Mohon tunggu...
Syam Asinar  Radjam
Syam Asinar Radjam Mohon Tunggu... Petani - petani

petani

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pekarangan, CSA, dan Harga Pangan Stabil

17 Juli 2014   01:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:07 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_315658" align="alignright" width="300" caption="tanam cabe dalam pot (alamtani.com)"][/caption]

Malam di selat Sunda. Bulan bergerak menuju mati. Sebuah kapal Ferry terombang-ambing ke arah Barat. Beberapa penumpang bercakap-cakap mengisi waktu.

“Harga cabe sedang pedas-pedasnya!” cerita seorang penumpang. Lelaki 40-an tahun. “Kasih istri duit lima ribu perak, dibikin sambal, mana pedes.”

Dia bercerita kepada saya. Saat itu suasana jelang lebaran. Kami lalu bercakap banyak hal tentang komoditas pangan yang harganya membengkak setiap kali datang bulan Ramadhan dan hari lebaran Idul Fitri.

Dalam daftar sembilan bahan pokok (sembako), cabe hanya salah satu komponen dari kelompok sayur-sayuran dan buah-buahan. Ditinjau dari komoditas pangan, cabe merupakan salah satu dari aneka bumbu. Meski demikian, dalam budaya kuliner nusantara, cabe mendapat kedudukan penting. Pemedas utama bagi aneka masakan, terutama sambal. Setiap kali cabe mengalami kenaikan harga, pengaruhnya terbilang besar. Apalagi bila harganya melonjak ekstrim seperti saat itu. Mencapai sekitar Rp 80.000 per kilogram.

Bank Indonesia mencatat, aneka bumbu (dimana cabe termasuk di dalamnya), beras, dan daging adalah tiga komoditas pangan yang menyumbang inflasi pada periode Ramadhan dan Idul Fitri tiga tahun terakhir. Cenderung mengalami peningkatan harga secara umum dan terus menerus.

Saya tak banyak paham kenapa harga produk pertanian ini bisa melonjak di saat-saat seperti itu. Sekalipun, sebagai petani semestinya saya bersyukur jika harga komoditas pertanian mengalami kenaikan. Apalagi bila mengingat pengalaman saya beberapa kali menanam cabe dalam jumlah banyak. Saban panen, harga cabe sedang anjlok. Sekitar 3000 rupiah per kilogram. Jangan bicara untung. Balik modal saja berat.

Berdasarkan pantauan sejumlah media, harga cabe keriting pada Ramadhan kali ini, tahun 1435 H atau 2014, relatif normal dan seharusnya tetap menguntungkan bagi petani. Berkisar Rp 20.000 – 25.000,- Tapi belum sebulan lalu, beberapa petani dan pekebun cabe di desa tempat saya berkebun, mengeluh tak balik modal. Sebab, harga jual cabe di tingkat petani sekitar Rp 3.000. Sedang biaya yang dikeluarkan untuk sebatang pohon cabe sudah sekitar Rp 3.000. Belum termasuk upah petik. Sementara hasil panen yang didapat rerata hanya 0,6 kg cabe per pohon.

Kenaikan harga di pasaran tidak selalu berkait dengan keuntungan bagi petani cabe. Saat harga cabe anjlok, sudah pasti yang dirugikan adalah petani. Tetapi harga murah hanya di tingkat petani ke pedagang, sedangkan di tingkat pedagang ke konsumen harga bisa naik 3-4 kali lipat. Yang menikmati adalah pihak perantara antara produsen (petani) dan konsumen. Dalam sebuah berita, Menteri Pertanian Suswono mengungkapkan hal senada. “Petani menangis, di petani Rp 5 ribuan tapi di pedagang Rp 25 ribuan,” ujarnya.

Dengan situasi seperti ini, bila harga komoditas pangan naik maka beban yang dirasakan konsumen makin berat, sementara petani belum tentu untung. Jika pun sesekali petani menjual hasil panen dengan harga tinggi pun, bisa diartikan sekadar menggantikan kerugian yang mereka alami berkali-kali.

Untuk itu perlu sebuah terobosan dalam menyiasati kenaikan harga bahan pangan yang dapat menyumbang terjadinya inflasi. Setidaknya terobosan dalam sektor produksi bahan pangan. Terobosan ini dapat dilakukan di tingkat rumah tangga, kelompok konsumen dan petani, dan terutama negara melalui Bank Indonesia bersama Pemerintah (TPID).

