Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[PAKAM1] Dari Mana Datangnya Sagu?

30 April 2016   04:02 Diperbarui: 30 April 2016   11:21 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir setiap kali membicarakan pempek, pertanyaan darimana asal sagu yang jadi bahan utama pempek paling sering terlintas di kepala saya.

Dalam pengetahuan umum yang saya dapat sejak bangku sekolah dasar, sagu–– atau tepatnya tepung sagu, dikenal sebagai makanan pokok masyarakat di wilayah Maluku dan Papua. Bukan makanan pokok masyarakat palembang yang kesehariannya sulit dipisahkan dengan pempek.

Sagu menjadi bahan baku utama pempek, selain ikan. Tanpa ikan, pempek pun tetap dibuat. Tentu tak seenak jika dicampur ikan. Lalu pertanyaannya, jika pempek merupakan makanan tradisional yang telah ada di Palembang sejak ratusan tahun lalu, ada sejumlah pertanyaan mengiringi.

Pertanyaan pertama, apa memang masyarakat tepian sungai Musi mengenal dan mengonsumsi sagu? Lalu pertanyaan kedua, darimana sagu bahan pempek berasal? Kedua pertanyaan ini penting diselusuri jawabannya.

Dalam kajian gastronomi, makanan kebudayaan makanan terbentuk dari produk budidaya pada kegiatan pertanian. Dari warna, aroma, dan rasa satu jenis makanan dapat ditelusuri asal-usulnya terkait lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan. Misalnya, mengonsumsi bir gandum bukan budaya asli di Palembang, karena tak ada gandum di sana.

Kembali ke sagu dan tepian Musi, secara alam, saya sempat menduga bahwa masyarakat Palembang sempat mengenal budaya meramu dan mengolah tepung dari pohon sagu yang tersedia di alam. Ditinjau dari vegetasi rawa yang banyak ditumbuhi nipah, tampaknya cocok ditumbuhi sagu.

Sayang jejak pengolahan sagu tak lagi tampak di sekitar Palembang.

Darimana Sagu Datang?

Beberapa tahun silam, dalam satu kesempatan, saya menjumpai Taufik Wijaya. Budayawan yang juga jurnalis senior di kota yang dipercaya pernah menjadi pusat kemaharajaan Sriwijaya ini.

“Masyarakat Sumsel sudah lama kenal sagu. Di pesisir Timur Sumatra, masih bisa kau jumpai tradisi mengambil tepung dari pohon sagu,” katanya. Dia menyebutkan sebuah wilayah yang saya tak lagi ingat namanya. “Tepung sagu di sana tidak diolah jadi pempek, melainkan dikonsumsi dalam bentuk bubur. Mirip dengan cara masyarakat di Timur Indonesia mengonsumsi sagu.”

Penjelasan lelaki yang akrab kami sapa Kak Tewe, malah memantik rasa lebih ingin tahu. Apa iya?

Suatu kali saya berjumpa Hariansyah Usman. Semasa aktif memimpin Walhi Riau, sang karib yang akrab dipanggil dengan nama Kaka ini, berkali-kali mengajak saya berkunjung ke Sungai Tohor. Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Undangan itu amat menggoda, sayang tak pernah sempat saya penuhi. Kaka sering bilang, “Di sana, kau akan lihat kehidupan masyarakat mengolah sagu dari hutan alam di Sumatera. Bahkan ada festival sagu segala. Kamu bisa ikut lomba mendorong batang sagu atau lomba lari di atas potongan pohon sagu yang terapung di sungai. Seru nian!”

Menurut Kaka, Sungai Tohor merupakan salah satu daerah penghasil sagu terbesar dan terbaik di Indonesia. Pohon-pohon sagu tumbuh subur berdampingan dengan hutan alam yang terkelola berkelanjutan. Untuk menjaga kelestarian pohon sagu, masyarakat terus-menerus menanam dan merawat bibit pohon sagu.

Kegiatan memanen dan mengilang sagu di sini menjadi sebuah industri berbasis masyarakat. Daerah ini menjadi sumber utama produksi sagu di provinsi Riau. Dari pulau Meranti saja, produksi sagu mencapai 267.000 ton per tahun. Hampir keseluruhan dari produksi sagu se-propinsi Riau yang mencapai 290.000 ton per tahun. Sagu dari sini dipasarkan ke sejumlah daerah termasuk Jakarta dan Palembang, bahkan diekspor ke Malaysia.

Sayangnya, sentra sagu yang merupakan wilayah kelola rakyat di desa Sungai Tohor dan desa-desa di sekitarnya terancam akibat keberadaan perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI). Aktivitas HTI milik PT Lestari Unggul Makmur (LUM) sudah mengusik lahan gambut yang sudah dijaga dan dipelihara warga selama puluhan tahun.

Di luar bahasan konflik sumber daya alam yang terjadi, cerita tentang daerah penghasil sagu di Sumatera ini membuat keingintahuan sederhana saya terjawab. Tentang darimana datangnya sagu. Meski tak lagi ada jejak kilang sagu di sekitar Palembang.

Prasasti Sagu

Lebih-lebih setelah mendengar penuturan Nurhadi Rangkuti, arkeolog senior yang mengepalai Balai Arkeologi Palembang. Beliau sangat yakin sagu telah menjadi makanan pokok masyarakat melayu sebelum Kerajaan Sriwijaya.

Nurhadi tak mengada-ada. Prasasti Talang Tuo menjadi bukti yang kuat. Dalam prasasti itu menyebut tentang taman Śrīksetra yang dibuat Raja Sriwijaya ditumbuhi dengan aneka pohon sagu, kelapa, pinang, bambu, dan aren.

Menilik sejarah ini, tak heran jika kemudian pempek yang merupakan panganan olahan dari bahan sagu menjadi makanan sehari-hari masyarakat Palembang.

Di ujung catatan ini saya teringat percakapan dua hari lalu ketika menyinggahi satu Paman, Benyamin Pattinama. Beliau yang sehari sebelumnya baru tiba dari pulang kampung ke Ambon, menawarkan oleh-oleh sagu bakar dan biji kenari. Sambil menikmati kudapan khas tanah Maluku itu, Om Ben bertanya apa ada daerah lain yang juga makan sagu?

Saya bilang, orang kampung kelahiran saya juga makan sagu. Tapi dibikin pempek. Sayang memang jejak kilang sagu tak lagi tampak di Palembang dan sepenuhnya mengandalkan pasokan dari luar daerah. Padahal sangat berpotensi untuk kembali dikembangkan.

# # #

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun