Ketika senja menyapa di ufuk barat, masyarakat Indonesia seringkali memandang ke depan dengan harapan besar akan adanya perubahan yang membawa kehidupan yang lebih baik.Â
Pertanyaan kapan, bagaimana, dan di tangan siapa perubahan itu akan terjadi, sebagian jawabannya tertanam dalam hasil Pilpres yang menjadi sumber harap bagi banyak orang.
Pemilihan presiden (Pilpres) seharusnya menjadi tonggak awal bagi kehidupan politik yang baru, di mana pemimpin dipilih dengan suara rakyat untuk membawa perubahan positif.Â
Namun, seringkali harapan tersebut bertabrakan dengan kenyataan, seperti yang diungkapkan dalam pepatah, "Tak selamanya harapan bertemu kenyataan."
Beberapa terpilih untuk memimpin justru terjerat dalam sistem yang telah menyakitkan masyarakat selama ini.Â
Mereka yang diamanahkan untuk membawa perubahan positif justru menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, melupakan janji-janji kampanye yang mereka ucapkan dengan lantang.
Lebih ironis lagi, ada yang berani mengembalikan modal politiknya dengan cara yang tidak etis. Lima tahun kepemimpinan dijadikan periode untuk mengembalikan "investasi" politik, bahkan sering kali berujung pada penangkapan oleh lembaga antikorupsi.
Pilpres seharusnya membuka pintu bagi pemimpin baru yang bersih dan berkomitmen pada kesejahteraan rakyat.Â
Namun, kenyataannya, pintu tersebut sering kali menjadi jalan bagi mereka yang ingin memperkaya diri sendiri.
Meski lima tahun adalah waktu yang seharusnya cukup panjang untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat, namun sayangnya, waktu itu seringkali diisi dengan kebijakan yang lebih memikirkan kepentingan elit politik daripada kesejahteraan rakyat.
Pemilu telah menghasilkan perubahan pemerintahan, namun tak jarang perubahan itu hanya sebatas pergantian wajah dan tidak menyentuh inti permasalahan. Sistem yang korup dan tidak efisien masih bertahan.
Melihat sejarah perubahan pemerintahan di Indonesia, setiap perubahan pemerintahan selalu membawa harapan baru, seperti setelah jatuhnya Soekarno dan naiknya Suharto, serta Reformasi 1998 yang membawa angin segar. Namun, menjelang Pilpres 2024, atmosfernya terasa berbeda.
Terlihat ada upaya untuk melanjutkan pola lama yang pernah ditentang. Muncul pertanyaan apakah reformasi yang dulu diidamkan masih berlaku, ataukah kita kini menghadapi ironi politik di bumi Indonesia?
Rakyat seakan dihadapkan pada pilihan sulit, di antara harapan akan perubahan dan kenyataan bahwa politik masih dikuasai oleh kepentingan tertentu.Â
Reformasi sepertinya telah luntur dan digantikan oleh keinginan untuk memperpanjang masa jabatan. Bahkan, lebih meperihatinkan lagi adanya langkah-langkah usang, yakni yang mengedepankan terjadinya politik dinasti.
Pilpres, yang seharusnya menjadi simbol perbaikan, malah terasa seperti alat untuk mengejar kekuasaan lebih lama. Harapan rakyat yang terpatri dalam suara mereka, kini terasa sirna di tengah hiruk-pikuk politik.
Ironisnya, saat kita merenungi sejarah yang telah diubah oleh perubahan pemerintahan, kita dihadapkan pada masa depan yang belum tentu membawa perubahan yang diidamkan.
Pemilu, yang seharusnya menjadi momen menyegarkan semangat reformasi, kini berubah menjadi ajang untuk melanjutkan kebijakan masa lalu yang bisa membuat sejarah berulang.
Seakan kita menyaksikan adegan yang terulang, di mana pemimpin yang terpilih hanya menjadi pewaris kebijakan masa lalu yang terkadang melupakan esensi reformasi.
Masyarakat yang dulu terbakar semangat reformasi sekarang harus bertanya-tanya, apakah pilihan nomor urut di surat suara benar-benar akan membawa perubahan atau hanya sebatas simbolik belaka.
Pemimpin yang terpilih tidak hanya memiliki tanggung jawab memimpin, tetapi juga menjadi penjaga semangat perubahan yang seharusnya tertanam dalam kebijakan negara.
Pilpres 2024 menjadi cermin keadaan politik saat ini, di mana harapan dan kecewa bertabrakan. Semakin banyak pertanyaan, semakin sulit bagi masyarakat untuk percaya bahwa perubahan sesungguhnya akan terjadi.
Pemilu seharusnya menjadi wahana bagi harapan dan aspirasi rakyat, bukan tempat untuk melanjutkan kebijakan masa lalu yang bisa membuat sejarah terulang.
Sebagai rakyat Indonesia, kita berharap pemimpin terpilih mampu membawa perubahan positif, membuka lembaran baru untuk bangsa ini. Namun, keyakinan ini terusik oleh realitas politik yang terkadang membingungkan.
Pilpres 2024 bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga refleksi kepemimpinan masa lalu dan pertanda akan masa depan.Â
Apakah ini awal perubahan yang sejati atau kelanjutan dari kebijakan masa lalu yang belum sepenuhnya meresap dalam semangat reformasi?
Dalam menyikapi Pilpres 2024, kita harus lebih kritis dan cerdas.Â
Pemilihan pemimpin bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab kita untuk memastikan bahwa negara ini dipimpin oleh mereka yang benar-benar peduli dan berkomitmen untuk mewujudkan perubahan positif.Â
Apakah bangsa ini mau berubah, atau justru kembali ke masa lalu yang tak lagi menghormati sendi-sendiri demokrasi yang sudah terjaga ini.
Masa depan Indonesia ada di tangan kita semua. Keberanian untuk memilih berarti juga keberanian untuk menuntut pertanggungjawaban dan perubahan yang sesungguhnya. Mari kita jaga harapan dan perjuangan para pahlawan reformasi, agar Indonesia terus bergerak menuju perubahan yang lebih baik.
Semoga yang Waras yang menang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H