Suatu kali saya berjumpa Hariansyah Usman. Semasa aktif memimpin Walhi Riau, sang karib yang akrab dipanggil dengan nama Kaka ini, berkali-kali mengajak saya berkunjung ke Sungai Tohor. Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Undangan itu amat menggoda, sayang tak pernah sempat saya penuhi. Kaka sering bilang, “Di sana, kau akan lihat kehidupan masyarakat mengolah sagu dari hutan alam di Sumatera. Bahkan ada festival sagu segala. Kamu bisa ikut lomba mendorong batang sagu atau lomba lari di atas potongan pohon sagu yang terapung di sungai. Seru nian!”
Menurut Kaka, Sungai Tohor merupakan salah satu daerah penghasil sagu terbesar dan terbaik di Indonesia. Pohon-pohon sagu tumbuh subur berdampingan dengan hutan alam yang terkelola berkelanjutan. Untuk menjaga kelestarian pohon sagu, masyarakat terus-menerus menanam dan merawat bibit pohon sagu.
Kegiatan memanen dan mengilang sagu di sini menjadi sebuah industri berbasis masyarakat. Daerah ini menjadi sumber utama produksi sagu di provinsi Riau. Dari pulau Meranti saja, produksi sagu mencapai 267.000 ton per tahun. Hampir keseluruhan dari produksi sagu se-propinsi Riau yang mencapai 290.000 ton per tahun. Sagu dari sini dipasarkan ke sejumlah daerah termasuk Jakarta dan Palembang, bahkan diekspor ke Malaysia.
Sayangnya, sentra sagu yang merupakan wilayah kelola rakyat di desa Sungai Tohor dan desa-desa di sekitarnya terancam akibat keberadaan perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI). Aktivitas HTI milik PT Lestari Unggul Makmur (LUM) sudah mengusik lahan gambut yang sudah dijaga dan dipelihara warga selama puluhan tahun.
Di luar bahasan konflik sumber daya alam yang terjadi, cerita tentang daerah penghasil sagu di Sumatera ini membuat keingintahuan sederhana saya terjawab. Tentang darimana datangnya sagu. Meski tak lagi ada jejak kilang sagu di sekitar Palembang.
Prasasti Sagu
Lebih-lebih setelah mendengar penuturan Nurhadi Rangkuti, arkeolog senior yang mengepalai Balai Arkeologi Palembang. Beliau sangat yakin sagu telah menjadi makanan pokok masyarakat melayu sebelum Kerajaan Sriwijaya.
Nurhadi tak mengada-ada. Prasasti Talang Tuo menjadi bukti yang kuat. Dalam prasasti itu menyebut tentang taman Śrīksetra yang dibuat Raja Sriwijaya ditumbuhi dengan aneka pohon sagu, kelapa, pinang, bambu, dan aren.
Menilik sejarah ini, tak heran jika kemudian pempek yang merupakan panganan olahan dari bahan sagu menjadi makanan sehari-hari masyarakat Palembang.
Di ujung catatan ini saya teringat percakapan dua hari lalu ketika menyinggahi satu Paman, Benyamin Pattinama. Beliau yang sehari sebelumnya baru tiba dari pulang kampung ke Ambon, menawarkan oleh-oleh sagu bakar dan biji kenari. Sambil menikmati kudapan khas tanah Maluku itu, Om Ben bertanya apa ada daerah lain yang juga makan sagu?