Hampir setiap kali membicarakan pempek, pertanyaan darimana asal sagu yang jadi bahan utama pempek paling sering terlintas di kepala saya.
Dalam pengetahuan umum yang saya dapat sejak bangku sekolah dasar, sagu–– atau tepatnya tepung sagu, dikenal sebagai makanan pokok masyarakat di wilayah Maluku dan Papua. Bukan makanan pokok masyarakat palembang yang kesehariannya sulit dipisahkan dengan pempek.
Sagu menjadi bahan baku utama pempek, selain ikan. Tanpa ikan, pempek pun tetap dibuat. Tentu tak seenak jika dicampur ikan. Lalu pertanyaannya, jika pempek merupakan makanan tradisional yang telah ada di Palembang sejak ratusan tahun lalu, ada sejumlah pertanyaan mengiringi.
Pertanyaan pertama, apa memang masyarakat tepian sungai Musi mengenal dan mengonsumsi sagu? Lalu pertanyaan kedua, darimana sagu bahan pempek berasal? Kedua pertanyaan ini penting diselusuri jawabannya.
Dalam kajian gastronomi, makanan kebudayaan makanan terbentuk dari produk budidaya pada kegiatan pertanian. Dari warna, aroma, dan rasa satu jenis makanan dapat ditelusuri asal-usulnya terkait lingkungan tempat bahan bakunya dihasilkan. Misalnya, mengonsumsi bir gandum bukan budaya asli di Palembang, karena tak ada gandum di sana.
Kembali ke sagu dan tepian Musi, secara alam, saya sempat menduga bahwa masyarakat Palembang sempat mengenal budaya meramu dan mengolah tepung dari pohon sagu yang tersedia di alam. Ditinjau dari vegetasi rawa yang banyak ditumbuhi nipah, tampaknya cocok ditumbuhi sagu.
Sayang jejak pengolahan sagu tak lagi tampak di sekitar Palembang.
Darimana Sagu Datang?
Beberapa tahun silam, dalam satu kesempatan, saya menjumpai Taufik Wijaya. Budayawan yang juga jurnalis senior di kota yang dipercaya pernah menjadi pusat kemaharajaan Sriwijaya ini.
“Masyarakat Sumsel sudah lama kenal sagu. Di pesisir Timur Sumatra, masih bisa kau jumpai tradisi mengambil tepung dari pohon sagu,” katanya. Dia menyebutkan sebuah wilayah yang saya tak lagi ingat namanya. “Tepung sagu di sana tidak diolah jadi pempek, melainkan dikonsumsi dalam bentuk bubur. Mirip dengan cara masyarakat di Timur Indonesia mengonsumsi sagu.”
Penjelasan lelaki yang akrab kami sapa Kak Tewe, malah memantik rasa lebih ingin tahu. Apa iya?