Pekarangan, Solusi Rumah Tangga

Berkebun di pekarangan bisa menjadi solusi yang bisa dilakukan setiap rumah tangga untuk mengatasi inflasi atau sederhananya kenaikan harga bahan pangan. Ambil contoh, untuk menyiasati kenaikan harga cabe keriting selama bulan Ramadhan, cabe bisa ditanam di kantung plastik (polybag) atau pot.

Sebagaimana umumnya, rumah di perkotaan relatif sempit. Budidaya cabe di polybag atau pot dapat menghemat ruang.

Agar dapat dipanen ketika Ramadhan, maka penanaman cabe di pekarangan mesti dilakukan pada waktu yang tepat. Waktu tanam disesuaikan dengan umur panen. Umumnya jenis cabe keriting dan cabe merah mulai dapat dipetik hasilnya ketika tanaman berumur 2,5 bulan atau pada hari ke 70 – 80 sejak tanam. Pemanenan dapat dilakukan setiap tiga hari sekali. Sedikitnya cabe dapat dipanen 12 kali bahkan jika media dan kompos diberikan dalam jumlah memadai, panen bisa berlangsung terus hingga 24 kali.

Ringkasnya, tanamlah cabe sejak 70 hari sebelum Ramadhan.

Selain waktu tanam, perkiraan hasil panen pun perlu pula diperhitungkan. Taruh kata, sebuah keluarga “gila pedas” memerlukan cabe segar sebanyak 1 kg per hari. Setiap satu pohon cabe yang terawat baik, diberi kompos memadai, cukup sinar matahari dan air, serta terjaga dari serangan hama dan penyakit, sedikitnya bisa memberikan hasil sebanyak 0,6 kg. Bulatkan jadi 0,5 kg. Dengan menanam cabe di 60 pot, maka mudah-mudahan hasrat makan pedas, bisa dipenuhi sendiri.

Solusi yang sama bisa diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan daging selama ramadhan. Terutama daging dari jenis unggas. Misalnya, ayam kampung. Dengan sisa pekarangan seluas 1 meter sedikitnya dapat dibuat kandang sederhana yang mampung menampung 7 ekor ayam kampung ukuran optimal. Ayam kampung yang dipiara sejak bibit berumur satu hari (day old chick) bisa dipanen setelah dipiara 7 minggu. Ayam kampung juga lebih gampang dipiara karena lebih tahan penyakit dan dapat diberi pakan dari makanan sisa.

Solusi yang ditawarkan catatan ini bisa dianggap terlambat karena dibagikan justru ketika ramadhan sedang berlangsung. Namun tetap bisa diterapkan pada tahun-tahun mendatang.

CSA, Solusi Warga

[caption id="attachment_315669" align="alignright" width="300" caption="keranjang sayur csa (www.thelocalgood.ca)"]

140550864056452235
140550864056452235
[/caption]

Ada sebuah model kemitraan antara masyarakat dan petani yang berkembang di sejumlah negara. Model ini dikenal dengan nama Community Supported Agriculture (CSA) atau diterjemahkan secara bebas menjadi Pertanian Terdukung Masyarakat.

Model ini melibatkan sekelompok individu atau keluarga dengan petani. Mempertemukan konsumen dan produsen bahan pangan. Pihak konsumen menjanjikan dukungan kepada petani untuk memproduksi bahan pangan. Bukan hanya dukungan permodalan, tetapi juga berbagi resiko produksi.

Di sini konsumen berlaku sebagai “pemegang saham” atas usaha tani yang dikelola petani. Konsumen membayar dimuka untuk biaya bercocok tanam, termasuk gaji petani. Imbalannya, mereka mendapat manfaat berupa hasil pertanian sepanjang musim tanam, atau hasil peternakan seperti telur, susu, dan daging, bahkan ikan. Manfaat lain yang didapat konsumen adalah kepuasan batin karena ikut belajar bertani, terbangun hubungan dengan tanah penghasil makanan, serta terlibat langsung dalam produksi bahan pangan yang mereka konsumsi.

Konsumen juga berbagi dalam risiko pertanian, termasuk kegagalan panen akibat cuaca buruk atau hama. Model ini menguntungkan petani dan konsumen. Melalui pembayaran dimuka yang menjadi modal kerja, petani menerima harga yang lebih baik untuk hasil panen, keamanan finansial, memotong biaya pemasaran. Yang tak kalah penting ini menjembatani hubungan batin antara produsen dan konsumen. Petani jadi mengenal orang-orang yang mengonsumsi hasil panen dari yang ia tanam. Konsumen jadi mengenal petani yang memproduksi makanan mereka, sekaligus tahu bagaimana riwayat bahan pangan tersebut dihasilkan. Sebuah keterhubungan yang langka di masa kini, sebab belakangan, konsumen hanya tahu bahwa bahan pangan hanyalah benda yang bisa dapat di pasar atau swalayan.

