengingatkan), kita hanya mengangkat bahu dan melanjutkan kehidupan kita masing-masing. Banyak ahli Psikologi mengemukakan bahwa ketidakpedulian itu menyebar. Ketika melihat orang lain bersikap acuh tak acuh dan apatis, maka ini dapat meggoda untuk mengikutinya.

Keempat : Depresi: Mencerminkan kasus parah dari "kehilangan harapan". Depresi disebabkan oleh ketidakseimbangan kimiawi di otak tetapi ketidakseimbangan kimiawi itu sendiri berasal dari ketidakmampuan seseorang untuk menghadapi masalah kehidupan tertentu. Depresi mencerminkan keadaan pikiran bawah sadar Anda yang memberi tahu Anda bahwa harapan hilang. Untuk mengembalikan harapan, perlu menemukan cara untuk menanggapi pikiran bawah sadar Anda sehingga depresi akan hilang.

Dan akhirnya Kelima Adalah Egoisme. Egoisme g sudah tumbuh lama di era masyarakat komtemporer digital ini. Kebanggaan dan ego kita yang tak terkendali membuat kita menempatkan diri kita sebagai yang pertama dan yang lainnya jauh. Hasil dari kesenangan diri ini adalah bahwa kita tidak peduli dengan segala hal lain yang mungkin terjadi di sekitar kita. Kita akhirnya tidak peduli dengan penderitaan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun