Kehidupan Tukang Koran yang Menaruh Hidup di Tengah Arus Media Digitalisasi
Menjual koran menjadi pilihan hidup Ngudiyo Raharjo untuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan. Ngudiyo (60) mulai berjualan koran sejak tahun 1985 di Tangerang Selatan. Tepatnya berlokasi di samping Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Jalan Aria Putra, Serua Indah, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten.
Tak hanya berdiam diri menjual koran di toko kecilnya, Ngudiyo juga mendistribusikan penjualan korannya ke salah satu Universitas di Tangerang Selatan yaitu Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). "Saya jual juga ke UMJ, antar ke kampus," imbuhnya, Minggu(4/12).
Menjual koran bagi Ngudiyo menjadi penghasilan utama untuk menghidupi istri dan keluarganya. Ia memiliki seorang istri dan 5 anak untuk dinafkahi. Tak hanya koran, Ngudiyo juga menjual beberapa kalender, majalah, dan buku.
Ngudiyo mulai menjajakan korannya di toko kecil berlapisan kayu tripleks sejak pukul 6 pagi sampai pukul 8 malam. Sejak pagi ia datang ke agen koran menggunakan motornya. "Untuk persiapan jualan koran saya ke agen Cimanggis lalu naik motor langsung kesini," ujar Ngudiyo, Minggu (4/12).
Ia mengatakan, untuk kalangan pembeli didominasi oleh golongan orang dewasa namun, tak jarang masih ada anak muda yang membeli koran jualannya. "Kalau untuk pembeli lebih banyak bapak-bapak, anak muda ada cuma jarang," tuturnya, Minggu (4/12).
Ngudiyo menjual korannya mulai dengan harga satuan Rp 5000, kemudian harga Rp 3000 untuk perlembar korannya. Untuk majalah, Ngudiyo menjualnya seharga Rp 60000. "Harga full satu koran dijual lima ribu, kalau perlembar tiga ribu dan untuk majalah enam puluh ribu," ucap Ngudiyo, Minggu (4/12).
Di tengah maraknya digitalisasi saat ini, Ngudiyo merasakan perubahan pendapatan hasil penjualan korannya. Ia menjelaskan perbedaan pendapatannya sejak dulu dan sekarang sangatlah jauh.
Ia hanya bisa mendapatkan 3 persen hasil penjualan di era digitalisasi saat ini. "Pendapatan dulu sama sekarang beda jauh, sekarang cuma bisa dapat 3 persen hasil penjualan sekitar 50 ribu perhari," jelasnya, Minggu (4/12).
Dibalik kesulitan Ngudiyo, ia berhasil menyekolahkan kelima anaknya. Diantaranya, 2 orang anaknya sudah menjadi lulusan Sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tanpa beasiswa sepeser pun. "Dua anak saya sudah wisuda, kuliah di UIN Jakarta," tambahnya, Minggu (4/12).