Mari sederhanakan seperti apa pola CSA ini bekerja!

Bayangkan ada 10 keluarga bertetangga. Kebetulan di rumah mereka tak tersedia sisa lahan untuk dibuat kebun pekarangan. Tapi tak jauh dari tempat tinggalnya ada seorang petani. Kesepuluh keluarga ini kemudian menghubungi petani, menyampaikan tentang jumlah dan jenis sayur setiap hari. Mereka lalu duduk bersama membicarakan berapa biaya yang dibutuhkan petani untuk menghasilkan sayur-sayuran tersebut, berapa lama hasil panen bisa dipetik sejak tanam.

Petani memberi rincian biaya penanaman, terkait harga pupuk, bibit, dan ongkos perawatan.

Selanjutnya mereka membuat kesepakatan terkait harga jual sayuran tersebut. Tentu dengan memperhitungkan berapa keuntungan yang layak diterima petani, dan jumlah sayur yang dibutuhkan selama musim tanam, hingga ongkos kirim dari kebun ke 10 rumah keluarga tersebut.

Setelah perhitungan biaya didapat, kelompok keluarga kemudian memberi uang muka untuk dipakai petani memulai penanaman aneka sayur yang disepakati. Selebihnya, mereka akan memberikan pembayaran secara berangsur. Semacam berlangganan.

Belum cukup sampai di sana. Tanggung jawab dari pelanggan bukan sekadar pembayaran. Kesepuluh keluarga ini berkewajiban untuk mengunjungi kebun yang diolah petani. Sesekali mungkin terlibat membantu merawat tanaman di sana. Bisa malah aktif memberi saran dan informasi terkait pertanian yang mereka dapat dari referensi atau kunjungan ke kebun lain.

Dengan demikian pelanggan akan memaklumi bila terjadi kegagalan panen karena cuaca buruk atau serangan hama. Atau misalnya, jika pertanian yang diterapkan adalah pertanian organis, konsumen akan lebih paham secara utuh jika sayur yang mereka hasilkan tidak semulus yang dijumpai di supermarket.

Tetapi, selain baik untuk menjembatani kemitraan petani dan konsumen, model CSA bisa efektif untuk mencegah kenaikan harga. Petani terbantu, konsumen tak terbebani. Jika produk yang diusahakan melalui model ini beragam, misalnya meliputi sayuran, buah-buahan, aneka bumbu, beras maupun umbi-umbian, hingga daging, maka pola CSA bukan tak mungkin dijadikan solusi mengatasi inflasi secara serius dalam jangka panjang. Di tahun-tahun mendatang.

TPID dan Pertanian

Solusi rumah tangga melalui pertanian di pekarangan, maupun solusi warga melalui model CSA, bisa menjadi solusi mengatasi inflasi yang terjadi pada komoditas bahan pangan. Sekalipun sederhana, jika solusi ini berkembang secara luas di Indonesia, maka dampak yang timbul pun memengaruhi ketahanan nasional dalam menghadapi inflasi komoditas pangan.

Untuk itu, perlu sebuah dorongan dari pemerintah agar solusi semacam ini bisa tertular-sebarkan. Tim Pengendalian Inflasi Daerah atau disingkat TPID yang memiliki peran penting dalam mendukung pengendalian inflasi nasional bisa mengadaptasi kedua model yang dicontohkan terdahulu untuk ditiru-terapkan.

Sejauh ini TPID bersama Bank Indonesia telah mensponsori beberapa kegiatan pertanian organik di beberapa tempat di nusantara dalam rangka mengantisipasi inflasi. Di samping itu TPID melalui sejumlah rakornas telah menghasilkan beberapa nota kesepahaman tentang kerjasama pengembangaan usaha di sektor pertanian dalam rangka mendukung program ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani.

Saya kira, mengatasi inflasi komoditas pangan memang harus melibatkan petani dan konsumen secara utuh. Dalam hal ini, TPID bisa bermain lebih jauh. Setelah merumuskan kebijakan sektoral dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait, juga secara intensif melakukan pendidikan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang diperlukan dalam upaya menjaga stabilitas harga. Termasuk mempromosikan model kemitraan antara petani dan konsumen.

Langkah sederhananya… Mungkinkah para personel yang tergabung di TPID atau Bank Indonesia mengujicoba model kemitraan dengan petani dalam konsep Community Supported Agriculture? Anggap saja ini sebuah tantangan. # # #

[Syam Asinar Radjam, praktikus pertanian alami. Email: kawansyam@yahoo.com]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun