Mohon tunggu...
SYALAISA AMARA
SYALAISA AMARA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka menulis dan bertualang menjelajahi tempat-tempat baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kehidupan Tukang Koran yang Menaruh Hidup di Tengah Media Digital

23 Desember 2022   00:24 Diperbarui: 25 Desember 2022   00:13 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan Tukang Koran yang Menaruh Hidup di Tengah Arus Media Digitalisasi

Menjual koran menjadi pilihan hidup Ngudiyo Raharjo untuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan. Ngudiyo (60) mulai berjualan koran sejak tahun 1985 di Tangerang Selatan. Tepatnya berlokasi di samping Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jalan Aria Putra, Serua Indah, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten.

Tak hanya berdiam diri menjual koran di toko kecilnya, Ngudiyo juga mendistribusikan penjualan korannya ke salah satu Universitas di Tangerang Selatan yaitu Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). "Saya jual juga ke UMJ, antar ke kampus," imbuhnya, Minggu(4/12).

Menjual koran bagi Ngudiyo menjadi penghasilan utama untuk menghidupi istri dan keluarganya. Ia memiliki seorang istri dan 5 anak untuk dinafkahi. Tak hanya koran, Ngudiyo juga menjual beberapa kalender, majalah, dan buku.

Ngudiyo mulai menjajakan korannya di toko kecil berlapisan kayu tripleks sejak pukul 6 pagi sampai pukul 8 malam. Sejak pagi ia datang ke agen koran menggunakan motornya. "Untuk persiapan jualan koran saya ke agen Cimanggis lalu naik motor langsung kesini," ujar Ngudiyo, Minggu (4/12).

Ia mengatakan, untuk kalangan pembeli didominasi oleh golongan orang dewasa namun, tak jarang masih ada anak muda yang membeli koran jualannya. "Kalau untuk pembeli lebih banyak bapak-bapak, anak muda ada cuma jarang," tuturnya, Minggu (4/12).

Ngudiyo menjual korannya mulai dengan harga satuan Rp 5000, kemudian harga Rp 3000 untuk perlembar korannya. Untuk majalah, Ngudiyo menjualnya seharga Rp 60000. "Harga full satu koran dijual lima ribu, kalau perlembar tiga ribu dan untuk majalah enam puluh ribu," ucap Ngudiyo, Minggu (4/12).

Di tengah maraknya digitalisasi saat ini, Ngudiyo merasakan perubahan pendapatan hasil penjualan korannya. Ia menjelaskan perbedaan pendapatannya sejak dulu dan sekarang sangatlah jauh.

Ia hanya bisa mendapatkan 3 persen hasil penjualan di era digitalisasi saat ini. "Pendapatan dulu sama sekarang beda jauh, sekarang cuma bisa dapat 3 persen hasil penjualan sekitar 50 ribu perhari," jelasnya, Minggu (4/12).

Dibalik kesulitan Ngudiyo, ia berhasil menyekolahkan kelima anaknya. Diantaranya, 2 orang anaknya sudah menjadi lulusan Sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tanpa beasiswa sepeser pun. "Dua anak saya sudah wisuda, kuliah di UIN Jakarta," tambahnya, Minggu (4/12).

Anak pertama dan keduanya lulus pada tahun 2010 dan 2012 di UIN Jakarta. Kini anak ketiganya, sudah menginjak semester akhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ngudiyo berharap semoga makin banyak orang yang lebih peduli kepada penjual koran yang kini mulai minoritas dan jarang diminati. "Berharap masyarakat lebih melek dan peduli lagi sama penjual koran karena sekarang sudah mulai sepi," harap Ngudiyo, Minggu (4/12).

Nabila Saffanah, Mahasiswi semester 3 yang juga salah satu pembaca aktif berita di media online menanggapi bahwa ia lebih menyukai membaca berita secara online. Ia beralasan karena membaca berita secara online baginya lebih fleksibel untuk dibaca dimanapun dan kapanpun. "Misal lagi di kampus sedang santai, bisa buka sosmed atau berita saat itu juga, tapi kalau koran atau media cetak kita harus beli dulu," tuturnya, Selasa (6/12).

Nabila juga sudah jarang melihat adanya tukang koran yang berkeliling ke rumah-rumah atau ke kantor untuk berlangganan koran. Ia mengatakan untuk saat ini orang-orang lebih memilih untuk membaca berita secara online karena lebih efisien waktu. "Kalau lihat-lihat sekarang udah jarang ada tukang koran yang antar ke rumah-rumah atau kantor untuk berlangganan," tuturnya, Selasa (6/12).

Tanpa perlu mencari tukang koran terlebih dahulu sekarang semua orang sudah bisa dengan mudah mengakses berita secara cepat. "Kantor-kantor di Jakarta itu sekarang kayaknya udah jarang buat berlangganan koran, sekarang kayaknya lebih efisien buat baca berita di online," jelasnya, Selasa (6/12).

Selain itu, Nabila sendiri merasa lebih efektif untuk membaca berita di online karena lebih cepat mendapatkan informasi dibanding membaca berita koran yang harus menunggu informasi secara keseluruhan. Keunggulan berita koran sendiri kata dia, lebih detail karena berita yang disampaikan melalui koran sudah pasti informasinya dikumpul secara keseluruhan sebelum diterbitkan.

"Mungkin kalau kelebihannya, berita di koran lebih detail karena ada banyak waktu untuk mencari informasi lebih dalam dan aktual," ujar Nabila, Selasa (6/12).

Nabila kurang menyukai media yang menampilkan berita berhalaman-halaman. Ia sering membaca berita terkait isu-isu terkini di beberapa media berita online. Seperti media Kompas, Tempo dan Detik.

Penulis: Syalaisa Amara, Mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Program Studi Jurnalistik, Semester 3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun