Model ini melibatkan sekelompok individu atau keluarga dengan petani. Mempertemukan konsumen dan produsen bahan pangan. Pihak konsumen menjanjikan dukungan kepada petani untuk memproduksi bahan pangan. Bukan hanya dukungan permodalan, tetapi juga berbagi resiko produksi.
Di sini konsumen berlaku sebagai “pemegang saham” atas usaha tani yang dikelola petani. Konsumen membayar dimuka untuk biaya bercocok tanam, termasuk gaji petani. Imbalannya, mereka mendapat manfaat berupa hasil pertanian sepanjang musim tanam, atau hasil peternakan seperti telur, susu, dan daging, bahkan ikan. Manfaat lain yang didapat konsumen adalah kepuasan batin karena ikut belajar bertani, terbangun hubungan dengan tanah penghasil makanan, serta terlibat langsung dalam produksi bahan pangan yang mereka konsumsi.
Konsumen juga berbagi dalam risiko pertanian, termasuk kegagalan panen akibat cuaca buruk atau hama. Model ini menguntungkan petani dan konsumen. Melalui pembayaran dimuka yang menjadi modal kerja, petani menerima harga yang lebih baik untuk hasil panen, keamanan finansial, memotong biaya pemasaran. Yang tak kalah penting ini menjembatani hubungan batin antara produsen dan konsumen. Petani jadi mengenal orang-orang yang mengonsumsi hasil panen dari yang ia tanam. Konsumen jadi mengenal petani yang memproduksi makanan mereka, sekaligus tahu bagaimana riwayat bahan pangan tersebut dihasilkan. Sebuah keterhubungan yang langka di masa kini, sebab belakangan, konsumen hanya tahu bahwa bahan pangan hanyalah benda yang bisa dapat di pasar atau swalayan.
Mari sederhanakan seperti apa pola CSA ini bekerja!
Bayangkan ada 10 keluarga bertetangga. Kebetulan di rumah mereka tak tersedia sisa lahan untuk dibuat kebun pekarangan. Tapi tak jauh dari tempat tinggalnya ada seorang petani. Kesepuluh keluarga ini kemudian menghubungi petani, menyampaikan tentang jumlah dan jenis sayur setiap hari. Mereka lalu duduk bersama membicarakan berapa biaya yang dibutuhkan petani untuk menghasilkan sayur-sayuran tersebut, berapa lama hasil panen bisa dipetik sejak tanam.
Petani memberi rincian biaya penanaman, terkait harga pupuk, bibit, dan ongkos perawatan.
Selanjutnya mereka membuat kesepakatan terkait harga jual sayuran tersebut. Tentu dengan memperhitungkan berapa keuntungan yang layak diterima petani, dan jumlah sayur yang dibutuhkan selama musim tanam, hingga ongkos kirim dari kebun ke 10 rumah keluarga tersebut.
Setelah perhitungan biaya didapat, kelompok keluarga kemudian memberi uang muka untuk dipakai petani memulai penanaman aneka sayur yang disepakati. Selebihnya, mereka akan memberikan pembayaran secara berangsur. Semacam berlangganan.
Belum cukup sampai di sana. Tanggung jawab dari pelanggan bukan sekadar pembayaran. Kesepuluh keluarga ini berkewajiban untuk mengunjungi kebun yang diolah petani. Sesekali mungkin terlibat membantu merawat tanaman di sana. Bisa malah aktif memberi saran dan informasi terkait pertanian yang mereka dapat dari referensi atau kunjungan ke kebun lain.
Dengan demikian pelanggan akan memaklumi bila terjadi kegagalan panen karena cuaca buruk atau serangan hama. Atau misalnya, jika pertanian yang diterapkan adalah pertanian organis, konsumen akan lebih paham secara utuh jika sayur yang mereka hasilkan tidak semulus yang dijumpai di supermarket.
Tetapi, selain baik untuk menjembatani kemitraan petani dan konsumen, model CSA bisa efektif untuk mencegah kenaikan harga. Petani terbantu, konsumen tak terbebani. Jika produk yang diusahakan melalui model ini beragam, misalnya meliputi sayuran, buah-buahan, aneka bumbu, beras maupun umbi-umbian, hingga daging, maka pola CSA bukan tak mungkin dijadikan solusi mengatasi inflasi secara serius dalam jangka panjang. Di tahun-tahun mendatang.